Nasib Petani Tembakau Bagong Suyanto ; Dosen Sosiologi FISIP Unair, Meneliti kelangsungan usaha budi daya tembakau di Jatim |
JAWA POS, 14 Maret 2014
KENDATI berbagai regulasi telah dikeluarkan dan cukai rokok terus dinaikkan, ternyata perkembangan produksi rokok tetap tidak terbendung. Jangankan berkurang, pada 2014 ini diprediksi jumlah produksi rokok justru naik menjadi 361,4 miliar batang yang berimplikasi setoran cukai ke kas negara juga ikut naik menjadi Rp 116,28 triliun. Bandingkan dengan jumlah produksi batang rokok pada 2012 yang hanya 326,8 miliar batang dengan setoran cukai Rp 95,02 triliun rupiah (Jawa Pos, 12 Maret 2014). Bagi pabrik rokok, kampanye antirokok yang dikumandangkan berbagai pihak dan pembatasan ruang gerak perokok di zona-zona publik yang dikeluarkan berbagai pemerintah daerah, tampaknya, tidak banyak berarti. Tetapi, masalahnya sekarang, ketika kampanye antirokok (keretek) makin intens digalakkan dan upaya membatasi jumlah produksi industri tembakau benar-benar dilaksanakan, lantas bagaimana dengan nasib para petani tembakau di tanah air? Untuk Provinsi Jawa Timur, misalnya, bagaimana nasib sekitar 12 juta penduduk yang selama ini menggantungkan kehidupannya dari usaha budi daya tembakau? Bagaimana cara agar petani tembakau tidak dirugikan dan usaha budi daya tembakau tetap hidup, meski ruang gerak industri tembakau cenderung dibatasi? Studi oleh LPPM Universitas Airlangga (2013) di sejumlah sentra perkebunan tembakau di Provinsi Jawa Timur menemukan, sejak PP No 109/2012 tanggal 2 Desember 2012 tentang pembatasan tembakau diberlakukan, sebagian besar petani tembakau mengaku kehidupan dan kondisi sosial-ekonomi mereka cenderung makin memburuk. Tidak sedikit petani tembakau yang bersikap pesimistis dan merasa tidak akan mampu lagi mengandalkan tembakau sebagai sumber penghasilan keluarga. Di kalangan petani tembakau yang menyewa lahan, kondisi kelangsungan kehidupan mereka dalam banyak hal mengkhawatirkan. Sebab, selain harus menghadapi ancaman anomali cuaca, harga jual tembakau hasil panen mereka sering kurang sebanding dengan modal serta tenaga yang telah dikeluarkan. Studi yang telah mewawancarai 600 petani tembakau itu menemukan bahwa keuntungan petani tembakau dalam musim panen terakhir cenderung turun. Ketika pasar makin sempit dan ditambah kondisi cuaca yang tidak menentu, sudah lazim terjadi kualitas daun tembakau yang dihasilkan petani menurun. Ujung-ujungnya, harga jual daun tembakau pun ikut turun. Bagi petani tembakau, saat ini dan ke depan, disadari bahwa kelangsungan usaha mereka bukan tidak mungkin terancam gulung tikar. Hanya, meminta petani tembakau untuk begitu saja pindah ke tanaman atau pekerjaan yang lain bukanlah hal mudah. Meski keuntungan dari usaha budi daya tembakau cenderung menurun, sebagian besar petani umumnya masih berharap suatu saat kondisi berubah. Sebab, bila dibandingkan dengan komoditas yang lain seperti beras, palawija, jagung, cengkih, atau kopi, keuntungan usaha tembakau tetap lebih besar. Untuk mengantisipasi agar tekanan dan berbagai regulasi di bidang pertembakauan tidak melahirkan hal-hal yang kontraproduktif, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, untuk mencegah penurunan kebutuhan tembakau di pasaran tidak menimbulkan kejutan dan merugikan petani tembakau, dalam proses transisi, satu hal yang dibutuhkan adalah kepastian dan kejelasan kebutuhan pabrik rokok akan tembakau setiap tahun. Bersamaan dengan makin berkurangnya kebutuhan pasokan tembakau, tentu yang perlu dihindari adalah jangan sampai terjadi overstock tembakau yang dapat mengakibatkan harga tembakau justru makin menurun. Sebagai pembeli terbesar tembakau milik petani, pabrik rokok diharapkan bersedia memberikan informasi kebutuhan jumlah dan kualitas tembakau yang transparan agar bisa mencegah terjadinya risiko overstock. Kedua, meski telah disepakati bahwa peredaran dan penyebaran rokok di masyarakat perlu dibatasi, bagaimanapun, tetap perlu dikembangkan exit strategy yang benar-benar tepat untuk memastikan dampaknya tidak merugikan secara drastis kelangsungan hidup para pekerja di pabrik rokok. Sebagaimana diketahui, industri rokok keretek di tanah air ini merupakan industri yang padat modal, padat karya dengan melibatkan lebih dari 10 juta tenaga kerja. Berdasar data GAPPRI, di Indonesia, pabrik-pabrik produk tembakau yang sebelumnya berjumlah 5.000 pabrik kini telah menciut menjadi hanya 600 pabrik, bahkan bukan tidak mungkin hanya akan menyisakan 100 pabrik (Radjab, 2013). Untuk mempersiapkan pergeseran okupansi para pekerja pabrik rokok ketika sejumlah pabrik rokok benar-benar tutup nanti atau minimal mengurangi jumlah produksinya -entah itu pabrik rokok kecil, menengah, atau pabrik rokok berskala besar-,ada baiknya dipikirkan sejak awal pemberian bekal keterampilan alternatif dan dukungan bantuan modal usaha yang efektif bagi pekerja pabrik rokok yang menjadi korban PHK nanti atau yang sudah menjadi korban PHK. Ketiga, agar ceruk pasar yang hilang karena kolapsnya pabrik rokok berskala kecil dan menengah serta akibat berkurangnya produksi rokok keretek nasional tidak diambil alih oleh produk rokok dari perusahaan multinasional dan impor tembakau dari luar negeri, ada baiknya pemerintah berupaya melakukan langkah-langkah pencegahan. Misalnya, menerapkan kebijakan hambatan tarif (tariff barrier) dan hambatan nontarif (nontariff barrier) serta berbagai kebijakan untuk membatasi masuk dan beredarnya produk rokok impor dan tembakau impor yang akan mempercepat kehancuran pabrik rokok lokal dan petani tembakau dalam negeri. ● |
Post a Comment