Menembak di Kuda MK Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi |
KORAN SINDO, 15 Maret 2014
Suatu sore pada awal November 2013 setelah lama pensiun dari Mahkamah Konstitusi (MK), saya didatangi kiai besar dari Banten yaitu Kiai atau Abuya Muhtadi. Ditemani beberapa orang, Kiai Muhtadi datang ke kantor saya mengantar Arief Wismansyah, calon wali kota Tangerang yang saat itu baru memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara mutlak. Kiai Muhtadi dan Arief Wismansyah datang untuk meminta tolong perkara yang dihadapinya di Mahkamah Konstitusi (MK). Arief yang menang mutlak dalam pilkada wali kota digugat ke MK oleh pasangan calon yang kalah agar kemenangannya dibatalkan dengan alasan terjadi kecurangan. Kiai Muhtadi dan Arief meminta saya untuk membantu agar MK tetap mengukuhkan kemenangannya. Mereka takut kalau ada permainan di antara para hakim MK dengan penggugat sehingga kemenangannya dibatalkan MK. Arief Wismansyah menanyakan, harus melakukan apa dan menemui siapa untuk tetap menang di MK. Setelah saya baca berkasnya, saat itu juga saya bilang, ”Baiklah, perkara Pak Arief saya urus. Tak usah menghubungi siapa pun di MK biar saya yang tangani. Saya mantan ketua MK, tahu jalannya memenangkan kasus ini.” Setelah itu mereka saya persilakan pulang dan menunggu saja hasilnya. Beberapa hari setelah itu, pada 19 November 2013 sore, saya ditelepon dan dikirimi SMS oleh tim yang ikut Arief Wismansyah ke kantor saya. Dia berteriak kegirangan, ”Terima kasih, Pak Mahfud atas bantuannya. Pak Arief sudah menang di MK.” Dr Chaidir Bamuallim, teman saya saat sama-sama jadi aktivis mahasiswa di Yogya pada 1990-an, ikut mengontak saya dan mengucapkan terima kasih atas bantuan saya memenangkan Arief di MK. Kata mereka, Pak Arief akan sowan kepada saya untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Saya tergelak mendengar reaksi mereka atas kemenangan itu. Mereka tidak tahu bahwa saya tak melakukan apa pun atas kemenangan Arief Wismansyah. Saya tidak menghubungi siapa pun di MK untuk memenangkannya. Arief itu menang sendiri karena secara hukum memang menang. ”Eh, saya tak pernah mengurus agar Pak Arief menang di MK. Dia itu memang menang sendiri. Jadi tak perlu berterima kasih kepada saya,” jawab saya kepada mereka. Cerita tentang Arief Wismansyah yang sekarang sudah mapan sebagai wali kota Tangerang itu bisa menyimpulkan dua hal. Pertama, orang yang beperkara merasa khawatir kalau dikalahkan karena hubungan-hubungan gelap antara pihak yang beperkara dan orang-orang MK sehingga mereka akan berusaha juga mencari jalan di luar jalur sidang resmi. Jangankan yang kalah atau penggugat, yang menang pun masih khawatir dikalahkan secara tidak fair kalau tak punya jalur-jalur khusus ke orang dalam di pengadilan. Kedua, banyak kasus yang sebenarnya dengan dibaca sekilas saja sudah bisa disimpulkan akan menang atau kalah. Seperti kasus kemenangan Arief Wismansyah sebagai walikotaTangerangsejak awal saya yakini akan menang di MK tanpa perlu diurus di luar sidang karena posisi kasusnya sudah jelas. Nah, di sinilah bisa terjadi penyalahgunaan oleh orang-orang pengadilan. Orang-orang yang sudah pasti menang dihubungi oleh hakim atau oleh orang-orangnya untuk dimintai uang agar bisa memang, padahal mereka memang sudah menang sendiri. Itulah yang dalam khazanah perkorupsian disebut sebagai ”teori menembak dari atas kuda” yakni memeras orang untuk dimenangkan, padahal memang sudah pasti menang sendiri. Menembak dari atas kuda bisa juga dilakukan setelah ada putusan, tetapi belum diucapkan di sidang terbuka karena vonis yang harus dibacakan harus dikonsep dan diteliti bersama-sama lebih dulu. Biasanya antara waktu penetapan putusan oleh majelis hakim dan pembacaannya di depan sidang terbuka ada jarak waktu sampai berhari-hari, bahkan bisa berminggu-minggu. Penembakan dari atas kuda untuk mengambil untung bisa dilakukan oleh hakim atau orang-orangnya dalam kurun waktu menunggu pembacaan vonis itu dengan meminta sejumlah uang agar perkaranya bisa menang, padahal memang sudah menang sendiri. Dalam melakukan korupsi yang seperti itu seorang hakim bisa saja melakukannya sendirian tanpa sepengetahuan hakim-hakim lain. Hakim yang tidak ikut memeriksa perkara pun secara sendirian bisa mengintip vonis dan menggorengnya agar menghasilkan suap tanpa sepengetahuan atau melibatkan hakim-hakim lain. Selain itu, ada juga cara brutal. Hakim korup tidak menembak dari atas kuda dengan memeras orang yang memang menang sendiri, tetapi sengaja membalik perkara dengan bayaran tertentu sehingga yang menang jadi kalah dan yang kalah jadi menang. Karena ada hakim-hakim yang seperti itulah, hampir semua orang yang beperkara merasa takut sehingga sama-sama berusaha menyuap hakim, baik yang dalam posisi kalah maupun yang dalam posisi menang. Dalam kaitan ini bisa saja banyak hakim lain yang terlibat melalui persekongkolan untuk memenangkan atau mengalahkan pihak tertentu karena vonis ditetapkan bersama majelis. Aparat penegak hukum seperti KPK wajib membongkar korupsi hakim sampai ke akar-akarnya, termasuk mengungkap siapa saja hakim-hakim lain yang terlibat. ● |
Post a Comment