Membaca Petisi Dosen Achmad M Akung ; Dosen Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang |
KORAN SINDO, 14 Maret 2014
”Dosen iku sak mulyo-mulyone penggawean”. Celetukan seorang saudara di kampung saya. Maknanya bahwa dosen adalah profesi paling ”mulyo”. Dalam bahasa Jawa, diksi ”mulyo” tidak sekadar bermakna mulia, tetapi juga tersemat atribut kehormatan, derajat, kebahagiaan, serta tentu saja kemakmuran dan kesejahteraan. Masyarakat kita secara sosiologis memandang dosen sebagai sebuah profesi dengan status sosial yang tinggi. Analoginya sangat sederhana. Kalau guru mengajar siswa, dosen pengajar mahasiswa. Adalah tidak berlebihan kalau kiranya sebagian masyarakat mengambil kesimpulan bahwa dosen semacam ”mahaguru” yang lebih pandai, hebat, dan lebih ”mulyo”. Konklusi ini juga diperkuat realitas begitu beratnya persyaratan menjadi seorang dosen. Tidak seperti guru yang ”hanya” mensyaratkan kualifikasi akademik S-1 maupun diploma, seorang dosen minimal harus bergelar S-2, bahkan S-3. Menilik UU RI Nomor 14 Tahun 2005, dosen adalah pendidik profesional dan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan, dan menyebarluaskan, teknologi, dan seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Mengemban amanah agung itu, sepanjang hayat kariernya dosen harus menjalankan ”laku” dan ”olah kanuragan” intelektual yang berat. Dosen harus selalu belajar dan berkutat dengan buku dan jurnal untuk dilahap sari pati ilmunya. Dosen pula dituntut melakukan penelitian dan publikasi dalam bentuk buku, artikel, jurnal, maupun dipresentasikan dalam temu ilmiah. Publish or perish adalah tagline yang harus sempurna diimani dan diamalkan para dosen dengan tetap mengindahkan norma akademik dan menjaga kesalehan intelektual. Tidak seperti profesi lain, tanpa penelitian dan publikasi, dosen tidak akan pernah bisa naik pangkat. Sebagai imbalan dan penghargaan kepadanya, dosen berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Namun, membincang soal gaji, konon adalah sesuatu yang tabu dan saru. Sangat ora ilok (tidak pantas) apabila akademisi membincang soal gaji. Padahal realitasnya, membincang perihal gaji, bagi sebagian dosen ibarat mengupas bawang merah. Semakin dalam dikupas, semakin deras air mata tertumpah. Sesuatu yang barangkali tidak pernah terpikirkan oleh masyarakat awam yang telanjur menganggap dosen sebagai profesi tinggi yang berlimpah materi. Tudingan sebagai orang yang mata duitan, tidak tahu berterima kasih kepada negara, atau lebih celakanya bahkan dianggap tidak mensyukuri nikmat Tuhan segera akan disematkan kepada siapa pun dosen yang mengeluh soal gaji. Pendek kata, dosen harus selalu ikhlas, bersyukur dengan NIP (narimo ing pandum) atas pendapatannya. Akumulasi Beban Tanggung jawab profesi dosen tidak bisa dianggap sederhana karena memforsir tidak hanya tenaga fisik, tetapi juga psikis, otak, dan pikiran. Semakin sulitnya kenaikan pangkat, ancaman crab mentality, sulitnya studi lanjut dan beasiswa, regulasi yang acapkali berganti, SIPKD, menjadi hal yang semakin melelahkan. Terlebih bagi sebagian dosen yang masih harus berjibaku memenuhi kebutuhan finansial. Bagi sebagian dosen, akumulasi beban tersebut terpicu untuk meletup dengan disahkannya Perpres RI No 88 Tahun 2013 pada 11 Desember. Pasal 3.1.f. menyebutkan bahwa dosen dikecualikan sebagai penerima tunjangan kinerja di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagian dosen menganggap perpres ini sebuah bentuk diskriminasi negara terhadap profesi dosen hingga akhirnya menggulirkan petisi yang dilansir melalui change.org. Tercatat, ribuan dosen telah menandatangani petisi yang ditujukan kepada pemerintah untuk merevisi perpres. Sebagian karena memang secara riil membutuhkan tunjangan remunerasi sebagai peringan beban finansial. Sedangkan sebagian lainnya karena ungkapan solidaritas atas rasa keadilan yang tercederai. Kendati demikian, ada pula dosen yang tampaknya memilih untuk tidak peduli. Sebagian mungkin karena memang merasa tidak membutuhkan, memandang gajinya telah mencukupi, atau karena menganggap tabu meminta kenaikan gaji. Sebagian yang lain, terutama yang telah merasa nyaman menjadi pejabat kampus, memilih bermain aman (play save) karena takut akan risiko yang mungkin ditimbulkan. Para penggalang petisi, dengan kesalehan intelektualnya, tentu saja tidak sedang iri hati, apalagi membenci. Apa yang tengah diperjuangkan dosen sesungguhnya sistem penghargaan (reward) yang semestinya lebih adil di negeri ini sesuai kualifikasi, beban, dan tanggung jawab pegawai. Tanpa bermaksud mengklaim diri paling penting, secara objektif haruslah dipahami bahwa core business perguruan tinggi adalah pendidikan, belajar-mengajar, dan transfer ilmu, di mana dosen tulang punggungnya. Dengan begitu, agak ganjil rasanya apabila penghasilan yang diterima para dosen ternyata lebih rendah ketimbang gaji pegawai nondosen. Padahal, kualifikasi pendidikan yang dipersyaratkan kepada seorang dosen serta tanggung jawab intelektual mendidik, mentransmisi, serta menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan jelas lebih berat berada di pundak para dosen. Tuntutan yang diajukan sesungguhnya sederhana. Pertama, pemerintah merevisi Perpres 88/2013 dengan mencabut pengecualian dosen di bawah Kemdikbud agar berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Tuntutan ini membangun kesetaraan dengan dosen di instansi lain yang ternyata juga memperoleh remunerasi.Kedua, merevisi Perpres 65/2007 tentang Tunjangan Dosen yang sudah berumur hampir tujuh tahun yang menempatkan tunjangan fungsional dosen jauh berada di bawah jabatan fungsional yang lain. Petisi ini mengingatkan pemerintah tidak lupa realita bahwa sebagian besar dosen di Indonesia belum tersertifikasi karena terbatasnya kuota. Data menunjukkan bahwa masih ada lebih dari 50% dosen yang belum tersertifikasi. Realitas ini memilukan karena para dosen yang belum tersertifikasi tersebut akan mendapatkan penghasilan yang jauh di bawah staf nondosen. Juga jauh di bawah korps guru SD-SMA yang jauh-jauh hari sudah tersertifikasi. Ini berarti bahwa di tengah himpitan tugas yang memberat, sebagian dosen masih harus bersiap berjibaku, mencari nafkah sampingan, mengerjakan proyek, menjadi guru, memberikan les, berdagang, atau bekerja serabutan yang terkadang tidak nyambung dengan profesi mereka. Kondisinya tidak sederhana karena secara pribadi penulis telah pernah mengalami kondisi yang sungguh sangat berat dan melelahkan seperti ini. Rendahnya penghargaan pemerintah terhadap korps dosen sesungguhnya juga membawa implikasi yang kurang sehat bagi perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia. Ketidakadilan dan diskriminasi berpotensi besar untuk menurunkan motivasi kerja para dosen. Di sisi lain, kondisi tidak ideal ini juga mengabarkan bahwa fenomena ”brain drain” kelak mungkin bukan lagi sebuah ancaman, melainkan akan menjadi realita. Putra-putri terbaik bangsa yang cerdas, mumpuni dalam kapasitas dan kapabilitas keilmuan, semakin sedikit yang memilih mengabdikan diri menjadi dosen. Para cendekia tersebut mungkin memilih untuk berdiaspora mencari rezeki dan penghidupan yang lebih layak di negeri orang atau memilih berkarier pada profesi lain yang menawarkan penghasilan yang lebih menyejahterakan dengan tuntutan dan beban kerja yang lebih sederhana ketimbang dosen. Lalu, siapa lagi yang akan berkenan mendidik dan memandu para mahasiswa, intelektual muda calon pemimpin bangsa? Sebagian dosen, meski merasa terdiskriminasi, mereka masih bisa berkata, ”Akurapopo”. Semoga bukan sebuah ungkapan penyangkalan (denial) untuk memotivasi diri agar tetap kuat di tengah kegetiran yang mereka alami. Tapi, jelas di sana, ribuan dosen yang merasa terzalimi, di ujung harapnya masih setia berharap kearifan para pembuat kebijakan. Setidaknya mereka masih bisa berdoa, ”Gusti ora sare”. ● |
Post a Comment