Membiasakan Diri dengan Fluktuasi

Membiasakan Diri dengan Fluktuasi

Iman Sugema  ;   Ekonom
REPUBLIKA,  03 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Dalam beberapa pekan terakhir ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar cenderung menguat. Begitu juga tampak indeks harga saham gabungan yang cenderung meningkat. Setelah tujuh bulan lebih kedua indikator ekonomi tersebut mengalami pelemahan, tiba-tiba saja ke duanya menguat. Seolah-olah kita sedang mendapatkan momentum baru, yakni perbaikan situasi bisnis dan perekonomian. Pebisnis menyambut situasi ini dengan penuh harap.

Apa yang sebetulnya terjadi?

Berdasarkan pengalaman pada masa lalu, pergerakan searah secara simulatan antara IHSG dan nilai tukar lebih berkaitan dengan per gerakan arus modal jangka pendek atau hot money. Bila mo dal asing jangka pendek sedang mengalami net-inflow, nilai tukar dan IHSG akan cenderung menguat.

Selain itu, biasanya fenomena ini disertai dengan bertambahnya cadangan devisa. Saat ini, itulah yang sedang terjadi bukan?

Setidaknya, ada tiga episode yang sangat jelas dapat terlihat dari pola data nilai tukar dan IHSG. Episode pertama adalah antara pertengahan 2009 dan Agustus 2011 saat IHSG mengalami rebound dan nilai tukar mengalami penguatan. Pascakrisis keuangan global, tentunya menjadi sangat alami bahwa harga saham di emerging market dinilai terlalu rendah dari yang seharusnya. Harga saham waktu itu rata-rata tinggal sepertiga dari nilai tertingginya 2008. Selain itu, nilai tukar rupiah terdepresiasi sekitar 30 persen sehingga pemodal asing memandang harga aset di Indonesia sangat murah. Hal itu memicu pemain global serentak masuk kembali.

Nilai tukar yang terlampau lemah juga mengakibatkan komoditas ekspor menjadi lebih kompetitif sedangkan barang yang diimpor menjadi lebih mahal. Neraca perdagangan semakin membaik dan hal itu di ikuti arus modal masuk sehingga neraca pembayaran menjadi surplus. Cadangan devisa terus berhasil di pupuk sampai di angka tertinggi sekitar 120 miliar dolar.

Pada episode yang kedua antara September 2011 dan Mei 2013, rupiah mengalami pelemahan secara persisten, tetapi IHSG terus-menerus mencetak rekor indeks tertinggi. Karena rupiah terlalu kuat, yakni sekitar Rp 8.600 per dolar AS, ekspor menjadi tidak kompetitif sehingga pertumbuhannya terus melambat. Selain itu, karena pertumbuh an ekonomi yang relatif baik dibandingkan negara lainnya, kecuali Cina dan India, pertumbuhan impor menjadi tidak tertahankan. Karena itu, neraca perdagangan semakin terkikis dan lambat laun neraca pembayaran mengalami defisit. 
Walaupun kadangkala arus modal dapat menambal defisit perdagangan, arus modal tersebut tidak cukup kuat untuk menahan laju impor. Alhasil, cadangan devisa terkuras dan nilai tukar meng alami pelemahan sampai ang ka Rp 11 ribu per dolar AS.

Indeks harga saham pada saat yang sama justru mengalami booming seolah tiada henti. Investor asing pada saat itu tak memiliki alternatif lebih menarik selain Indonesia dan secuil negara berkembang lainnya. Pada Juni 2013 dan Januari 2014, nilai tukar dan IHSG kembali bergerak bersama-sama. Namun, kali ini keduanya menukik turun bersamaan. Masalahnya, investor asing memandang bahwa ada risiko yang belum terukur, yaitu menyangkut tapering of quantitative easing (TOQE).

Pada saat itu, The Fed mulai mengumandangkan mulai Januari 2014, stimulus moneter sedikit demi sedikit dikurangi. Tentu hal ini menimbulkan spekulasi bahwa likuiditas global akan semakin menyusut. Karena itu, pemodal asing mulai meninggalkan emerging market, termasuk Indonesia.

Pada Januari dan Februari 2014, TOQE betul-betul direalisasikan oleh The Fed sehingga dampak nyata dari kebijakan itu mulai dirasakan lebih terukur. Ternyata, dampak dari penyusutan QE tidaklah terlalu besar seperti yang dispekulasikan sebelumnya. Negara-negara emerging market sempat menggigil yang ditandai pelemahan nilai tukar dan indeks harga saham.

Namun, umumnya, emerging market mampu menunjukan resilience cukup baik. Selain itu, Eropa dan Cina tetap mempertahankan likuiditas global secara baik. Hasilnya, dampak TOQE terlihat sangat minimum. Mungkin, karena itu arus modal jangka pendek kembali ke emerging market.

Satu hal yang harus kita waspadai bahwa situasi seperti sekarang ini bukanlah situasi yang sangat ideal. Naik turunnya harga saham dan nilai tukar lebih ditentukan oleh arus hot money. Ka rena sifatnya uang panas yang bisa keluar masuk kapan saja adalah hal yang sangat lumrah jika pergerakan harga saham dan nilai tukar akan menjadi lebih berfluktuasi. Karena itu, kita harus mulai terbiasa dengan fluktuasi yang lebih tajam. Saya yakin para pelaku memiliki daya tahan untuk bisa menyesuaikan diri dengan situasi seperti ini. Selamat berombak banyu.
Indeks Prestasi

Post a Comment