Fikih Kepemimpinan Hasibullah Satrawi ; Alumnus Al Azhar, Kairo, Mesir; Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA) Jakarta |
JAWA POS, 13 Maret 2014
SECARA prinsip, setiap orang memiliki bakat dan anugerah kepemimpinan. Setidaknya di level kepemimpinan paling dasar, yaitu dalam konteks kehidupan pribadi dan keluarga. Namun, tidak semua orang mampu mengasah bakat dan menjalankan anugerah secara bertanggung jawab, termasuk di level kepemimpinan paling dasar seperti di atas. Sekurang-kurangnya, itulah yang bisa kita tangkap dari pemimpin agung seperti Nabi Muhammad SAW. Dalam salah satu hadisnya, beliau menegaskan bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan yang dijalankan (kullukum ra'in, wa kullukum mas`ulun 'an ra'iyyatihi). Klaim Kepemimpinan Pada masa kampanye, ruang publik penuh riuh dengan klaim kepemimpinan para calon pemimpin bangsa untuk empat tahun ke depan. Mulai spanduk yang dipasang di ''sepanjang jalan'', stiker yang disampaikan langsung ke rumah-rumah warga (melalui kerja tim sukses), hingga iklan di sejumlah media yang acap merampas hak publik untuk mendapat tayangan yang lebih bermutu. Sangat disayangkan, pelbagai macam media kampanye hanya penuh sesak dengan bagian pertama hadis Nabi tersebut. Yaitu, mereka adalah para pemimpin yang pantas dipilih untuk menjadi pemimpin bangsa ke depan. Bagian kedua hadis itu nyaris tidak ter-cover dalam media-media kampanye yang ada. Yaitu, mereka siap menjalankan kepemimpinan secara bertanggung jawab. Tentu semua calon pemimpin akan mengatakan siap bila ditanya apakah akan menjalankan kepemimpinan secara bertanggung jawab seandainya terpilih nanti. Namun, hal itu tidak berarti bahwa bagian kedua hadis tersebut tidak bisa ditakar dan diukur dari kehidupan para calon pemimpin. Setidak-tidaknya bisa diukur melalui ruang lingkup mereka sehari-hari, termasuk di level pribadi, keluarga, pekerjaan, dan seterusnya. Piramida Terbalik Dalam beberapa waktu mutakhir, fenomena kepemimpinan yang berkembang secara nasional acap mengikuti pola piramida terbalik, khususnya bila dilihat dari level kepemimpinan. Banyak orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai level kepemimpinan yang lebih tinggi, lebih tinggi lagi, dan begitu seterusnya hingga yang paling tinggi. Tapi, tidak sedikit di antara mereka yang justru mengabaikan, melalaikan, dan siap meninggalkan tanggung jawab kepemimpinan yang sedang diembannya. Dengan mengejar level kepemimpinan yang lebih tinggi, mereka seakan-akan terus meningkat secara derajat, martabat, status, dan seterusnya. Padahal, mengejar kepemimpinan lebih tinggi dengan mengabaikan kepemimpinan di bawahnya atau yang sedang diembannya bisa membuat yang bersangkutan meniti puncak piramida terbalik. Jangankan menjadi lebih tinggi secara hakiki, semua itu justru bisa membuat yang bersangkutan berada dalam posisi yang paling rendah. Fenomena kepemimpin seperti itulah yang sekarang jamak ditemukan di mana-mana. Orang-orang yang awalnya tidak dikenal mempunyai tanggung jawab kepemimpinan secara mumpuni tiba-tiba terpilih menjadi pemimpin, mungkin hanya karena kemampuan uang, popularitas, dan ''berdandan'' di media. Hingga tidak sedikit di antara mereka yang berbondong-bondong menuju Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelum akhirnya mendekam di penjara. Bahkan, sebagian skandal mereka bernuansa seksual. Fikih Kepemimpinan Di sinilah fikih kepemimpinan menjadi sangat penting, khususnya pada momen pemilu seperti sekarang. Setidaknya ada empat hal utama yang ditekankan dalam fikih kepemimpinan. Pertama, kepemimpinan bukan sekadar bakat maupun anugerah yang sejatinya dimiliki semua orang, melainkan juga amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Keduanya harus dijalankan secara seimbang. Dalam kitabnya yang berjudul As-Siyasah as-Syar'iyah (Politik Menurut Syariat), Ibnu Taymiyyah menegaskan adanya hubungan timbal balik antara amanah (bagi pemimpin) dan ketaatan (bagi yang dimimpin). Kepemimpinan yang amanah sejatinya mendapat ketaatan dari masyarakat. Sebaliknya, kepemimpinan yang dijalankan tidak secara amanah sejatinya tidak perlu ditaati masyarakat. Kedua, kepemimpinan sejatinya merupakan pengabdian kepada mereka yang dimimpin. Dalam hadisnya yang lain, Nabi Muhammad SAW menegaskan, pemimpin suatu bangsa sejatinya adalah pelayan mereka (sayyidul qawmi khadimuhum). Sebagai pelayan bangsa, para pemimpin sejatinya memberikan yang terbaik bagi masyarakat. Bukan justru memanfaatkan kekuasaan dan akses yang ada untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya. Ketiga, seorang pemimpin harus memberikan keteladanan bagi orang-orang terdekatnya secara khusus dan bagi masyarakat luas secara umum. Karena itu, para pemimpin dalam sejarah Islam awal terdiri atas orang-orang yang berintegritas tinggi, khususnya dari segi keagamaan dan moralitas. Hal itu tidak lain karena mereka adalah teladan yang akan dijadikan panutan oleh masyarakat. Akhirnya, kesuksesan pemimpin besar seperti Nabi Muhammad SAW tidak terlepas dari adanya keteladanan yang kuat dari beliau (sesuai kandungan ayat 21 surah Al-Ahzab) hingga sikap-sikap baik beliau menjadi teladan bagi masyarakat muslim awal untuk menjadi generasi yang terbaik (khairu ummah). Keempat, kepemimpinan sejatinya mampu menggerakkan masyarakat luas menuju cita-cita luhur bersama. Di sinilah kepemimpinan membutuhkan kerja sama baik (at-ta'awun 'ala al-birri) dengan pihak-pihak lain. Sehebat apa pun seorang pemimpin tidak akan mampu menciptakan perubahan berarti tanpa dukungan pihak-pihak terkait. Sementara itu, dukungan dari pihak lain membutuhkan kerja sama yang baik. Hal itu berarti kerja sama yang baik dengan pihak lain merupakan salah satu power utama kepemimpinan untuk menggerakkan masyarakat luas menuju cita-cita luhur bersama. Semoga Pemilu 2014 ini mampu melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang membawa semangat fikih kepemimpinan seperti di atas. Amin. ● |
Post a Comment