Kuasa TelevisiMuhammad Rasyid Ridha Saragih ; Asisten Peneliti di Satjipto Rahardjo Institute |
REPUBLIKA, 03 Maret 2014
Sebagai institusi yang memiliki kewenangan luas untuk menyortir informas di televisi, baru-baru ini Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melayangkan sejumlah surat teguran kepada beberapa stasiun televisi terkait beberapa program acara yang dinilai tidak baik untuk masyarakat. Selain bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat, acara tersebut dinilai terlalu dimasuki kepentingan golongan politik tertentu. Bentuk sanksi yang dikeluarkan KPI, antara lain, berupa pemindahan jam tayangan, pengubahan konten acara, pengurangan durasi tayangan, hingga pada penutupan tayangan. Atas kewenangan ini, KPI menjadi satu-satunya tempat bagi masyarakat untuk berkeluh-kesah karena televisi berusaha menjajah lebih jauh isi rumah masyarakat. Pasal 4 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2004 menyebutkan, siaran televisi memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol, dan perekat sosial. Dapat dilihat bahwa UU mengatur bagaimana sebuah tayangan ideal dari televisi. Jika hal ini bisa direalisasikan, akan lahirlah masyarakat yang cerdas, yakni masyarakat yang memiliki basis informasi dan pengetahuan yang kuat, ia tidak mudah dicekoki informasi yang bersifat satu arah. Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Perancis kenamaan menyatakan kritiknya terhadap anggapan bahwa televisi merupakan ruang publik yang bebas (Bourdieu: 1998). Ia menganggap bahwa televisi itu sebenarnya adalah sebuah ruang penjara yang justru mengooptasi otonomi individu. Kekuatan televisi membingkai struktur tersembunyi yang mengorganisasai massa melalui tayangan-tayangan di televisi. Seolah-olah, masyarakat penik mat televisi disuruh mengiyakan apa yang tampil di televisi. Akibatnya, masyarakat secara habitus dikontrol televisi yang akhirnya dikontrol konglomerat pemilik modal yang menjalankan sistemnya melalui penilaian rating tayangan. Mengawasi televisi Status quo yang dicerminkan tayangan televisi merupakan buah kuasanya terhadap jejaring informasi di masyarakat. Perubahan tak akan mungkin bisa diwujudkan jika masyarakat tidak bergerak dan berjuang. Oleh karena itu, sudah seharusnya masyarakat turut aktif mengawasi kualitas tayangan acara televisi. Dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No 32 Tahun 2002 disebutkan; (1) KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Sedangkan, dalam Ayat 2 pasal tersebut disebutkan bahwa dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c, d, dan e, KPI mem punyai wewenang mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran, dan melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat. Pengawasan ini dipandang penting karena tayangan acara televisi mempunyai dampak yang laten yang mampu menggerakkan pola pikir dan tingkah laku seseorang. Selain itu, ia juga berjangka sangat panjang, bahkan kaum generasi muda pun mendapatkan pengaruh darinya. Dengan adanya sarana petisi mau pun institusi pengawasan dan perizinan siaran acara televise, seperti KPI, diha rap kan masyarakat mampu berpikir dan bertindak cerdas dalam menyikapi ruang kebudayaan, seperti televisi. Masyarakat harus bisa produktif dan aktif, sehingga ia tidak mudah didikte pasar yang memiliki agenda kepentingan pemilik modal. Kepentingan kaum pemilik modal dalam bisnis acara televisi bukanlah terpusat demi mencerdaskan bangsa, melainkan menyangkut profit. Sejelek apa pun kualitas acara televisi, selama pasar menyukai maka itulah yang mendapat rating tinggi. Bila keadaannya terus-menerus seperti ini, masyarakat yang dihasilkan adalah masyarakat yang tidak cerdas, yakni masyarakat yang mudah diombang-ambing kepentingan pemilik modal. Langkah masyarakat dengan cara membiasakan diri menjadi penonton yang cerdas akan membuat pangsa pasar televisi bergeser, dari yang biasanya terfokus pada acara hiburan menjadi bergeser pada acara informatif-edukatif. Pada akhirnya, investor televisi pun akan berpikir ulang jika ingin menayangkan acara televisi yang tidak edukatif karena pangsa pasar di masyarakat ternyata membutuhkan acara edukatif. Sesungguhnya, peran televisi sama dengan peran kebudayaan tempat dipertaruhkannya berbagai kehendak, baik antara pasar, politik, masyarakat, dan individu. Sudah seharusnya, kebudayaan memiliki tujuan demi membangun peradaban bangsa, mencerdaskan manusia, dan menjadikan manusia seutuhnya sebagai subjek yang mandiri dan cerdas dalam memilih informasi beserta pengetahuan. ● |
Post a Comment