Patriotisme dan PancasilaSusanto Pudjomartono ; Wartawan Senior |
KOMPAS, 25 Maret 2014
Tatkala ditanya apa ideologi nasional baru Rusia untuk menggantikan komunisme/sosialisme dengan bubarnya Uni Soviet, Presiden Vladimir Putin menjawab: ”Patriotisme.” Meski ideologi tersebut tidak dicantumkan dalam Konstitusi Rusia, hampir pasti patriotisme akan menjadi ideologi nasional Rusia. Pilihan Putin tampaknya tepat. Rakyat Rusia umumnya bangga dengan patriotisme mereka. Istilah Perang Dunia II, misalnya, tidak pernah dipakai. Yang ada adalah ”The Great Patriotic War”. Rusia memang sangat berperan dalam PD II. Tanpa Rusia, Jerman Nazi akan sulit ditundukkan. Sekitar 20 juta rakyat Rusia tewas saat itu karena pertempuran, penyakit, atau kelaparan. Dalam pertempuran di Leningrad (sekarang St Petersburg) yang dikepung tentara Nazi Jerman selama 18 bulan, lebih dari satu jiwa penduduk meninggal. Sampai-sampai terjadi kanibalisme: mayat-mayat yang tergeletak di jalan-jalan, saat evakuasi ditemukan sudah disayat sebagian tubuhnya oleh orang-orang yang kelaparan. Namun, di antara mayat-mayat yang dilempar ke dalam truk pengumpul, ketahuan masih bergerak. Ternyata dia masih hidup. Maka, ia urung dikubur lalu dibawa ke rumah sakit. Dia adalah Maria Ivanova Putina, yang kemudian menjadi ibu kandung Vladimir Putin. Pohon sukun Bagaimana dengan Indonesia? Meski tidak pernah tercantum dalam ideologi negara, patriotis me−rasa cinta pada Tanah Air− juga pernah sangat kuat. Adalah patriotisme yang menggerakkan dan menyemangati para pejuang kita untuk merdeka. Tatkala 1934-1938 Bung Karno dibuang ke Endeh, Flores, di bawah pohon sukun ia merenungkan masa depan bangsanya. Pastilah semangat, patriotisme, dan nasionalisme sangat hidup dalam benaknya. Pastilah ia tahu tentang Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Pasti ia juga tahu bahwa sekumpulan mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Nederland telah mengumandangkan seruan ”Indonesia Merdeka” pada 1923. Sekalipun patriotisme tidak tercantum dalam lima sila pada Pancasila yang digali dan dirumuskan di Pantai Endeh tersebut, pastilah patriotisme, rasa cinta pada Tanah Air dan bangsa yang membara dalam hati Bung Karno ikut menginspirasi gagasan Pancasila. Patriotisme Bung Karno mendorong tergalinya Pancasila. Sekarang di mana itu patriotisme kita? Di tengah menggilanya korupsi di segala bidang yang saat ini menyergap bangsa kita, sulit untuk mengatakan bahwa patriotisme kita masih hidup dan kuat. Di tengah arus neoliberalisme dan konsumerisme, boleh dikata semangat patriotisme kita telah mengendur dan mungkin akan lenyap. Memang, kesimpulan itu kedengaran sangat pesimistis. Namun, patriotisme kita belum sama sekali padam. Sesekali lambaian bendera merah putih dan teriakan ”Indonesia”. Empat pilar Belakangan ini ada upaya dari pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggalakkan apa yang disebut ”Empat Pilar Kebangsaan: Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Bendera Merah Putih, dan lagu Indonesia Raya”. Sosialisasi Empat Pilar ini sekarang dilakukan di mana-mana untuk menumbuhkan kembali semangat patriotisme. Semasa rezim Orde Baru, kita kenyang dengan indoktrinasi penataran P-4. Hasilnya adalah sehelai sertifikat yang wajib dimiliki oleh semua orang untuk melangkah lebih jauh. Namun, apa hasil nyata penataran P-4? Tampaknya tidak ada kajian mengenai hal ini. Lantas bagaimana dengan Empat Pilar Kebangsaan? Yang sering dilupakan dalam pemahaman suatu doktrin seperti patriotisme adalah perlunya tumbuh suatu kebanggaan nasional agar doktrin tersebut bisa lebih diterima dan meresap. Apa saja yang bisa kita banggakan agar semangat dan rasa cinta Tanah Air bisa berkobar? Apa yang dapat kita banggakan apabila separuh dari rakyat Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan? Peringkat korupsi dalam skala internasional di atas 100? Masih mengimpor beras, kedelai, dan bahkan garam? Penataran P-4 Jelaslah bahwa sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan bisa-bisa akan bernasib seperti Penataran P-4 apabila masih dikerjakan dengan cara yang sama. Dengan rumitnya kemelut bangsa, menumbuhkan kebanggaan nasional bukanlah hal gampang. Kita adalah bangsa yang sangat suka akan semboyan. Dengan kata lain, kita sudah terbiasa dengan retorika. Para pemimpin dan elite kita juga sangat menggemari retorika dan pidato. Baca atau dengarkan saja media massa dan media sosial kita. Semuanya berisi bla-bla-bla-bla tanpa ada usaha untuk menguranginya. Karena itu, seorang seperti Jokowi dianggap angin segar karena yang dikerjakan adalah eksekusi, bekerja, tanpa banyak bekoar-koar. Dia adalah seorang do-er. Dia tidak bertampang dan bergaya elitis, misalnya memakai setelan safari. He is one of us. Memang dia sering dikritik karena dia tak peduli dan terkadang harus menabrak sana menabrak sini. Namun lihat saja, sekarang orang mulai bangga melihat waduk Pluit. Nantinya kalau lalu lintas di Jakarta tidak lagi terlalu semrawut, dan ancaman banjir berkurang, masyarakat akan mempunyai kebanggaan baru. Inilah sebetulnya semangat kebangsaan. Inilah sebetulnya semangat Indonesia baru. Semua ini bisa ditumbuhkan tanpa indoktrinasi. Jokowi telah membuat mimpi baru dan menyadarkan kita bahwa mimpi itu bisa menjadi kenyataan. Jokowi telah menyadarkan kita bahwa Pancasila itu tidak terus di awang-awang. ● |
Post a Comment