Pelukis Tamu AgungAgus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni |
TEMPO.CO, 01 Maret 2014
Beberapa hari lalu saya mendapatkan berita yang memprihatinkan. I.B. Said, 80 tahun, sang Pelukis Tamu Agung (Tamu Negara), yang selama 46 tahun bekerja untuk Istana Kepresidenan, sedang sakit keras, bahkan terkena stroke. Pelukis itu dirawat di rumah anaknya, setelah beberapa minggu tergolek di rumah sakit sederhana di kawasan Jakarta Selatan. Kondisi ekonominya yang relatif lemah menyebabkan ia tersengal-sengal untuk merawat dirinya sendiri. Biaya perawatan dirasakan sungguh mahal bagi seorang Said, yang selama hidupnya bermukim di rumah kontrakan di bilangan Haji Ung, Kemayoran, Jakarta Pusat. Dari situ lalu muncullah rentengan keheranan lewat sms. Misalnya: "Ganjil rasanya seorang Pelukis Tamu Agung Istana Presiden harus merana di hari-tuanya. Padahal ia telah membantu negara dalam tempo begitu lama". "Di luar negeri, seorang Pelukis Tamu Agung adalah ikon Istana Kepresidenan yang harus dijamin penuh kehidupannya". Namun sms-sms itu cuma berujung sebagai guman kekecewaan. Lantaran, dalam kenyataannya, selama empat setengah dekade bekerja keras untuk Istana Presiden, Said hanya diganjar honorarium ala kadarnya, yang sangat kecil dibanding kerja keras dan kemampuannya. Upah yang berpatuh pada administrasi negara itu terhitung menyedihkan apabila dikomparasi dengan perintah kerja yang nyaris selalu mendadak dan serba tergesa-gesa. Menengok masa silam, alkisah, setelah belajar seni di Malang, Yogyakarta, dan Bandung, Said lantas ke Jakarta pada 1960. Di sini ia bergabung dengan Panitia Negara pimpinan Henk Ngantung yang tugasnya memperindah kota. Dua tahun kemudian kariernya sebagai Pelukis Tamu Agung dimulai. "Saya mengawali dengan melukis kancing-kancing baju Presiden Sukarno dan busana tamu agung yang akan hadir di Jakarta," ujarnya. Lalu jalan hidup kepelukisannya semakin jelas. Potensinya dalam melukis potret mengangkat dirinya dipilih Sekretariat Negara sebagai "pelukis tetap" tamu agung. Lukisan itu mirip baliho berukuran 5 x 4 meter, yang difungsikan sebagai potret penyambutan di beberapa jalan protokol. Semua itu disertai lukisan berukuran 90 x 70 sentimeter, yang dipajang di Istana Negara tatkala sang tamu agung dijamu. Tentu prestasi yang tiada dua di dunia ketika diketahui bahwa Said telah melukis lebih dari 220 tamu agung. Pekerjaan ini dilakoni dengan setia dari 1962 sampai 2008. Dan, sesuai dengan aturan, lukisan-lukisan tamu agung itu selalu didampingi lukisan potret presiden Indonesia dan ibu negara, yang juga ciptaannya. Lalu era Orde Baru pun memunculkan realitas yang luar biasa: Said harus melukis potret Presiden Soeharto dan Ibu Tien sebanyak hampir 500 kali! Hitungannya, dalam setahun ia melukis sepasang penguasa ini sekitar 16 kali. Jumlah ini dikali dengan masa Pak Harto menjabat presiden, 32 tahun. Alhasil, ketika Pak Harto lengser, prestasi Said ini diceritakan oleh berbagai media massa Indonesia dan internasional, seperti CNBC, Reuters, dan AFP. Bahkan ada yang mengusulkan agar Said diganjar "Soeharto Award". Namun, ha-ha-ha!, jangankan "Soeharto Award". Ganjaran paling mendasar seperti "Kecukupan Award" saja belum sempat ia terima. Tampaknya dedikasi Said sebagai Pelukis Tamu Agung Istana Presiden (sejak dulu) tidak dianggap istimewa oleh pemerintah. Atau jangan-jangan, nasib Said adalah potret nasib semua seniman pengabdi negara Indonesia. ● |
Post a Comment