Urgensi Penerbitan Perma Setelah Putusan MK Ronald Lumbuun ; Hakim pada Pengadilan Negeri Cibinong |
SINAR HARAPAN, 13 Maret 2014
Setelah mendengar dan membaca isi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU XI/2013 tertanggal 6 Maret 2014 yang membatalkan ketentuan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945, spontan menimbulkan reaksi dan tanggapan dari berbagai kalangan, khususnya para praktisi dan akademikus hukum dengan argumentasinya masing-masing. Pasal 268 Ayat (3) KUHAP tersebut mengatur pembatasan permintaan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali (PK) terhadap suatu perkara pidana yang hanya dapat dilakukan sebanyak satu kali. Terkait hal ini, menurut penulis, paling tidak terdapat dua hal menarik untuk dicermati pascaputusan MK tersebut yang tentunya akan berdampak luas bagi praktik peradilan di Indonesia. Pertama, mengenai lembaga yang memiliki tanggung jawab untuk segera mengatasi situasi seperti ini. Kedua,pemahaman makna secara paripurna dari eksistensi lembaga upaya hukum PK di dalam sistem hukum Indonesia. Mahkamah Agung Berdasarkan Pasal 79 UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) sebagaimana diubah dan ditambah melalui UU No 5/2004 dan UU No 3/2009, MARI diberikan kewenangan atributif. Hal ini untuk menerbitkan suatu peraturan yang bertujuan mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan, apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam undang-undang. Dalam menjalankan fungsi pengaturannya, MARI memiliki kewenangan menerbitkan dua bentuk produk. Pertama, surat edaran Mahmakah Agung (SEMA) yang merupakan petunjuk dari petingggi MARI kepada seluruh jajaran peradilan di bawahnya. Isinya merupakan arahan administratif dan peraturan Mahkamah Agung (perma) yang lebih kepada ketentuan prinsip hukum beracara apabila belum diatur dalam undang-undang. Pasal 8 Ayat (1) dan Ayat (2) UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengakui keberadaan dan kekuatan hukum perma sebagai peraturan perundang-undangan, sepanjang diperintahkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Bertolak dari kedua ketentuan normatif tersebut, penulis berpandangan penerbitan perma yang mengatur upaya hukum PK adalah lebih logis untuk diterbitkan MARI. Hal ini guna mengatasi situasi hukum seperti saat ini dibanding SEMA yang hanya memiliki kekuatan mengikat secara internal kelembagaan. Sesungguhnya pengaturan PK melalui perma bukan suatu hal yang baru. Sejarah hukum Indonesia mencatat, eksistensi lembaga PK ini juga diawali sebuah perma, in casu: Perma No 1/1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap. Ketika itu belum terdapat ketentuan undang-undang yang mengatur upaya hukum PK, baik untuk perkara pidana maupun perdata. Namun, setelah pemberlakuan KUHAP yang mengatur upaya hukum PK, perma tersebut disempurnakan melalui Perma No 1/1982 yang hanya mengatur upaya hukum PK bagi perkara-perkara perdata. Terlepas dari pro dan kontra putusan MK tersebut, tentunya masih sangat terbuka luas untuk didiskusikan lebih lanjut. Namun, sebagai sebuah negara yang berlandaskan hukum, setiap putusan pengadilan, terlebih putusan MK yang berdasarkan Pasal 47 UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diubah dan ditambah melalui UU No 8/2011 telah menentukan; putusan MK memperoleh kekuatan hukum tetap (final and binding) sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno. Putusan tersebut tetap harus kita hormati dan laksanakan. Penulis berpendapat, tidak ada jalan selain segera menerbitkan perma yang mengatur upaya hukum PK dalam suatu perkara pidana. Ini dilakukan sambil menunggu revisi KUHAP yang saat ini sedang pembahasan di DPR RI. Pendapat ini terkait kekosongan hukum (rechtsvacuum), sehubungan pembatalan Pasal 268 Ayat (3) KUHAP yang tidak memberikan solusi berapa kali batasan upaya hukum PK yang dapat dilakukan, dengan merujuk ketentuan UU tentang MA dan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Peninjauan Kembali Terkait upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (kracht van gewjisde), upaya hukum PK masih terdapat upaya hukum luar biasa lainnya. Upaya ini adalah kasasi demi kepentingan hukum yang merupakan hak prerogatif seorang jaksa agung sebagaimana diatur Pasal 259 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 35 huruf D UU No 16/2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun, dalam tulisan ini penulis akan fokus pada upaya hukum PK (herziening) yang diatur Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP. Harus diakui, permohonan PK bertentangan dengan asas kepastian hukum (legal certainty principle) yang menentukan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap tidak dapat diubah lagi. Namun, dengan berorientasi pada tuntutan asas keadilan (fairness), putusan hakim itu tetap dapat diajukan upaya hukum PK dengan persyaratan yang ketat dan limitatif, baik perihal subjek, alasan, prosedur, serta hasil pengajuannya. John Rawls di dalam bukunya yang berjudul A Theory of Justice pernah mengungkapkan, setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan bagi semua orang. Namun menurut penulis, upaya hukum PK bukanlah upaya hukum tingkat ketiga. Jadi, terkait hal ini penulis mengimbau setiap pihak yang sedang tersangkut perkara pidana, termasuk para advokat ketika mendampingi dan memberikan legal advice kepada kliennya, untuk lebih memahami makna dan esensi tujuan lembaga PK aquo. Hal ini dengan cara tidak terlampau tergesa-gesa menggunakan upaya hukum PK yang justru nanti merugikan klien maupun dirinya sendiri. ● |
Post a Comment