Pilpres dan IslamM Alfan Alfian ; Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta |
KORAN SINDO, 26 Maret 2014
Belakangan ini berita tentang kunjungan para calon presiden (capres) ke tokoh-tokoh Islam Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) kian ramai. Apa makna dari kunjungan-kunjungan itu? Secara politik kunjungan itu mencerminkan ikhtiar para capres mendekati dua organisasi Islam terbesar di Indonesia. Dalam konteks Pilpres 2014, ikhtiar itu wajar dan lazim pula dilakukan semua bakal capres. Mereka tentu tidak dapat mengabaikan fakta Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia. Wajar apabila semua ingin menunjukkan, kalau memang terpilih sebagai pemimpin nasional, tidak akan meninggalkan aspirasi umat Islam. Dari sini setidaknya dua ormas Islam tersebut masih dihitung sebagai representasi Islam Indonesia. Selain punya jejak historis, mereka juga mencerminkan identitas Islam ”arus utama” yang moderat. Hubungan Islam dan politik sepanjang sejarah nasional kita mengalami fase-fase pasang naik dan turun. Tetapi, dewasa ini, setidaknya menurut analisis sejarawan M.C. Ricklefs, dalam bukunya ”Mengislamkan Jawa” (2013), ”Saat ini tidak ada lagi perlawanan yang signifikan terhadap proses islamisasi yang lebih dalam atas masyarakat Jawa. Yang ada hanyalah perbedaan pendapat mengenai bentuk kehidupan Islam macam apa yang perlu dibangun, sejauh mana keragaman dan pluralitas dalam Islam dapat diterima atau diinginkan, bagaimana masyarakat Islam mesti menjalin hubungan dengan kaum minoritas bukan muslim yang signifikan di tengah-tengah peran macam apa yang Islam (atau, malahan, agama secara umum) mesti mainkan dalam kehidupan publik”. Apabila melihat sejumlah nama yang meramaikan bursa capres 2014, sebagian besar justru bukan yang berasal dari kelompok Islam. Yang saya maksud dengan kelompok Islam adalah setidaknya yang memiliki keaktifan di organisasi-organisasi Islam. Atau memiliki pengalaman dengan pendidikan Islam yang intensif sehingga masuk kriteria, apa yang dipopulerkan Clifford Geertz, golongan santri, untuk membedakannya dengan abangan dan priyayi dalam suatu trikotomi yang unik dalam fenomena Islam Jawa. Kendatipun tesis Geertz segera gugur dewasa ini, justru ketika trikotomi itu menjadi sangat kabur dan susah ditemukan dalam realitas sosial keislaman di Jawa, ia masih dipandang lazim untuk mengulas fenomena politik yang disederhanakan. Misalnya, dalam perspektif Geertzian, sejumlah nama berikut adalah mereka yang meramaikan bursa kepemimpinan nasional dari golongan santri yakni Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, Mahfud MD, Dahlan Iskan, Anies Baswedan, Hatta Rajasa, Anies Matta, Hidayat Nurwahid, Suryadharma Ali, Din Syamsudin, Hajriyanto Thohari, hingga Rhoma Irama. Selain itu, masuk ranah golongan nonsantri seperti Jokowi, Wiranto, Hary Tanoesoedibjo, Prabowo Subianto, Pramono Edhie Wibowo, Surya Paloh, Puan Maharani, Sri Mulyani, Agus Martowardojo, Ryamizard Ryacudu, Aburizal Bakrie, dan yang lain. Golongan nonsantri bukan berarti mereka yang tidak beragama Islam, melainkan lebih merujuk pada latar belakang aktivitas ”sosial-politik” mereka selama ini. Dalam perspektif ini kendatipun perbedaannya semakin tipis, kalangan ”aktivis santri” sering proaktif mempertanyakan ”komitmen politik nonsantri” terkait aspirasi umat Islam. Mereka bahkan berikhtiar memberi sejumlah catatan agar ”blangko politik” para bakal capres tidak kosong. Pendekatan demikian tampaknya jauh lebih elegan ketimbang melakukan ihwal yang tendensius dan destruktif. Dewasa ini memang bukan lagi era politik ideologi aliran sebagaimana tempo dulu. Aspirasi Islam dalam batas-batas tertentu telah ditampung oleh partai-partai terbuka (catch-all parties) melalui sayap-sayap keagamaan masing-masing. Inilah yang membuat apa yang pernah dikategorikan oleh Anies Baswedan sebagai ”nasionalis eksklusif” tidak ada lagi. Semua partai terbuka di Indonesia dewasa ini, masuk ke kategori ”nasionalis-inklusif”, justru karena telah menampung aspirasi keagamaan dalam sayap-sayap organisasi mereka. Di sisi lain, di ranah ”politik Islam”, atau dalam bahasa akademis politiknya sering disebut ”Islamis”, juga masih eksis partai-partai yang secara wacana dan simbolik mengidentifikasikan diri sebagai representasi politik Islam. Isuisu simbolik dewasa ini rentan tergeser oleh yang lebih substantif. Kalaupun masih ada isu ”ideologis”, biasanya hal yang sedemikian lebih terjadi di ranah tidak tampak (unseen), yang seringkali tidak dapat dihindarkan dari rumor dan gosip politik. Ada yang meyakini bahwa pertarungan ideologis masih terasa, di tengah-tengah bursa capres dan cawapres belakangan ini. Tetapi, tampaknya secara umum dunia politik populer kita tidak begitu suka dengan pendekatan demikian. Publik luas yang didominasi orangorang yang awam politik dan ”informasi terbatas” sangat dipengaruhi opini-opini tertentu dalam berbagai media. Hukum popularitas lazim mengalahkan pihak-pihak yang meyakini bahwa apa yang mereka lakukan adalah ”meluruskan akal sehat”. Dalam perspektif demokrasi elektoral ”one man, one vote, one value”, konsekuensinya, meminjam ulasan Nurcholish Madjid tempo dulu, bahkan ”setan gundul” pun bisa terpilih asal populer. Popularitas memang setingkat di bawah elektabilitas, tetapi jelas untuk terpilih, orang harus populer. Popularitas tokoh, seringkali, bahkan melampaui isu-isu ideologis, identitas, atau keagamaan. Pihak yang mencoba mengingatkan soal-soal pertarungan politik ke ranah ideologis, identitas, dan keagamaan justru sering kontraproduktif. Popularitas, apalagi yang dimunculkan dari kebijakan dan sikap populisme tokoh, punya logikanya sendiri. Perekayasaan popularitas dewasa ini juga tak lepas dari penguasaan media sosial yang intensif. Kendatipun demikian, dalam konteks ini saya kira masuk akal manakala para bakal capres tetap mempertimbangkan ”representasi Islam” sehingga setidaknya tidak ada yang merasa ditinggalkan. Memang sepertinya hal demikian terdengar rancu. Tetapi dalam ranah dan konstelasi politik Indonesia, tidaklah demikian. Indonesia bagaimanapun negara demokrasi muslim terbesar. Karakter utamanya muslim-demokrat yang moderat dan tidak diragukan nasionalismenya. Dengan begitu, tidak terlalu sukar untuk menemukan sosok-sosok santri yang representatif untuk diakomodasi secara politik oleh siapa pun yang memenangkan pemilu. Kekuatan-kekuatan ”politik” Islam tentu saja tidak hanya bisa didapat dari ranah partai-partai Islam, tetapi juga masih ada ranah tokoh-tokoh Islam di partai-partai terbuka. Juga, mereka yang bergerak di ranah ”civil society” atau, dalam istilah Robert W Hefner, ”civil- Islam”. Dari ranah-ranah inilah, para bakal cawapres, setidaknya para bakal menteri ke depan, mesti dipertimbangkan. Di ranah bakal cawapres tentu diselaraskan dengan kebutuhan politik dan pengelolaan pemerintahan demi stabilitas politik. Idealnya sosoknya politisi yang berpengaruh, mampu melakukan fungsi ”stabilisasi parlemen”. Sedangkan para menteri idealnya tetap mereka yang profesional. Wallahua’lam. ● |
Post a Comment