Demokrasi (Tanpa) Uang Athik Hidayatul Ummah ; Mahasiswa S2, Mantan Ketua Korps PMII Putri Jatim |
KORAN SINDO, 15 Maret 2014
Pemilu legislatif (pileg) sudah di depan mata. Para calon anggota legislatif (caleg) mulai berlomba meraih simpati rakyat. Mereka tak hanya bersaing melawan caleg partai lain, tapi juga caleg sesama partai. Berbagai cara mereka lakukan untuk menggalang suara, mulai cara yang normal hingga cara yang tak normal. Cara normal dilakukan dengan memasang gambar sosialisasi dan pendekatan langsung ke rakyat. Sedangkan, cara tak normal dilakukan dengan menabrak rambu-rambu. Misalnya, politik uang atau money politic untuk membeli suara rakyat, dan manipulasi suara di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam politik, uang bukan segala-galanya. Namun, uang bisa menentukan nasib politisi. Karena itulah, melihat pertarungan para caleg saat ini, tak berlebihan jika disebut dengan pertarungan uang. Politisi akan cenderung menghalalkan segala cara agar bisa menang. Di sisi lain, rakyat yang mulai bosan melihat distorsi politik perwakilan, cenderung bersikap pragmatis. Selama era reformasi, rakyat telah tiga kali mengikuti pemilu. Toh hasilnya selalu mengecewakan. Wakil rakyat yang seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat, lebih patuh kepada partai yang dikendalikan penguasa dan pemilik modal. Alhasil, rakyat yang merasa sudah frustrasi, akan menyerahkan suaranya kepada caleg yang berduit. Kondisi itulah yang memaksa politisi harus punya modal politik besar. Selain untuk melakukan sosialisasi, modal besar juga untuk ”merayu” rakyat dengan berbagai modus. Mulai dari sumbangan hingga langsung membeli suara. Pertanyaannya, dari mana uang itu didapat? Bukankah politik uang malah membuat subur praktik korupsi? Demokrasi transaksional yang kini berkembang di Indonesia memaksa para politisi mencari sumber-sumber pendanaan instan untuk menjalankan mesin politiknya. Bisa jadi uang itu dikumpulkan dari mengorup uang rakyat. Pendek kata, money politic dalam bentuk langsung atau tidak masih menjadi hantu di Pemilu 2014. Berbagai riset yang dilakukan sejumlah lembaga survei independen menunjukkan bahwa praktik politik uang masih akan mewarnai Pemilu 2014. Parahnya, mayoritas pemilih memaklumi politik uang. Bahkan, mereka akan menjatuhkan pilihan kepada caleg yang memberi uang atau dalam bentuk lain. Hanya sedikit rakyat yang memilih berdasarkan hati nurani. Pileg yang akan digelar tanggal 9 April 2014 sejatinya akan menentukan wajah Indonesia lima tahun ke depan. Namun, jika uang menjadi faktor utama orang menjatuhkan pilihan, betapa kecilnya peluang caleg miskin yang jujur dan amanah. Bagi caleg berduit yang melenggang ke parlemen, sulit bagi mereka untuk menjalankan amanat rakyat dengan baik. Apalagi mereka merasa telah membeli suara rakyat saat pemilu. Di sisi lain, partai politik juga melakukan segala cara untuk mendulang suara di pemilu. Faktor popularitas figur lebih diutamakan ketimbang visi-misi dan gagasan membangun Indonesia yang lebih baik. Karena itu, tak mengherankan jika dalam setiap pemilu banyak artis yang ditampilkan sebagai caleg. Memang tak semua caleg artis dengan popularitas tinggi minim kemampuan. Namun, melihat hasil Pileg 2004 dan 2009, betapa banyak caleg artis yang hanya menjadi pelengkap di parlemen. Ketika masa kampanye, gambar mereka bertebaran mengisi ruang-ruang publik. Namun, setelah terpilih hanya beberapa dari mereka yang mampu eksis. Netralitas Penyelenggara Pemilu Potensi kecurangan pemilu terbuka lebar di tengah makin pragmatisnya pemilih. Pemilih bisa jadi tak hanya menerima uang dari salah satu politisi. Pemilih bisa menggunakan prinsip aji mumpung. Uang dari mana pun akan diterima, ketimbang menunggu hasil kerja konkret mereka di parlemen yang belum tentu jelas. Dalam situasi seperti ini, caleg yang kalah populer atau yang khawatir terhadap suara yang didapat bisa jadi akan merapat ke panitia pemungutan suara. Mereka akan memanfaatkan penyelenggara pemilu yang mau menerima suap. Yang penting mereka bisa lolos ke parlemen lewat manipulasi suara. Terkait itu, netralitas penyelenggara pemilu mendapat ujian serius. Mereka akan menjadi sasaran rayuan politisi berduit yang berani menghalalkan segala cara untuk menang. Apalagi, selama beberapa kali pemilu desas-desus adanya jual-beli suara di tingkat penyelenggara pemilu telah terjadi. Sayangnya, aroma itu masih sulit dibuktikan. Kekhawatiran itu cukup masuk akal. Pasalnya, KPU di daerah banyak yang main mata dengan calon. Lihat saja Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang telah menghukum puluhan penyelenggara pemilu. Institusi yang dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie itu telah memecat 95 anggota KPU Daerah yang terindikasi melakukan pelanggaran kode etik terhadap penyelenggaraan pilkada di daerah. Perinciannya, pada 2013 lebih dari 60 penyelenggara pemilu dipecat oleh DKPP. Jumlah ini lebih banyak daripada tahun 2012, saat sebanyak 31 penyelenggara pemilu dipecat DKPP. Fenomena banyaknya pemecatan, salah satunya disebabkan latar belakang komisioner KPU di daerah. Rata-rata komisioner KPU Daerah berusia muda, yang merupakan mantan aktivis, dan kebetulan gaji penyelenggara pemilu di daerah terbilang masih rendah. Kondisi ini dimanfaatkan sejumlah pihak, terutama calon kepala daerah yang incumbent. Temuan itu didapat DKPP di persidangan. Potret kinerja KPU di daerah juga terlihat dari tingkat kepuasan publik terhadap hasil pilkada. Jumlah gugatan sengketa pilkada atau perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi (MK) masih sangat tinggi. Pada 2012 sebanyak 112 perkara PHPU masuk ke meja MK. Sedangkan, pada 2011 MK menangani 138 kasus PHPU. Dan, pada 2010 dengan 230 perkara. Memang tidak semua gugatan yang masuk dikabulkan oleh MK. Namun, masih adanya praktik pelanggaran dan kecurangan menandakan demokrasi di Indonesia masih buram. Mulai dari kasus daftar pemilih tetap (DPT), penyalahgunaan kekuasaan, keterlibatan aparat birokrasi, mandulnya Bawaslu, KPU yang berpihak, hingga manipulasi dan jual-beli hasil penghitungan suara. Parahnya lagi, ketika kecurangan pemilu terjadi, rasanya rakyat masih sulit percaya terhadap institusi MK yang sampai kini masih diguncang prahara. Itu menyusul tertangkapnya Akil Mochtar saat menjabat sebagai ketua MK karena terlibat sejumlah kasus suap. Dalam situasi seperti ini, demokrasi dengan proses pemilu yang menghabiskan uang triliunan rupiah, dikhawatirkan menimbulkan anarki di masyarakat. Aroma kecurangan pemilu dan politik uang selalu berhembus kencang dalam pemilu. Namun, sampai saat ini praktik penodaan demokrasi itu sulit dibuktikan. Hanya beberapa yang masuk meja pengadilan, termasuk kasus yang melibatkan Akil Mochtar. Adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang harus meningkatkan pengawasannya. Namun, Bawaslu saja tentu tidak cukup. Rakyatlah yang bisa menangkal pengaruh terjadinya politik uang. Menjalankan demokrasi dalam keadaan perut rakyat yang sedang lapar tak mungkin bisa optimal. Logistik kerap menghilangkan logika orang. Selama kehidupan rakyat masih jauh dari sejahtera, rasanya sulit menghapus demokrasi transaksional dan pragmatisme politik di Indonesia. ● |
Post a Comment