Mendadak KampanyeArswendo Atmowiloto ; Budayawan |
KORAN JAKARTA, 29 Maret 2014
Tema kampanye pileg masih akan terus berlangsung sampai masa tenang. Mendadak atau tidak, seolah semua kegiatan hanya soal kampanye belaka. Jalanan yang kita lalui full baliho, poster, seruan. Juga di jalan kampung yang masih tersisa pohon atau dinding kosong, atau bisa dipasangi spanduk. Media massa—ya televisi, ya radio, ya media cetak, ya media sosial—menerjemahkan kampanye dalam berita, dalam iklan, dalam liputan, dalam laporan khusus. Segala hal yang berbau kampanye ditampilkan: dukun politik, aksi nyentrik cara unik menarik perhatian, sampai dengan munculnya sales promotion girls , SPG, nama caleg. Masing-masing kegiatan ada beritanya, ada komentarnya, ada kritiknya. Di balik yang terlihat, banyak diskusi soal yang kurang lebih sama. Hasil dari diskusi atau seminar ini nantinya melebar dalam pemberitaan, lengkap dengan segala opini dan jawaban jika dianggap tidak seperti yang dimaksudkan. Saya yang tidak kampanye, dan bukan tim kampanye – atau yang mirip dengan pekerjaan itu, sudah di-booking hingga tanggal 9 April nanti untuk ngomong soal kampanye atau bukan bukan kampanye—hitam atau abu-abu. Saya termasuk yang meragukan keefektifan kampanye model baliho atau “hantu pohon”, yang mendadak muncul dan meminta doa restu. Bukan hanya karena tak mengenal siapa dianya, juga tak jelas pesan yang disampaikan. Komunikasi mengisyaratkan kesetaraan dua pihak. Dalam banyak contoh disebutkan seorang polisi yang memeriksa tersangka kriminal—pembunuhan atau penjambretan—bukan bentuk yang seimbang. Demikian juga dengan wajah gagah atau cantik para caleg yang menawarkan diri dalam busana yang barangkali malah sulit dikenali. Apa lagi nanti di lermbar kertas yang dicoblos. Bahkan, dalam hati saya juga meragukan hasil kampanye yang dianggap besar-besaran seperti apel besar sekalipun. Bukan karena apa melainkan justru jalan pikiran berbeda yang muncul. Jangan-jangan yang dikumpulkan ini “orang-orang bayaran”, yang sah-sah saja dan menjadi mata pencaharian bagi mereka ketika juga tampil untuk partai politik lain. Atau jalan yang menjadi macet. Atau, untung sekarang tidak terjadi, ribut di jalanan. Dalam pikiran saya: apa iya calon pemilih ini bisa berubah pikiran hanya karena kampanye sesaat itu? Apakah bukannya calon pemilih, pemula sekali pun, sudah memiliki pilihan partai politik mana yang akan dipilih? Atau tak dipilih. Mungkin ini jalan pikiran saya yang kurang menyenangkan bahwa justru kampanye oleh tokoh tertentu dari parpol tertentu bisa berbalik menghantam dirinya jika tak cukup bijak. Jika misalnya melakukan serangan, atau kritik yang selama ini digolongkan SARA? Lebih buruk dari itu semua adalah: pada masa kampanye seperti ini muncul berita atau gambar yang “miring” , yang menyudutkan, yang akan susah dibantah oleh konferensi pers sekalipun. Ada banyak energi dan biaya yang terkuras, hanya untuk menutup atau menghapus coretan yang tak perlu ada. Demikian juga “kampanye alami” yang dilakukan tanpa sengaja pada masa lalu, katakanlah track record, yang menjadi ingatan publik. Kampanye alami yang mungkin tidak dimaksudkan sebagai kampanye ini dalam bayangan saya jauh lebih berkesan, jauh lebih menentukan penilaian untuk menjatuhkan pilihan, dibandingkan kampanye sesaat. Tidak berarti kampanye sekarang tak berarti. Justru gelombang yang terjadi menyenangkan: banyak warga mendapat tumpangan gratis menuju lapangan, mendapat makan siang, syukur kaus dan uang saku, dihitung per kepala, mungkin juga hiburan musik—yang bagi musisi pun kebagian rezeki. Juga para pengatur kegiatan, yang menyewakan kursi atau pengeras suara, yang membuat sablon. Dan semua oke-oke, serta baik dan benar adanya. Kita nikmati saja. ● |
Post a Comment