Politik SilsilahMunawir Aziz ; Peneliti |
TEMPO.CO, 28 Maret 2014
Sejauh mana silsilah berfungsi sebagai amunisi politik dan legitimasi citra seorang tokoh? Dalam pertarungan politik pada awal 2014 ini, politik simbol dan pertautan silsilah menjadi penting untuk meningkatkan citra dan membangun legitimasi kultural. Jejak politik di negeri ini memberi ruang bagi kekuatan kultural untuk melapangkan jalan masuk ke istana negara. Namun seberapa efektifkah jalur silsilah dalam historiografi politik Indonesia? Aswab Mahasin, dalam sebuah esai pada 1980-an, mengkritik tentang paradoks silsilah yang digunakan sebagai legitimasi politik. Mahasin mengisahkan tentang seorang tokoh keturunan Arab yang masuk ke jalur politik, tapi melupakan jalur kulturalnya sebagai pengembang misi ideologis agama. Alih-alih berbuat banyak untuk kelompoknya, justru tokoh keturunan Arab tersebut menyeberang ke sebuah partai yang memberi jabatan struktural untuk kontribusi politiknya. Inilah yang dicap Mahasin sebagai jualan silsilah. Aswab Mahasin menggarisbawahi bahwa yang diperlukan oleh Indonesia adalah kontribusi dan kerja nyata, bukan sekadar jualan silsilah untuk merebut simpati publik. Tentu saja hal ini menjadi perdebatan sengit di antara kolega Aswab Mahasin dan cendekiawan pada masa itu. Istilah jualan silsilah kembali menjadi topik penting pada ronde pertama kontestasi politik di tahun ini. Seorang calon presiden, dalam kampanye terbuka, menunggang kuda dan diapit dua punggawa yang membawa bendera. Tokoh tersebut menautkan diri sebagai keturunan Pangeran Diponegoro (1785-1855), tokoh besar keturunan Keraton Yogyakarta yang berani melawan penjajah Belanda pada kurun 1825-1830. Kisah Perang Jawa menjadi penanda atas perjuangan, pertarungan ideologi, dan epik kepahlawanan Pangeran Diponegoro: Sultan Ngabdulkamid Erucakra Sayyidin Panatagama Kalipatullah, gelar yang diemban pada paruh pertama abad XIX (Peter Carey, 2014). Lalu bagaimana relevansi kisah Diponegoro dan politik citra calon presiden itu? Ada sebuah ruang kosong yang hendak dibentuk melalui narasi sejarah, yakni menautkan kepahlawanan dan perjuangan Diponegoro dengan perjuangan bangsa Indonesia saat ini: menjadi bangsa yang mandiri dan berani melawan penjajahan ekonomi dari bangsa asing. Inilah sebuah tanda dan penanda yang menjadi jembatan kampanye sekaligus amunisi untuk meraup simpati massa. Sementara calon presiden dan politikus yang lain berusaha membangun citra diri dengan bahasa politik kerakyatan, makan di warteg, ngobrol di angkringan, dan berbasah-basah melawan banjir. Inilah parade citra di tengah pertarungan politik. Bahwa, kontestasi politik tidak hanya bicara tentang parpol, survei dan massa, tapi juga simbol-simbol dan modal kultural atas silsilah. Kebangsawanan dan trah sebagai penerus kerajaan Jawa menjadi barometer untuk menjemput nilai dan modal kultural. Politik silsilah ini senada dengan feodalisme bangsawan pada awal abad XX, yang justru menggerus perjuangan kemerdekaan. Abdoel Rivai (1871-1937) pada sebuah esai di Bintang Hindia (1920) melawan dengan menegaskan bahwa bangsawan pikiran lebih penting daripada bangsawan silsilah yang belepotan dengan feodalisme. Bahwa, sesungguhnya, pada momentum politik tahun ini, yang terpenting kontribusi dan rekam jejak nyata, bukan sekadar pamer silsilah. ● |
Post a Comment