Menyoal Politikus Selebriti Agus Sjafari ; Staf pengajar FISIP Untirta Serang, Peneliti di The Community Development Institute (CDI) |
SINAR HARAPAN, 13 Maret 2014
Pemilu 2014 semakin semarak dengan kahadiran calon legislatif (caleg) dari kalangan selebriti atau artis. Fenomena menarik terkait kegiatan tersebut adalah, saat ini parpol berlomba memasang wajah para artis untuk diajukan sebagai calon legislatif. Tujuannya, tidak lain adalah mendulang suara sebanyak-banyaknya (votes getter) melalui artis tersebut. Perlu kita akui bersama, keberadaan seorang artis dalam dunia politik sangat diuntungkan dengan adanya modal sosial yang dimiliki, yaitu ketenaran dan popularitasnya. Melalui pemilu yang dilakukan secara langsung ini, ketenaran seseorang sangat memengaruhi ketertarikan orang untuk memilihnya. Dengan wajah yang menarik dan bermodal ketenaran tersebut, seorang artis memiliki kelebihan tersendiri dibandingkan calon dari kalangan nonartis. Di alam domokrasi politik sekarang ini, pada dasarnya semua orang memiliki hak yang sama dalam mencalonkan diri sebagai pejabat legislatif, bahkan di eksekutif sekalipun, sehingga pada ranah kepemimpinan nasional atau daerah, artis juga memiliki peluang sangat besar untuk dijual kepada publik. Dengan adanya fenomena tersebut, secara sederhana dapat diambil sebuah kesimpulan, parpol ternyata tidak percaya diri mengusung kadernya yang bukan artis. Parpol lebih banyak mencari “jalan pintas” dalam mendulang suara dari publik. Misi demokratisasi politik yang kita idamkan telah gagal dengan masuknya prinsip “pragmatisme politik” dalam masing-masing parpol. Kondisi ini secara substansial tidak mencerdaskan rakyat dalam berpolitik, tetapi telah terjadi pembodohan politik yang dilakukan parpol. Partai politik di alam demokrasi merupakan lembaga yang sangat strategis dengan tujuan mampu melahirkan para politikus-politikus andal, bahkan mampu menghasilkan para negarawan yang mampu mengatur bangsa ini menjadi bangsa yang maju. Seseorang yang ingin menjadi politikus, anggota legislatif, dan pejabat eksekutif harus memiliki tiket politik dari partai politik. Kehadiran banyak artis dalam dunia politik merupakan sebuah “anomali politik”. Itu karena partai politik belum mampu menghasilkan politikus dan negarawan tangguh. Dengan demikian, melalui jalan merekrut para artis, suara parpol tersebut dapat terdongkak. Di negara yang tingkat demokrasi sudah matang, terdapat garis pemisah yang sangat tegas antara dunia politik dan dunia entertain. Namun, khusus di Indonesia hal tersebut belum mampu dipisahkan secara tegas. Oleh karena itu, tidak berlebihan bila panggung politik kita diibaratkan dengan “panggung entertain”, yang di atasnya tampil para entertainer politik yang hanya mampu memerankan peran tertentu layaknya panggung hiburan. Politikus Artis dan Artis Politikus Dari fenomena di atas, kini muncul istilah politikus artis dan artis politikus. Saat ini, kedua istilah tersebut secara substansial dalam praktiknya tidak mengalami perbedaan berarti. Istilah politikus artis secara harfiah diartikan sebagai politikus yang berasal dari kalangan selebriti. Namun, artis politikus merupakan politikus yang sebenarnya bukan dari kalangan selebriti, namun perilakunya sudah menyerupai selebriti dalam berpolitik. Artis politikus ini sangat menjaga citra, pandai memainkan peran, bahkan dalam beberapa hal pandai menutupi kebohongan dengan kebohongan lainnya. Tengok saja bagaimana para politikus kita dengan sangat meyakinkan menutupi keterlibatannya dalam kasus korupsi dan penyalahgunaan kewenangannya. Namun, pada akhirnya dengan bukti-bukti kuat mereka ditetapkan juga sebagai tersangka. Belum lagi kasus amoral yang melibatkan banyak para politikus dan pejabat negara kita saat ini. Dengan demikian, secara subtansial menunjukkan, keduanya (politikus artis dan artis politikus) memiliki persamaan sangat nyata. Kekhawatiran yang besar dari publik adalah, semakin banyaknya artis yang masuk ke dalam lembaga-lembaga politik dan pemerintahan akan menjadikan lembaga politik sebagai lembaga entertain yang di dalamnya banyak bertabur lakon-lakon politik, yang tidak mampu menghasilkan keputusan-keputusan politik guna menyejahterakan rakyatnya. Fakta menunjukkan, peran politikus artis kita belum signifikan, Hanya segelintir politikus artis yang mampu berperan baik sebagai politikus. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah terdapat beberapa artis yang sudah menjadi politikus, namun masih saja sering tampil dalam dunia keartisannya. Artinya, ia tidak fokus sebagai politikus yang berlabel wakil rakyat. Konflik Internal Partai Masuknya beberapa artis sebagai caleg partai yang notabene sebagai “orang luar”, tentunya akan menimbulkan konflik internal dalam partai politik tersebut. Pertarungan antarkader internal dengan para artis tersebut berujung kepada keputusan yang diskriminasi. Dalam beberapa kasus, partai politik lebih memilih artis dibandingkan kader internal, dengan alasan kader internal tidak populer. Banyaknya fenomena tersebut, secara tidak langsung turut mendiskreditkan peran para politikus yang sudah sejak awal bercita-cita, bahkan bersungguh-sungguh ingin menjadi politikus. Namun, akhirnya mereka harus terpinggirkan karena kalah bersaing dengan para bintang tersebut. Secara substansial dapat disimpulkan, parpol tidak mampu melahirkan politikus tulen. Parpol hanya mampu menghasilkan politikus karbitan. Bahkan, yang lebih menyakitkan adalah, parpol hanya mampu menopang ketenaran seorang pesohor tersebut. Publik sangat berharap parpol mampu menghasilkan para politikus andal. Tengok saja misalnya, seorang Jokowi yang bukan dari kalangan selebriti mampu tampil sebagai kader partai yang sangat disegani. Tengok saja dalam sejarah, parpol mampu menghasilkan Soekarno, Moh Hatta, Agus Salim, dan beberapa politikus lainnya yang sangat berdedikasi memperjuangkan nasib rakyatnya. Publik sangat merindukan lahirnya tokoh-tokoh besar tersebut, sehingga negara ini benar-benar disegani di kancah perpolitikan nasional bahkan internasional. Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis tidak apriori dengan tampilnya kalangan selebriti dalam dunia politik. Namun, yang perlu ditekankan adalah, integritas, dedikasi, dan profesionalitas dalam mengelola negara ini harus menjadi prioritas utama. Dengan demikian, ketika menyaring dari kalangan selebriti untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif, parpol tidak hanya mempertimbangkan ketenarannya, tapi juga keseriusannya dalam mengurus negara ini. Panggung politik bukanlah panggung sandiwara, melainkan panggung yang berisi orang-orang terpilih yang memiliki integritas dan dedikasi tinggi dalam memperjuangkan kepentingan rakyatnya. Kegiatan berpolitik tidak bisa dilakukan dengan sambilan, tapi dengan penuh keseriusan sehingga terlahir beberapa keputusan politik terbaik dan mampu menyelamatkan negara ini dari kahancuran. Kita tunggu peran politikus artis. ● |
Post a Comment