Stres PemiluToeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi Media Group |
MEDIA INDONESIA, 28 Maret 2014
MENGINJAK bulan depan, ribuan caleg yang akan bertarung pada 9 April tentu makin waswas. Sementara ini, mungkin sebagian yang mengibarkan bendera demokrasi bersuluk: “Bukan kalah atau menang yang penting, melainkan apa tujuan bersaing dalam pemilu.“ Mereka yakin semua gairah politik itu demi demokrasi. Untuk itu, mereka bersedia berkorban waktu dan harta; bahkan tidak jarang mengorbankan tugas dan kewajiban lain. Candu politik tersebar di mana-mana. Masyarakat sekarang sudah jauh beda dari masyarakat di masa perjuangan dulu, ketika generasi muda Budi Utomo, Indische Vereneging, Sarekat Islam, Indische Partij--yakni Generasi `20--memelopori bangsa ini untuk mengenal ide-ide politik yang mereka pelajari lewat bahasa Belanda yang mereka dapat di sekolahsekolah. Ide-ide itu membuat mereka sadar bahwa yang mereka baca berbeda dari fakta yang ada. Mereka menjadi lebih peka tentang ketimpangan-ketimpangan waktu itu. Angkatan `20 tentu berbeda dari angkatan sekarang yang bersikap lebih pragmatis dan individualistis sesuai dengan perkembangan zaman. Namun, sebagai anak zaman, ada kesamaan antargenerasi dari berbagai zaman: mereka pembawa bendera masa depan. Mereka merasa terpilih dan merasa bertanggung jawab untuk masa depan. Mungkin kenyataan macam ini bisa membuat mereka yang terjun ke politik masa kini--para caleg, misalnya--merasa gagal dan mengalami depresi bila kemudian terbukti segenap usaha mereka sia-sia. Mereka merasa terpukul karena menganggap idealisme dan energi mereka ternyata tidak tersalur ke masyarakat. Satu tesis yang dapat kita tarik: kita diajak sadar bahwa bukan kalangan politikus, atau partai-partai politik saja, yang menjadi pusat berpikir dan penggerak seluruh usaha. Tanggung jawab menyejahterakan rakyat bukan harus dipikul secara tunggal. `Kenyataan-kenyataan baru mengajukan tuntutan-tuntutan lain yang baru', demikian menurut pakar teori manajemen Peter Drucker dalam buku The New Realities (1989). Misalnya, kalau dulu jajaran tokoh yang karismatik saja sudah akan mampu memimpin masyarakat, sekarang lain situasinya. Karisma saja bahkan bisa membawa masyarakat ke arah malapetaka. Sekarang tuntutannya lebih besar dan lebih luas. Mengingat kompleksitas situasi yang ada, diperlukan pemikiran cerdas yang jelas arahnya. Sikap membandel mengukuhi norma-norma lama yang kedaluwarsa bukan hanya menunjukkan wawasan yang pendek, melainkan juga menimbulkan tanda tanya, apakah kebandelan itu bukan dilandasi situasi dan kondisi individu? Waspadai pagar makan tanaman Paparan tersebut menyiratkan di masa depan kita memerlukan jajaran pemimpin yang bukan hanya cerdas, melainkan juga jelas dan tegas dalam mengambil tindakan terbaik bagi rakyat. Harapan itu ditujukan pula kepada para caleg yang nantinya diluluskan pemilu untuk ikut menentukan kebijakan pemerintahan. Apakah ribuan caleg yang ada sekarang sudah siap membekali diri dengan pengetahuan, wawasan, dan bahkan dana yang diperlukan untuk bisa lolos menjadi anggota legislatif? Tantangan mereka luar biasa besar. Ketika tersiar berita bahwa banyak rumah sakit, sekitar 15, telah disiapkan untuk membantu para caleg yang mengalami gangguan kejiwaan karena gagal, publik toh terkaget-kaget. Apalagi diprediksi, yang akan mengalami depresi/frustrasi melebihi jumlah di Pemilu 2009. Rumah-rumah sakit, yang beberapa di antaranya bekerja sama dengan rumah sakit jiwa, tersebar di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Kegagalan caleg banyak alasannya, tetapi umumnya karena kemampuan mereka-dilihat dari sisi mental, spiritual, maupun finansial--tidak memadai untuk tuntutan tugas politik mereka. Di lain pihak, pengawasan publik makin keras, seperti terbukti dengan derasnya kritikan terhadap para pemimpin yang menyimpang dari jalan lurus. Dari sisi finansial saja, diperlukan setengah hingga beberapa miliar untuk dana kampanye. Banyak keluarga/kerabat mengeluh karena calegnya lupa diri, didorong semangat kampanye yang menggebu. Mayoritas caleg bukan terdiri dari orang-orang dengan dana melimpah. Bukan tidak mungkin cadangan simpanan terkuras habis karena dana yang diharapkan tidak kunjung datang. Mereka terpaksa berpikir dan bekerja keras untuk memenuhi target. Yang juga membuat mereka memelas: bisa terjadi manipulasi suara, baik oleh rekan/ partai mereka sendiri maupun oleh pihak penyelenggara. Dapat dibayangkan betapa kecewanya ketika suara elektorat yang mereka bina selama itu kemudian dimanipulasi dan disalurkan ke tokoh-tokoh lain; mungkin dengan sistem jual beli. Di sinilah Bawaslu, Panwaslu, maupun kelompok penyelenggara pemungutan suara di tempat pemilihan bisa berperan untuk membantu. Jangan sampai pagar makan tanaman. Jelas bahwa sistem pemilu pun memerlukan perubahan. Antara lain ada saran agar pemilu dengan sistem terbuka seperti sekarang, yang memungkinkan para elektorat memilih caleg yang memancangkan gambar masing-masing di mana-mana, diganti dengan sistem terbuka proporsional. Caleg yang populer dan banyak dikenal masyarakat, dan dianggap merakyat, tak pelak akan memperoleh jumlah suara besar; melebihi persyaratan jumlah untuk mendapat kursi. Apa jadinya dengan kelebihan suara yang didapatnya? Untuk sistem terbuka proporsional, partai politik bisa ikut menyalurkan kelebihan suara ke caleg-caleg mereka yang kurang suara, yang menurut partai sepantasnya mendapat kursi sesuai dengan kinerja mereka. Bukankah partai lebih tahu kinerja mereka? Pesaing-pesaing dalam pemilu pada dasarnya ialah partai-partai politik. Bila sistem terbuka proporsional dijalankan dengan benar, politik uang bisa dikurangi, kalau bukan dihindari. Lagi pula, bukan hanya uang yang menentukan; partai politik pun seharusnya berperan dan bertanggung jawab. Menurut yang tidak setuju gagasan tersebut, sistem itu akan memperbesar dominasi partai politik. Kontroversi itu menunjukkan rasanya tidak ada sistem yang sempurna. Itulah indahnya demokrasi: berbagai pendapat mengalir bebas, rakyat yang menentukan. ● |
Post a Comment