Menelisik Anak Korban Bencana Sri Tjahjorini ; Widyaiswara Madya Pusdiklat Kesos Kementerian Sosial, Alumna S3 IPB |
KORAN JAKARTA, 13 Maret 2014
Anak bukan bentuk mini orang dewasa. Mereka berperasaan dan memunyai hak sama untuk hidup, tumbuh, dan berkembang secara maksimal sesuai potensi. Anak merupakan individu. Karakter dan kebutuhan mereka sangat bervariasi. Begitu banyak bencana yang menghantam negeri ini. Bencana datang bertubi-tubi, mulai dari banjir, longsor, gunung meletus, hingga kekeringan. Bencana telah membuat anak-anak harus hidup dalam situasi darurat sehingga perasaan, hak, dan kebutuhannya terabaikan. Ini harus dicarikan solusi. Dalam setiap musibah besar, anak menjadi kelompok rentan dan terdampak paling besar. Mereka belum dapat melindungi diri sendiri sehingga sangat mungkin menjadi korban. Secara berlapis, dimulai dari lingkar keluarga dan kerabat, masyarakat sekitar, pemerintah lokal dan pusat, berkewajiban melindungi anak. Mereka harus mengupayakan pemenuhan hak-haknya. Kenyataannya, hampir dalam setiap bencana, bocah-bocah tak terurus. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 59 menyatakan, "Pemerintah atau lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberi perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat." Salah satu situasi darurat adalah bencana. Ketidaknyamanan di pengungsian membuat anak tertekan, depresi, dan mengalami trauma yang mendalam. Tambah lagi, penanganan anak tidak menyentuh masalah ini. Seandainya stres dan trauma anak karena bencana tidak ditangani serius, akan berdampak pada proses tumbuh kembang selanjutnya. Terlebih bila pada saat bencana sampai kehilangan ayah, ibu, kakak, adik atau orang-orang terdekat. Situasi tersebut dapat mendorong anak cenderung bertingkah laku agresif, pendiam, hilang ketertarikan untuk bersekolah (suka bolos). Tak jarang dampak lain adalah perasaan takut terjadi lagi bencana alam. Dampak fisik memang mengenaskan, tetapi akibat psikis kadang jauh lebih berat dan tidak mudah penanganannya karena memerlukan keahlian khusus. Menangani dampak psikososial korban harus betul-betul menyentuh sisi humanis. Anak akan bereaksi secara fisik, emosional, kognitif, spiritual, dan interpersonal. Reaksi fisik akan memperlihatkan gejala tegang, cepat lelah, sulit tidur, nyeri kepala, mudah terkejut, jantung berdebar-debar, mual-mual, dan selera makan menurun. Reaksi emosional antara lain syok, takut, marah, sedih, merasa bersalah (karena selamat sementara anggota keluarga lain meninggal/terluka). Mereka juga merasa tidak berdaya dan tidak dapat merasakan apa pun. Anak tidak dapat merasakan kasih sayang, kehilangan minat beraktivitas, termasuk pada sesuatu yang sebelumnya digemari. Mereka juga depresi (sedih yang mendalam, banyak menangis, kehilangan tujuan hidup, ingin mati, menyakiti diri). Reaksi kognitif dalam bentuk kebingungan, ragu-ragu, kehilangan orientasi, sulit membuat keputusan, khawatir, tidak dapat konsentrasi, lupa, sering mengingat kembali pengalaman traumatis tersebut. Yang terakhir dialami dalam mimpi buruk, flashback. Bocah jadi peka dengan tempat, waktu, bau, suara tertentu yang mengingatkan pada peristiwa traumatis bencana. Reaksi spriritual bisa berupa kehilangan iman terhadap Tuhan. Dia menunjukkan sinisme terhadap agama, kehilangan makna hidup. Terakhir adalah reaksi interpersonal seperti sulit memercayai orang lain, mudah terganggu, teriritasi, tidak sabar, mudah terlibat konflik, menarik diri, menjauhi orang lain, dan merasa ditolak. Untuk individu termasuk anak, reaksi stres terhadap bencana akan sangat bergantung pada kemampuan bangkit kembali (resiliensi) dari keterpurukan. Di sisi lain, kemampuan resiliensi ini juga sangat dipengaruhi ciri pribadi seperti memiliki keterampilan beraktivitas sehari-hari. Jika anggota keluarga meninggal atau anak terpisah dari anggota keluarganya, akan menimbulkan masalah lain lagi. Di lain pihak, fasilitas yang tersedia di pengungsian tidak memadai bagi anak-anak untuk dapat hidup secara normal. Kondisi lingkungan di sekitar pengungsian yang tidak nyaman, kekurangan gizi, pendeknya semua serbaminus, termasuk tidak ada ruang atau halaman anak beraktivitas seperti bermain. Maka, pengungsi mudah terserang penyakit. Belum lagi bicara akses pendidikan. Dengan demikian, perkembangan anak selama berada di pengungsian dapat terhambat karena banyak ketidakimbangan. Salah satu dampak bencana alam yang cukup menonjol dalam kehidupan anak adalah reaksi primer dalam berbagai situasi penuh stres yang disebut"regresi." Dalam kondisi demikian, bocah menampilkan tingkah laku yang semestinya ada di taraf perkembangan yang lebih awal dari usia sebenarnya. Dia juga mungkin mengulang kembali tingkah laku yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Untuk bencana skala kecil sekalipun yang tidak banyak menimbulkan kerusakan, pasti ada dampak stres yang ditimbulkan bagi anak walaupun korban kemungkinan dapat cepat bangkit. Apalagi bencana skala besar dengan kerusakan total, memakan korban yang tidak sedikit, pasti dampak stres dan trauma yang ditimbulkannya juga besar. Dalam kondisi demikian, perlu waktu rehabilitasi dan recovery dengan waktu relatif lama. Pendamping Pada orang dewasa terkait dengan pengalaman hidupnya, mungkin dapat mengelola stres dan trauma yang dialami. Namun, tidak demikian dengan anak karena belum memiliki pengalaman hidup. Orang dewasa harus membantu anak keluar dari situasi dan kondisi stres. Jadi, diperlukan pendamping yang kompeten secara khusus untuk melepaskan problem psikososial anak. Dalam terapi, pendamping lebih banyak menggunakan media bermain sesuai dunia anak. Beri kesempatan anak mengekspresikan diri dan emosinya, terutama terkait musibah. Sebagai calon penerus, anak harus mampu keluar dari krisis kepercayaan diri. Tanggung jawab orang dewasa membantu anak agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai tahap-tahapnya. ● |
Post a Comment