Bahasa Indonesia Kalah Gengsi?Sudaryanto ; Dosen Bahasa Indonesia Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta; Pengajar Tamu di Guangxi University for Nationalities dan Xiangsihu College, Nanning, Tiongkok |
OKEZONENEWS, 28 Maret 2014
Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof. Dr. Fathur Rokhman pernah mengkritisi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang lebih condong menggunakan bahasa Inggris. Kondisi ini, menurut Fathur yang juga Guru Besar Bidang Sosiolinguistik Unnes, turut membuat bahasa Indonesia kalah gengsi. Benarkah bahasa Indonesia mengalami kalah gengsi daripada bahasa asing? Jika demikian, lantas bagaimana mengatasi persoalan tersebut? Kekalahgengsian bahasa Indonesia seperti disinyalir oleh Prof Fathur Rokhman, sebetulnya bukan fenomena baru. Sebelum munculnya program RSBI, bahasa Indonesia telah kalah gengsi dibandingkan bahasa Inggris. Dalam keseharian kita, tak sedikit orang Indonesia lebih memilih kata security yang artinya ‘satuan pengaman; satpam’. Bagi mereka, kata satpam tidak dipilih karena dinilai merendahkan. Begitu pula kata driver dan omelette. Sikap merendahkan bahasa Indonesia juga terlihat di banyak tempat. Di tempat umum, misalnya, banyak iklan reklame menggunakan bahasa Inggris tanpa mencantumkan padanannya dalam bahasa Indonesia. Di Yogyakarta, tepatnya di perempatan daerah Demakijo dekat rumah penulis, ada iklan reklame kartu telepon genggam yang semuanya berbahasa Inggris. Padahal, yang membaca iklan reklame tersebut ialah kita orang Indonesia, bukan orang asing. Penggunaan bahasa Inggris secara membabi buta terjadi pula pada nama-nama pusat perbelanjaan dan perumahan di Yogyakarta. Sekadar contoh, Ambarukmo Plaza, Galeria Mall, Malioboro Mall, Merapi View, dan Trihanggo Residence. Barangkali, penggunaan bahasa Inggris pada nama-nama pusat perbelanjaan dan perumahan itu dipilih karena lebih bergengsi, juga memiliki daya jual yang cukup tinggi di mata masyarakat. Setali tiga uang, penggunaan bahasa Inggris telah menjamur di lingkungan kampus. Para dosen dan mahasiswa kita, termasuk yang di Jurusan Bahasa Indonesia, lebih terbiasa mengucapkan kata download, upload, e-mail, dan website. Bagi mereka, ada perasaan kebanggaan tersendiri apabila dapat mengucapkan kata-kata tersebut daripada padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu unduh, unggah, surel atau pos-el, dan laman. Perlu Terobosan Menyikapi hal di atas, rasanya diperlukan terobosan-terobosan baru dari para pakar bahasa agar berbagai persoalan bahasa Indonesia yang terjadi di tengah masyarakat mendapatkan jalan keluar. Tanpa itu, potensi kerusakan yang timbul terhadap penggunaan bahasa Indonesia akan semakin besar. Hemat penulis, langkah pertama ialah memupuk rasa kebanggaan berbahasa Indonesia melalui lingkup pendidikan dan pemerintahan. Di lingkup pendidikan, pengembangan kemampuan berbahasa Indonesia siswa-mahasiswa perlu ditingkatkan. Adalah ironis jika nilai Ujian Nasional (UN) Bahasa Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan nilai UN Bahasa Inggris. Juga ironis apabila mahasiswa sudah mengambil mata kuliah Bahasa Indonesia, namun kesalahan berbahasa masih dilakukannya pada saat menulis skripsi. Inilah tugas berat yang perlu diemban oleh guru-dosen bahasa Indonesia. Sementara itu, di lingkup pemerintahan, pemerintah pusat dan daerah harus berkomitmen nyata dalam menerapkan UU Nomor 24 Tahun 2009, khususnya Pasal 36. Dalam Pasal 36 disebutkan, bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, dan apartemen atau permukiman. Jika begitu, maka tidak ada lagi nama bangunan atau gedung dan permukiman yang menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah juga harus berkomitmen nyata dalam menerapkan Pasal 38 UU Nomor 24 Tahun 2009, yaitu mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum. Tanpa komitmen itu, penggunaan bahasa Inggris di masyarakat kita kian meminggirkan bahasa Indonesia yang semestinya perlu dilestarikan keberadaannya. Langkah kedua, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) harus rutin memperhatikan penggunaan bahasa di media massa, juga lebih peduli terhadap penggunaan bahasa alay di kalangan anak muda. Bahasa alay yang mendominasi percakapan anak muda, khususnya di telepon genggam dan media jejaring sosial, perlu dicermati. Kadangkala penggunanya menggunakan bahasa dengan prinsip “sekenanya”, termasuk bahasa Inggris. Walhasil, dari sini muncullah fenomena bahasa yang disebut Deddy Mulyana (2013) sebagai “bahasa gado-gado”. Pencampuradukkan bahasa Indonesia dan asing (Inggris) dinilai berpotensi merusak bahasa keduanya, baik dari segi tata bahasa maupun pengucapannya. Jadi, alangkah baiknya jika kita menghindari hal itu dalam penggunaan sehari-hari. Salah satu caranya ialah dengan rutin membuka KBBI dan menggunakan kata padanannya itu. Dalam keseharian, penulis lebih rutin mengucapkan kata unduh, unggah, dan laman daripada kata download, upload, dan website. Meskipun agak sedikit “asing” didengar oleh orang lain, namun penulis merasa memiliki kebanggaan tersendiri apabila menggunakan padanan kata bahasa Indonesia itu. Nah, mulai hari ini Anda sebagai penutur asli bahasa Indonesia, saya ajak untuk lebih bangga dan bergengsi dalam menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian. Di atas semua itu, sebagai penutur asli dan pengajar bahasa Indonesia, penulis mengajak kepada masyarakat kita agar lebih menjadikan bahasa Indonesia bermartabat di negeri sendiri. Dengan berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan wajar, kelak akan membuat diri kita merasa bermartabat. Marilah kita gunakan bahasa Indonesia dan asing sesuai ranahnya masing-masing, serta tidak usah mencampuradukkan keduanya. Bagaimana pendapat Anda? ● |
Post a Comment