Jatim Minus Strategi KebudayaanAkh Muzakki ; Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris PW NU Jawa Timur |
JAWA POS, 28 Maret 2014
RANCANGAN pembangunan untuk lima tahun ke depan (RPJMD) Jawa Timur kemarin (27/3) digedok menjadi perda. Rangkaian proses hingga ke tahap akhir ini telah dilalui. Saya teringat dengan ilmuwan sosial seperti Habermas dan Rawls saat puluhan tahun lalu mengingatkan kita bersama akan pentingnya mengedepankan rasionalitas lumrah (reasonable-rational dialogue) untuk menumbuhkan komitmen individu masyarakat terhadap tatanan sosial. Mekanismenya, antara lain, konsensus. Melalui gagasan communicative rationality (Habermas, 1987) dan overlapping consensus (Rawls 1971), dua ilmuwan itu memandang penting public reason dalam penegakan kebajikan kehidupan bersama melalui penciptaan visi yang ideal di tengah masyarakat. Meskipun begitu, sebagai wujud public reasoning juga, saya melihat ada satu hal yang masih terabaikan dari rencana pembangunan itu: strategi kebudayaan. Draf RPJMD masih belum menyentuh materi tentang strategi kebudayaan Jawa Timur. Yang dibahas lebih banyak pengembangan infrastruktur melalui pembangunan fisik-material. Laiknya, selain infrastruktur, juga dibahas strategi pengembangan kapasitas suprastuktur bagi masyarakat luas. Kapasitas suprastruktur dimaksud, antara lain, menyentuh pengembangan nilai luhur bersama, penguatan karakter sosial, pembangunan mental-spiritual dan afeksi sosial, serta pembangunan spirit sosial. Penguatan kapasitas suprastruktur ini harus ditambahkan sebagai satu paket pembangunan Jawa Timur bersama pengembangan infrastruktur. Dengan begitu, pembangunan Jawa Timur bisa lebih berimbang (balanced), antara pengembangan kapasitas infrastruktur dan suprastruktur. Bila strategi itu tidak didesain konkret, program pembangunan sebaik apa pun akan sulit untuk menemukan kanalisasinya. Atau bahkan akan menimbulkan ketidakseimbangan baru. Untuk memahami lebih dalam minusnya strategi kebudayaan pada RPJMD, titik perhatian publik seharusnya juga tertuju hingga rencana strategis masing-masing satuan kerja perangkat daerah (SKPD). Dua SKPD yang sejatinya bersentuhan langsung dengan penguatan strategi kebudayaan adalah dinas kebudayaan dan pariwisata serta dinas pendidikan. Memang, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menjadi penerjemah dua kementerian teknis: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kementerian pertama merupakan rujukan program kebudayaan. Kementerian kedua sebagai acuan program pariwisata. Namun, saya mencatat, ada dua permasalahan besar dari Renstra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur ini. Pertama, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur kurang tepat dalam mendesain renstra. Tarikan dalam rancangan awal renstra mereka terlalu kuat ke substansi pariwisata daripada kebudayaan. Kedua, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur menerjemahkan substansi kebudayaan dengan cara mereduksinya menjadi sebatas komoditas pariwisata semata. Salah satu buktinya adalah rumusan tujuan misi pada renstra Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Bunyinya: "Meningkatkan kontribusi sektor pariwisata, dengan sasaran 1) meningkatnya kunjungan wisatawan; 2) meningkatnya kualitas seni budaya lokal." Lalu, pertanyaannya, dari mana lagi rumusan tentang strategi kebudayaan Jawa Timur bisa diambil? Jawabannya seharusnya dari renstra dinas pendidikan. Sebab, SKPD ini yang menjadi penerjemah langsung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lantas, bagaimana substansi kebudayaan melalui internalisasi nilai untuk membentuk jati diri dan kepribadian masyarakat Jawa Timur tersebut dilakukan? Tidak ada desain konkret dalam rencana pembangunan lima tahun ke depan ini. Dinas kebudayaan dan pariwisata tidak menyentuhnya. Dinas pendidikan juga abai terhadap substansi ini. Tarikan renstra dinas pendidikan lebih kuat ke pendidikan persekolahan alias pendidikan formal. Jawa Timur punya catatan sejarah panjang mengenai peradaban kemanusiaan. Kumpulan manusia telah menghuni wilayah ini sejak zaman prasejarah. Sisa-sisa fosil Pithecantrhropus mojokertensis di Kepuhlagen Mojokerto, Pithecanthropus erectus di Trinil Ngawi, dan Homo wajakensis di Wajak Tulungagung menjadi penanda peradaban lama dan panjang wilayah ini. Meski berperadaban panjang itu, provinsi ini tidak akan mencapai keseimbangan pembangunan jika tidak memiliki strategi kebudayaan. Karena itu, Jawa Timur patut didorong untuk memperkuat strategi kebudayaan guna mendampingi sukses material. Jawa Timur dengan dinamika pembangunan yang cepat tidak cukup dibesarkan oleh simbol-simbol keberhasilan fisik-material, seperti ekonomi-politik. Perlu sentuhan-sentuhan yang memperkuat basis kebudayaan warga untuk mengimbangi keberhasilan-keberhasilan fisik-material itu. ● |
Post a Comment