Ancaman Bencana PanganDwi Andreas Santosa ; Guru Besar Fakultas Pertanian IPB; Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) dan Associate Scholar Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia |
KOMPAS, 26 Maret 2014
DI tengah capaian ekonomi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5 persen selama 10 tahun terakhir, kinerja sektor pangan dan pertanian di dua periode jabatan pemerintahan saat ini sungguh tidak menggembirakan. Dengan menggunakan data impor tahun 2004 sebagai acuan, rata-rata impor beras selama periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid I (2005-2009) meningkat tajam sebesar 117 persen, daging sapi 234 persen, bawang merah 76,2 persen, gula 61,7 persen, cabai 56 persen, gandum 13,1 persen, dan kedelai 10,9 persen. Hanya jagung yang menunjukkan angka turun, yaitu sebesar minus 39,8 persen bila dibandingkan dengan 2004. Kinerja sektor tersebut tidak membaik pada periode KIB II (2010-2013) bahkan lebih buruk. Dibandingkan tahun 2004 sebagai acuan, rata-rata impor beras pada periode tersebut meningkat 482,6 persen, daging sapi 349,6 persen, cabai 141 persen, gula 114,6 persen, bawang merah 99,8 persen, jagung 89 persen, kedelai 56,8 persen, dan gandum 45,2 persen (diolah dari Bappenas, 2014, USDA, 2014). Berkaitan dengan gandum, Indonesia saat ini menduduki peringkat kedua importir gandum terbesar di dunia. Pertumbuhan impor yang sedemikian tinggi tersebut jauh melampaui pertumbuhan penduduk selama periode 2004-2013 sebesar 12,0 persen. Pertumbuhan impor pangan selama hampir 10 tahun terakhir ini sekaligus juga menyiratkan kinerja sektor pertanian yang buruk. Akibatnya indeks ketahanan pangan Indonesia jauh di bawah negara-negara tetangga. Di antara 105 negara yang dinilai, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di urutan ke-64 dengan skor 46,8 yang jauh di bawah Malaysia yang berada di peringkat ke-33 (dengan skor 63,9), China 38 (62,5), Thailand 45 (57,9), Vietnam 55 (50,4), dan bahkan Filipina yang berada di urutan ke-63 (47,1) (Global Food Security Index, 2012). Ironisnya dalam periode yang sama terjadi peningkatan tajam anggaran sektor pertanian yang disediakan APBN setiap tahunnya. Total anggaran yang disediakan untuk sektor pertanian pada tahun 2004 sebesar Rp 10,1 triliun (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2004). Anggaran tersebut meningkat menjadi Rp 12,6 triliun pada tahun 2005, Rp 49,8 triliun pada tahun 2009, dan Rp 71,9 triliun pada tahun 2013 (Pusat Kebijakan APBN-Badan Kebijakan Fiskal, 2014) atau terjadi peningkatan sebesar 611 persen dalam kurun waktu kurang dari 10 tahun. Anggaran tersebut terdistribusi untuk Kementerian Pertanian, irigasi, subsidi, transfer ke daerah, dan belanja lain-lain berupa cadangan beras pemerintah, cadangan stabilisasi pangan, cadangan benih nasional, dan cadangan ketahanan pangan. Bencana pangan Bila kecenderungan impor dan stagnasi produksi pertanian ini berlanjut, Indonesia akan memasuki situasi yang mengkhawatirkan. Defisit pangan kemudian hanya bisa dipenuhi melalui impor yang semakin tahun semakin membengkak. Hal tersebut tampak jelas dengan dikeluarkannya berbagai keputusan Kementerian Perdagangan beberapa tahun terakhir ini yang justru menjadi pemicu meningkatnya impor pangan. Bagi para importir dan pelaku kolutifnya, impor pangan menjanjikan keuntungan yang luar biasa besar karena disparitas harga internasional dengan harga (buatan) di dalam negeri. Impor menjadi solusi instan bagi pemerintah ketika menghadapi inflasi yang penyebab terbesarnya biasanya adalah harga pangan. Impor juga sering kali menjadi langkah pertama dan utama untuk stabilisasi harga di tingkat konsumen. Sebaliknya, impor pangan selalu berdampak buruk bagi petani kecil yang menyebabkan semakin banyak petani meninggalkan lahannya karena usaha tani tidak lagi menguntungkan bagi mereka karena harus bersaing dengan produk impor yang murah artifisial (artificially low agricultural prices). Proses yang seperti lingkaran setan tersebut menyebabkan Indonesia masuk ke dalam jurang jebakan impor pangan yang semakin lama semakin dalam dan akhirnya tidak memiliki kemampuan untuk bangkit kembali. Setiap upaya untuk menerobos kebuntuan tersebut sering kali harus berhadapan dengan tembok-tembok kepentingan para pemburu rente yang justru mendapat justifikasi dari para pabrikan data dan penguasa. Ketika kemampuan untuk bangkit tidak ada lagi dan tiba-tiba terjadi gejolak harga pangan di level internasional, masuklah Indonesia ke dalam krisis pangan yang parah yang berakhir pada bencana pangan. Fluktuasi harga pangan dunia dalam 5-10 tahun terakhir ini cukup mengkhawatirkan. Sejak tahun 1960 harga pangan cenderung terus menurun akibat peningkatan produksi pangan dunia dan mencapai tingkat terendah untuk kedelai pada tahun 2000, jagung pada tahun 2005, dan gandum pada tahun 2006 (Kalaitzandonakes, 2013). Tetapi, sejak saat itu harga ketiga komoditas tersebut dan komoditas pangan lainnya meningkat tajam dalam tempo yang sangat pendek. Sejak tahun 2005 sudah terjadi tiga kali gejolak harga pangan di dunia yang berujung dengan krisis pangan di puluhan negara di dunia. Harga pangan untuk berbagai komoditas penting, yaitu gandum, jagung, kedelai, dan beras, sudah meningkat sebesar 200 hingga 300 persen. Saat ini harga hampir semua komoditas pangan sama atau lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada tahun 1960 (harga riil berdasarkan nilai tukar dollar AS tahun 2005). Harga pangan internasional di masa depan dipastikan tidak akan lagi murah. Dengan demikian, upaya untuk peningkatan produksi pangan di Indonesia menjadi suatu keniscayaan bila Indonesia ingin selamat dari bencana pangan. Meretas persoalan Agak berbeda dengan dekade-dekade sebelumnya, di masa depan dunia akan dihadapkan pada dua masalah utama, yaitu pangan dan kedua energi. Pada tahun 2025 dunia akan mengalami defisit pangan sebesar 68,8 juta ton dan defisit pangan terbesar akan dialami oleh wilayah Asia Timur dan Tenggara, yaitu sebesar 126,9 juta ton. Dengan demikian, kita tidak bisa lagi menggantungkan diri pada belahan dunia lainnya untuk mencukupi kebutuhan pangan kita. Kebijakan pertanian dan pangan yang selama ini dijalankan benar-benar telah mengarahkan kita bersama ke bencana pangan. Untuk meretas persoalan-persoalan tersebut, perubahan radikal di dalam kebijakan pertanian dan pangan harus dilakukan. Pola business as usual sebagaimana yang dikerjakan dalam sepuluh tahun terakhir ini harus dikuburkan dan digantikan dengan kebijakan pertanian dan pangan yang sama sekali baru. Pola piramida struktur pertanian dan pangan yang ada saat ini adalah mendudukkan agrobisnis, produsen benih dan input pertanian, pertanian korporasi, pertanian kapitalistik, dan spekulan pangan di puncak piramida dengan jumlah kurang dari 500.000 orang. Mereka sekaligus juga mendapatkan akses dan fasilitas mewah dari pemerintah. Adapun dasar piramida tersusun dari 26,13 juta keluarga petani kecil atau 91 juta jiwa. Puncak piramida tersebut menekan ke bawah dan menyebabkan 5,1 juta keluarga petani kecil tercerabut dari lahan mereka dalam 10 tahun terakhir ini dan menjadi penyusun masyarakat miskin kota. Berkaitan dengan hal itu, pemerintah mendatang perlu melakukan perubahan radikal dengan membalikkan piramida tersebut sehingga petani kecil dan pertanian keluarga menduduki posisi teratas (Tejo Pramono, 2012). Hak dan kedaulatan petani dijamin, porsi kue pembangunan untuk mereka ditingkatkan, serta akses terhadap sumber daya produktif terutama tanah diberikan. Para petani kecil saat ini sudah menyumbangkan 1,9 juta varietas tanaman untuk umat manusia. Angka tersebut jauh lebih besar dari apa yang dibuat perguruan tinggi, lembaga riset, dan perusahaan benih yang hanya sekitar 80.000 varietas tanaman. Mereka juga mengembangkan berbagai teknologi pertanian dan kearifan lokal. Petani kecil juga yang saat ini memberi makan kita dan 70 persen penduduk dunia. Dengan demikian, perubahan orientasi kebijakan yang meningkatkan hak, kedaulatan, dan kesejahteraan petani kecil akan berujung pada terangkatnya kita bersama dari jurang bencana pangan. ● |
Post a Comment