Memcari Pemimpin “tanpa Syarat”

Memcari Pemimpin “tanpa Syarat”

Joko Wahyono  ;   Analis politik pada Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
JAWA POS,  03 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Pemilu 2014 sudah di ambang pintu. Falsafah pemenang terletak pada siapa saja (kandidat politik) yang mempersiapkan segala sesuatu secermat mungkin. Lepas dari itu, pemilu merupakan titik kisar bagi bangsa ini untuk melakukan perubahan, bangkit dari keterpurukan menuju ke arah kemajuan. Harapan ini tentu harus terus digelorakan meski di tengah gaduhnya kontestasi politik yang acap kali dilumuri beragam modus kecurangan kampanye, politik uang, intrik, gosip, dan teror politik murahan. Momentum Pemilu 2014 harus mendatangkan keuntungan bagi rakyat dengan hadirnya pemimpin yang bisa "mrantasi" (menyelesaikan) persoalan-persoalan yang tengah membelit bangsa.

Di tengah degradasi moral dan watak elite politik yang buruk, bangsa ini sebenarnya hanya butuh calon pemimpin yang memiliki kapasitas "orang baik", tanpa prasyarat apa pun, tanpa embel-embel kepentingan apa pun. Meski terkesan deontologis dan ahistoris, justru di situlah kiranya letak kekuatan dan relevansinya ketika kita menyoal tuntutan orientasi demokrasi (melalui pemilu) yang berkualitas dan lebih bermakna bagi keadaban publik.

Patron-Klien

Apalagi dengan semakin melambungnya ongkos politik saat ini, Pemilu 2014 tentu rawan dimanfaatkan tangan-tangan tak terlihat (invisible hands), seperti para pemilik modal, pengusaha, juragan media, korporasi maupun investor gelap, untuk bermain di balik layar. Meski kelompoknya "kecil", -meminjam bahasanya Gramsci (1981)- mereka adalah pemenang wacana atas kuasa mayoritas. Mereka biasanya berupaya agar setiap momentum pemilihan beroperasi di bawah sistem politik bayangan (imagined political system) yang mereka ciptakan. Membangun relasi-relasi kuasa dengan para kandidat politik yang akan bertarung layaknya sebuah hubungan patron dan klien.

Sebuah relasi kuasa yang beroperasi di atas prinsip who get what, when and how to, baik materi maupun immateri, yang dapat dipertukarkan demi kepentingan mereka sendiri. Mereka memanfaatkan pemilu sebagai lahan "investasi politik" dengan cara memberikan sumbangan modal (dana kampanye atau massa) demi pemenangan kandidat politik (patron) tertentu. Ketika patron memenangi pemilihan, investasi tersebut kemudian berbuah konsesi. Patron "diharuskan" memberikan akses (baca: jatah) kepada klien. Biasanya, itu berwujud jabatan, tender proyek, proteksi usaha atau jaminan lisensi yang mempermudah klien untuk mengeruk sumber-sumber ekonomi dan privilege-privilege lainnya.

Mengeraknya korupsi, salah satunya (jika bukan seluruhnya), disebabkan jerat politik klientalisme (clientalism) semacam ini. Di dalamnya uang dan kekuasaan seperti dua sisi keping mata uang yang tak bisa dipisahkan. Politik uang memiliki tujuan kekuasaan. Kekuatan uang menggelapkan mata siapa pun yang berkuasa sehingga mudah larut dalam ketamakan dan kerakusan dengan "menghalalkan segala cara", termasuk menjarah harta negara. Sementara itu, kehendak berkuasa -seperti disindir Nietzsche (1886)- melampaui batas-batas moralitas dan immorialitas. Hasrat berburu kuasa dan uang inilah yang meruntuhkan tegaknya mandat, akuntabilitas, dan keterwakilan politik.

Sebab, yang dicari adalah dominasi, pemuasan naluri-naluri pekat duniawi, atau selera-selera rendah individu egosentris yang hanya memperjuangkan materi sebagai penopang kekuasaan, menambah pundi-pundi kekayaan pribadi, dus mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkan.

Karakter Asketis

Untuk memutus jerat politik semacam itulah, kita mencari calon pemimpin (sekali lagi) tanpa syarat untuk menjadi "great leader" bangsa. Calon pemimpin tanpa syarat ini, meminjam bahasanya Nurcholish Madjid (2004), adalah seseorang yang memiliki karakter asketis. Sebuah sikap hidup yang self denial (ingkar terhadap diri sendiri), tidak mengharap atau menikmati balasan (rewards) perjuangan, serta berani menunda kesenangan (to defer the gratification). Seorang calon pemimpin yang telah selesai dengan dirinya sendiri sehingga tidak akan tergoda sama sekali oleh pikatan dan bujuk rayu dari para pemilik modal yang menawarkan segala macam bentuk "investasi politik" untuk pemenangan kekuasaan.

Sosok yang telah selesai dengan urusan nafsu libidinal dunia materiil, pencapaian jabatan, pemenuhan kebutuhan keluarga, selesai dengan pujian, pencitraan, dan segala rupa penghargaan. Dengan karakter asketis, dia ketika memimpin akan terbebas dari tekanan berbagai macam kepentingan, modal, harta (uang), status sosial, dan kekuasaan sehingga benar-benar menjadi pengemban amanah rakyat yang diwakilinya. Kepemimpinan baginya adalah pengabdian dan pengorbanan untuk kepentingan bangsa dan negara atas dasar cinta dan kesetiaan. Uang dan kekuasaan bukanlah segala-galanya. Dia hanyalah media untuk merengkuh keluhuran pekerti bagi usaha-usaha perjuangan, perlawanan, pembebasan, pencerahan, dan pemberdayaan masyarakat.

Karakter asketis akan menjadi suluh bagi tegaknya mandat, moral, dan tanggung jawab. Tidak hanya bersifat horizontal (hablu minannas), tetapi juga bersifat vertikal (hablu minallah) sehingga akan mampu menjalankan perbuatan yang utama bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Dia akan berani mendiskriminasikan ego dengan cara menempatkan dirinya pada posisi rakyat, ikut merasakan penderitaannya, peka terhadap keinginannya, serta selalu berupaya membebaskan penderitaan itu dengan cara apa pun. Kehadiran calon pemimpin tanpa syarat dengan karakter asketis ini menjadi harapan di tengah kehidupan elite politik yang sudah sedemikian terpelanting dalam arus keserakahan.
Indeks Prestasi

Post a Comment