Sikap Risma, Kebisuan MegaBawono Kumoro ; Peneliti Politik The Habibie Center |
TEMPO.CO, 01 Maret 2014
Satu lagi kepala daerah mencuri perhatian publik. Setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, kini nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mencuat menjadi bahasan utama berbagai pemberitaan di media massa. Beberapa hari belakangan, Risma-sapaan akrab Rismaharini--memang tengah mendapatkan sorotan publik terkait dengan isu rencana pengunduran dirinya dari jabatan Wali Kota Surabaya. Rencana itu menjadi isu nasional lantaran berembus kabar adanya tekanan-tekanan politik terhadap Risma. Harus diakui, sejak terpilih sebagai Wali Kota Surabaya atas sokongan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dalam pemilukada 2010, Risma segera mencuri perhatian publik. Berbagai kebijakan dan langkah berani diambil Risma demi membenahi wajah Kota Pahlawan. Sejumlah kebijakan dan langkah berani itu antara lain menutup lokalisasi prostitusi Dolly dan menolak pembangunan ruas jalan tol dalam kota atas alasan pembangunan sarana transportasi massal. Bahkan, dalam sejumlah kesempatan, tanpa rasa canggung, Risma turun langsung ke lapangan melayani masyarakat, seperti membagikan masker kepada masyarakat ketika terjadi erupsi Gunung Kelud. Tidak kalah penting catatan positif lain dari Risma adalah bersih dari tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme. Risma pernah dengan tegas menolak titipan sejumlah nama camat dan lurah untuk dipromosikan di jajaran birokrasi Pemerintah Kota Surabaya, meski titipan nama-nama itu berasal dari PDIP. Berbagai catatan positif kinerja Risma di atas tentu menjadi nilai plus tersendiri bagi PDIP. Belum lagi catatan positif yang dimiliki Gubernur DKI Jakarta sekaligus bekas Wali Kota Solo Joko Widodo. Alhasil, PDIP pun berpeluang menuai dukungan elektoral terbesar dalam pemilu legislatif 2014. Apresiasi positif publik dengan segala puja-puji terhadap kedua kepala daerah asal PDIP tersebut tentu merupakan berkah tersendiri menjelang pelaksanaan pemilu legislatif April mendatang. Untuk itu, sudah semestinya PDIP "menjaga" mereka dengan cara selalu memberikan dukungan politik terhadap segala langkah dan kebijakan yang diambil oleh kedua kepala daerah tersebut. Dengan selalu memberikan dukungan terhadap Joko Widodo dan Risma, PDIP akan tercitrakan sebagai partai politik yang memperjuangkan kepentingan publik luas dan memiliki semangat antikorupsi. Namun kesempatan untuk memperoleh citra positif itu perlahan mulai menjauh seiring dengan keputusan PDIP mengajukan Ketua DPC PDIP Kota Surabaya Wisnu Sakti Buana sebagai wakil wali kota menggantikan Bambang Dwi Hartono yang mengundurkan diri karena mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Timur. Segera setelah Wisnu ditunjuk sebagai wakil wali kota, Risma langsung bereaksi menunjukkan rasa ketidaksukaan dengan tidak menghadiri pelantikan sang wakil. Sudah menjadi rahasia umum bila secara politik Risma dan Wisnu cenderung berseberangan dan bertolak belakang. Saat masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Surabaya, Wisnu merupakan salah satu inisiator hak interpelasi terhadap Risma. Hak interpelasi diajukan sebagai respons terhadap kebijakan Risma menaikkan pajak papan reklame. Selain itu, Wisnu dikenal sebagai pendukung pembangunan ruas jalan tol dalam kota yang ditolak Risma. Dari sini kemudian berembus kabar bahwa Risma memiliki rencana untuk mengundurkan diri. Di tengah dukungan publik Kota Pahlawan dan sejumlah pihak, termasuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), agar Wali Kota Terbaik Dunia Februari 2014 versi The City Mayors Foundation tersebut tidak mengundurkan diri, PDIP justru terlihat pasif. Bahkan, sang Ketua Umum Megawati Soekarnoputri pun terlihat membisu. Wajar jika kemudian muncul sejumlah pertanyaan di benak publik. Mengapa PDIP bersikap pasif terhadap kegelisahan Risma? Apa maksud politik PDIP mengajukan Wisnu mendampingi Risma sebagai wakil wali kota, padahal mereka mengetahui kedua tokoh itu sangat berseberangan dalam sikap politik? Sikap pasif PDIP dan kebisuan Megawati hanya akan mengundang kecurigaan publik bahwa PDIP tidak tulus mendukung Risma sebagai wali kota dalam pemilukada empat tahun lalu. Lebih dari itu, rasa curiga publik terhadap sikap pasif PDIP juga dapat berujung pada penilaian bahwa Risma sesungguhnya memang tengah dinantikan untuk segera mengundurkan diri oleh partai berlambang moncong putih tersebut. Jika langkah pengunduran diri diambil oleh Risma, maka Wisnu, yang dinilai lebih mudah dikendalikan, dapat didorong untuk menduduki kursi wali kota. Apabila kelak hal itu memang benar terjadi, akan menjadi sebuah blunder politik serius bagi PDIP menjelang pelaksanaan pemilu legislatif April mendatang. Keberpihakan PDIP terhadap Wisnu dalam konflik politik dengan Risma akan berpotensi membawa dampak buruk terhadap pencapaian elektoral PDIP di Kota Pahlawan atau bahkan juga di tingkat nasional. Hal itu tidak mustahil terjadi mengingat selama ini Risma--bersama Joko Widodo--telah mengukuhkan (kembali) positioning politik PDIP sebagai partai wong cilik. ● |
Post a Comment