Perjuangan Politik Perempuan

Perjuangan Politik Perempuan

Benni Setiawan ;   Dosen Universitas Negeri Yogyakarta,
Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
MEDIA INDONESIA,  28 Maret 2014
                                      
                                                                                         
                                                      
PARTISIPASI sejajar antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik terus mengemuka. Hal tersebut sejalan dengan salah satu prinsip mendasar yang dia manatkan di dalam Kon vensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau CEDAW). CEDAW diadopsi oleh Sidang Umum PBB pada 1979 dan disahkan mulai 1981.

CEDAW telah mengilhami perempuan seluruh dunia untuk bangkit. Mereka mempunyai peluang yang sama dengan laki-laki dalam kehidupan publik. Bahkan, dengan semangat itu, kini, di belahan bumi sedang menyongsong kebangkitan perempuan dalam bidang politik, termasuk di Indonesia.

Jauh sebelum CEDAW lahir, Alquran pun telah mengamanatkan partisi pasi sejajar itu. Alquran mengangkat derajat perempuan kepada maqam yang sa ngat tinggi. Seraya mengamini amanat Alquran tersebut, kini semakin banyak perempuan tertarik berkiprah di bidang politik. Pada periode 1997-1999 perempuan yang menjadi anggota DPR RI berjumlah 54 orang dari 500 anggota (10,8%). Pada 1999-2004 jumlahnya 45 orang dari 500 anggota (9%).

Dengan semangat mendorong kuota 30% di parlemen, terjadi peningkatan jumlah anggota DPR pada periode 2004-2009, yaitu menjadi 61 orang (11,6%), dan pada periode 2009-2014 meningkat lagi menjadi 93 orang. Jumlah itu masih jauh dari ideal, yakni 30% perempuan di DPR atau sebanyak 168 anggota.

Namun, di tengah kurang idealnya jumlah perempuan di parlemen, sinyal kurang baik muncul dari daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan DCT anggota DPD di 33 provinsi sebanyak 945 orang, terdiri dari 826 orang laki-laki dan 119 orang perempuan. Artinya, hanya 13% perempuan dari jumlah total DCT DPD yang ada.

Feminisasi politik

Perjuangan politik perempuan untuk menduduki kursi legislatif sepertinya ingin membuktikan tesis bahwa meningkatnya jumlah wakil perempuan di dunia politik akan mengubah wajah politik. Benarkah demikian? Apakah feminisasi politik bisa sungguh-sungguh terjadi? Apakah benar kaum perempuan bisa membuat perbedaan dalam kehidupan politik, dan jika demikian, dalam kondisi seperti apa?

Joni Lavenduski (2008) menyebut feminisasi politik merupakan suatu unsur penting dari peran-peran yang dimainkan oleh kaum perempuan dan kaum laki-laki dalam politik. Tidak hanya pada satu sama lain, tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga perwakilan politik. Lembaga-lembaga perwakilan menentukan proses-proses feminisasi politik.

Lebih dari itu, feminisasi politik diartikan sebagai cara kaum perempuan memikirkan perwakilan politik sekurang-kurangnya sama pentingnya dengan bagaimana prosesprosesnya benar-benar berjalan.

Teori feminislah yang mencerahkan sifat gender dari perwakilan politik. Dengan demikian, caleg perempuan diharapkan memahami dengan baik lembaga-lembaga politik. Pasalnya, di situlah seseorang akan bergelut dengan persoalan yang perlu dijawab dengan cermat dan bijak.

Pemahaman yang benar mengenai lembaga-lembaga politik akan mengantarkan legislator perempuan menuju peran politik yang berbeda. Kehadiran perempuan memberikan dasar teori perbedaan gender dan perwakilan politik, sementara pengertian massa yang kritis telah digunakan sebagai indikator deskriptif dari pembagian perempuan yang dituntut untuk menghasilkan perbedaan yang berarti bagi politik. Artinya, keha diran perempuan dalam politik setidaknya mampu memberikan perubahan dalam sikap, institusional, tingkah laku, dan kebijakan.

Oleh karena itu, ketika caleg perempuan belum mampu memahami institusi politik Nusantara, ia akan mudah terperosok dalam politik transaksional. Sebagaimana dialami oleh Angelina Sondakh. Keterkaitan Angie dengan kubangan korupsi, menurut saya karena ia tidak memahami secara baik `permainan Senayan'. Ia kemudian menjadi salah satu korban keganasan itu.

Guna mengetahui hal tersebut, caleg perempuan selayaknya sudah membaca buku-buku babon ilmu politik. Membaca buku itu penting sebagai bekal teori menghadapi realitas sesungguhnya di jagat penuh tipu-tipu itu. Jadi, jika caleg perempuan sekadar ingin belajar di Senayan, ia akan menjadi mangsa empuk pemain lama. Ia akan dijadikan bulan-bulanan sekaligus benteng hidup guna menutupi kebusukan pihak berkepentingan.

Oleh karena itu, perjuangan politik perempuan tidak hanya dalam memenuhi kuota 30%. Ada yang lebih esensial dari itu, yakni bagaimana perempuan mampu memberi warna dalam politik.

Ciri khas perempuan sebagai seorang ibu selayaknya mampu hadir di tengah ke gersangan politik. Sosok ibu adalah individu yang menekankan arti keteraturan hidup kepada anaknya. Ia pun sering kali menggunakan otoritasnya untuk mendisiplinkan anakanaknya.

Dalam kerangka politik, sosok inilah yang ditunggu, yakni perempuan yang mampu bersikap tegas terhadap peraturan. Legislator perempuan selayaknya mampu menjadi teladan bagi yang lain. Mereka adalah ibu yang mengajarkan kebijaksanaan, kebajikan, dan keteraturan hidup.

Politik membutuhkan kebijaksanaan. Pasalnya, tanpa kebijaksanaan politik hanya akan menjadi ruang menghakimi orang lain. Politik pun menjadi wahana angker karena di sana hanya dipenuhi oleh hasutan dan hardikan. Kebajikan dalam berpolitik pun demikian. Saat politik tidak mampu mewujud dalam laku itu, korupsi menjadi sebuah keniscayaan.

Adapun keteraturan hidup ialah ketika politik itu berproses. Politik bukan laku instan. Ia investasi kehidupan yang beradab. Dalam falsafah Jawa disebut ojo duwe watak nggege mangsa. Kuasa iku ora bisa digege, kuasa itu tidak bisa di-age-age, dimiliki dengan cepat dan tergesa-gesa (Sindhunata, Kompas, 18 Maret 2014).

Pada akhirnya, perjuangan politik perempuan bukan sekadar memenuhi kuota 30%. Namun, bagaimana perempuan mampu mewarnai jagat politik yang hingga kini cenderung diselimuti awan pekat.
Indeks Prestasi

Post a Comment