Menyoal Pemilu Luar Negeri

Menyoal Pemilu Luar Negeri

Ahmad Sahidah  ;   Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
KORAN SINDO,  26 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
Pada Senin, 10 Maret 2014, penyedia layanan komunikasi Digi memberi tahu pengguna layanan bahwa pemilihan umum untuk memilih anggota DPR akan dilaksanakan pada 6 April 2014. Pesta demokrasi di negeri jiran dihelat tiga hari lebih awal daripada pelaksanaan di Tanah Air.

Tentu pemilihan hari Minggu adalah tepat sehingga warga Indonesia yang berada di negara tetangga bisa menunaikan hak pilihnya untuk memilih calon wakil rakyat dari daerah pemilihan II Daerah Khusus Istimewa Jakarta. Hanya, perlu diketahui bahwa negara bagian Kedah, Trengganu, dan Kelantanhari Minggu adalah permulaan kerja, termasuk yang paling baru adalah Johor. Menariknya, panitia pemilihan luar negeri Kuala Lumpur yang meliputi Selangor, Negeri Sembilan, Perak, dan Trengganu berhasil mengumpulkan daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 402.730 orang.

Besaran angka ini menakjubkan karena belasan petugas lapangan berhasil mencatat pemilih hingga ratusan ribu. Dengan meliputi empat negara bagian dan ibu kota, tentu sebagian besar angka itu tidak diperoleh dari pendataan dari rumah ke rumah atau rumah “kongsi”, tempat kebanyakan buruh bangunan tinggal. Bisa diduga bahwa data itu juga diambil dari daftar tenaga kerja Indonesia di Kedutaan Besar RI Kuala Lumpur. Hanya, dalam laporan PPLN di laman web KBRI, kita memang mendapatkan nama, nomor paspor, dan alamat, tetapi verifikasi tetap diperlukan untuk pengesahan calon pemilih.

Implikasi dari kesalahan dalam verifikasi cukup besar. Apabila alamat yang tertera itu didapat dari lapor diri kedatangan pertama ke negeri jiran, mereka mungkin telah pindah alamat. Lebih malangnya lagi, mereka telah pulang ke Indonesia karena kontrak kerja berakhir, terutama buruh migran yang bekerja di kilang (pabrik) dan penata laksana rumah tangga. Sementara kebanyakan buruh yang bekerja di sektor konstruksi bangunan sering berpindah- pindah, sesuai permintaan pasar di lapangan. Mustahil pendata pemilih mendatangi semua rumah “kongsi” di seantero negara bagian, apalagi masuk ke rumah-rumah majikan di Semenanjung.

Pelajaran

Betapapun kesahihan data dipersoalkan, pemilu tetap bermakna bagi warga kita di luar negeri. Bagi mereka yang berkorban untuk mencoblos langsung ke tempat pemungutan suara (TPS) merupakan pengalaman berharga karena jumlah TPS sangat terbatas. Bayangkan! Untuk wilayah utara yang terdiri atas tiga negara bagian, Pulau Pinang, Perlis, dan Kedah, PPLN hanya menyediakan dua TPS yaitu kantor konsulat dan rumah dinas konsul di Jalan Burma dan Tunku Abdurrahman. Karena faktor jarak, sebagian besar memilih menggunakan hak pilihnya melalui pos atau kotak keliling (drop box). Terkait pencoblosan melalui pos, pengalaman buruk mungkin terulang.

Dengan hanya bermodal data pemilihan tetap dari data konsuler, ternyata banyak buruh migran yang bekerja di pabrik telah menyelesaikan kontrak sehingga yang bersangkutan telah kembali ke Indonesia. Tak hanya itu, kadang alamat yang tertera di data induk juga tempat tinggal lama. Mereka berpindah ke tempat lain. Akibat itu, surat tanda suara itu tidak dikembalikan ke alamat panitia meskipun telah dibubuhi prangko balasan. Malah, di Kuala Lumpur, ada banyak kotak suara yang dibawa ke rumah “kongsi” tercoblos satu partai saja.

Isu terakhir ini sempat menggegerkan milis Persatuan Pelajar Indonesia Se- Malaysia, namun gonjangganjing ini menguap begitu saja. Tentu, hal lain yang perlu dicermati adalah keterwakilan pemilih luar negeri. Sohibul Iman, calon anggota legislatif Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2009, yang meraup banyak suara dari Malaysia dan negara-negara lain. Setelah melenggang ke Senayan, apa yang dilakukan oleh mantan rektor Universitas Paramadina itu?

Menjawab pertanyaan saya melalui akun Twitter-nya, lulusan doktoral universitas di Jepang ini mengatakan bahwa ia tidak ditugaskan oleh partai di Komisi 1, 3, dan 9 yang relatif berhubungan dengan TKI. Kendati demikian, anggota DPR ini tetap membantu buruh migran yang ijazahnya ditahan oleh majikan, mencarikan kerja, dan meminta teman-teman dari FPKS untuk memperbaiki tata aturan dan pelaksanaan pengelolaan TKI. Apakah pemilih kita di sana percaya?

Perbaikan

Mengingat kenyataan pahit di atas, pendataan pemilih semestinya dilakukan secara hatihati. Tentu tenggat waktu dan keterbatasan petugas akan menghalangi pendataan dari rumah ke rumah. Selain itu, verifikasi data induk di Kedutaan Besar dan Konsulat juga perlu dilakukan agar pelaksanaan pemilu di luar negeri tidak sia-sia karena banyak surat suara terbuang percuma. Kadang penggunaan data induk itu dimanfaatkan sebagai jalan mudah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pemilih karena ia terkait kucuran dana pemilu dari Komisi Pemilihan Umum pusat.

Selain itu, pemilihan umum juga bukan sekadar perhelatan untuk menyukseskan pesta demokrasi, tetapi lebih jauh bagaimana ide dasar dari keterwakilan itu betul-betul bekerja. Seorang anggota DPR dari daerah pemilihan II DKI Jakarta sepatutnya bersuara paling keras terhadap kepentingan buruh migran di dalam maupun luar negeri. Malangnya, partai kadang mengebiri kadernya dengan menentukan keanggotaannya di komisi yang tidak terkait janji-janji (manifesto atau platform) yang diungkapkan.

Bayangkan! Sebelum pemilu, para calon berdatangan ke Kuala Lumpur, tapi setelah menang, yang bersangkutan tak kelihatan batang hidungnya, alih-alih menyuarakan kemaslahatan buruh. Tentu, untuk tidak mengulang kekecewaan, kita mesti melihat rekam jejak para calon yang ingin mendulang suara dari luar negeri. Akhirnya, usulan agar wakil luar negeri sepenuhnya mewakili suara warga kita di sana, bukan menumpang pada dapil II Jakarta, segera diwujudkan pada 2019.
Indeks Prestasi

Post a Comment