Singa, Garuda, dan Kanguru

Singa, Garuda, dan Kanguru

Dinna Wisnu  ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO,  19 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Dalam sebulan terakhir ini berita diplomasi kita kian menarik dan menjadi banyak perhatian masyarakat internasional, khususnya terkait dengan hubungan dengan negara tetangga, Singapura dan Australia. Di Singapura, masalah pemberian nama KRI Usman Harun menjadi berita utama dalam beberapa hari dan menjadi perbincangan di dalam negeri. 

Bahkan berita PM Singapura yang meng-unfriend-kan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi trendingdi Twitter baik di Indonesia maupun Singapura. Pekan lalu Pemerintah Australia juga menjadi panas hati dan kepala ketika Pemerintah Indonesia mengizinkan iringiringan kapal perang dan kapal selam China melewati selat yang berdekatan dengan Pulau Christmas, salah satu pulau terluar dari Australia. Australia mencurigai ada hal tersembunyi yang sedang dilakukan antara China dan Indonesia terkait perjalanan tersebut. 

Karena, menurut Australia, jalur yang diambil tidak wajar dan lebih jauh dalam ukuran jarak ketimbang jalur lain. Masalah-masalah tersebut tampak semakin terakumulasi. Belum reda emosi, rasa gelisah dan kesal yang berkembang antara Indonesia dan Australia setelah terungkap kejadian penyadapan dan intersepsi data pembicaraan sejumlah pejabat negara di Indonesia, termasuk Presiden SBY dan Ibu Negara, telah muncul masalah lain. Dalam kasus hubungan dengan Singapura, selain masalah penamaan kapal perang, ada masalah lain seperti asap akibat kebakaran menutupi total wilayah Singapura, 

masalah pelarangan ekspor pasir dari Indonesia yang ternyata telah membuat perbatasan Singapura maju 12 km dari original base line di tahun 1973 dan beberapa masalah lain. Dari sudut pandang Indonesia, kedua negara tetangga kita tampak jelas menunjukkan sikap yang kurang bersahabat. Meski demikian, dibandingkan dengan hubungan Indonesia- Australia, hubungan dengan Singapura belum sampai pada tahap penarikan duta besar. Walaupun hubungan terasa panas, komunikasi antara dua negara berjalan baik. 

Hal ini mungkin karena tidak ada alternatif lain bagi Singapura kecuali melakukan komunikasi intensif karena posisi Indonesia yang secara geografis lebih dekat dan lebih memiliki risiko terhadap keamanan negara tersebut daripada posisi Indonesia dengan Australia. Dengan Australia, jarak kita lebih jauh dan itu membuat mereka memiliki jarak dengan Indonesia. Walaupun dalam sejarahnya, Australia tidak akan dapat membuat langkah politik apa pun bila tidak ada izin dari Amerika karena pihak yang lebih berkepentingan untuk ber-hubungan baik dengan Indonesia adalah Amerika dalam rangka keseimbangan kekuatan regional. 

Dalam pergaulan saya dengan para diplomat dan akademisi dari kedua negara, saya melihat ada beberapa hal menarik dari cara pandang mereka terhadap Indonesia dan sebaliknya bagaimana cara kita melihat hubungan negara tersebut. Kebetulan pula selama sebulan ini saya berkesempatan menjadi peneliti tamu di Australian National University di Canberra, ibu kota Australia. Hal yang menarik, menurut saya, adalah bagaimana konstruksi tentang Indonesia dibangun oleh dua negara. 

Di Australia hampir tidak ada satu hari berlalu tanpa berita tentang apa yang terjadi di Indonesia. Istilahnya jarum jatuh di Indonesia pasti terdengar suaranya sampai Australia, mulai dari hal sepele seperti turis yang meninggal karena alergi makan ikan di Bali sampai soal pencari suaka dan berita tentang persiapan pemilu di Indonesia. Seperti yang saya sampaikan dalam kolom ini pekan lalu, citra Indonesia sebagai negara yang korup, penduduknya yang miskin dan para pemimpinnya yang haus kekuasaan adalah citra yang ditanamkan lewat media massa setiap harinya. 

Di kalangan warga Singapura, atau minimal para diplomat negara tersebut yang berinteraksi dengan saya, mereka mengakui Indonesia adalah sebuah negara besar dan kuat walaupun tidak secara langsung diucapkan. Ada rasa kekhawatiran setiap hari tentang apa yang akan dilakukan oleh Indonesia terhadap Singapura. Mereka mungkin sudah menghitung selemah-lemahnya militer Indonesia karena peralatan perang yang ketinggalan zaman, Singapura akan sulit untuk bertahan sendiri apabila terjadi konflik bersenjata. Konstruksi itu perlu juga kita lihat dari situasi internal ekonomi dan politik di masingmasing negara yang tengah mendapat sorotan. 

Ekonomi Singapura yang sangat erat dengan pasar internasional belum pulih dengan total karena pertumbuhan ekonomi di Amerika dan Eropa juga belum menjanjikan. Jumlah penduduk imigran di Singapura semakin banyak dan beberapa waktu lalu ada sebuah kerusuhan rasial di Orchard yang sangat jarang terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Australia sebenarnya sedang dalam posisi lemah karena nilai kompetitif mereka dianggap rendah oleh sejumlah perusahaan besar. Misalnya Toyota yang baru saja mengumumkan akan menutup pabriknya pada 2017 sehingga 50.000 orang akan kehilangan pekerjaan. 

Coca-Cola dan anak perusahaannya, SPC Admona, yang keuntungannya terus menurun sehingga minta dana talangan dari pemerintah, bahkan Qantas Airlines mulai kembang kempis. Saya hanya ingin mengatakan sikap-sikap yang tampaknya tidak bersahabat dari kedua negara tersebut dapat terkait dengan upaya politik dalam negeri mereka untuk mendapatkan simpati, terutama ketika berada di dalam tekanan ekonomi dan politik. Mereka tetap membutuhkan dukungan politik dari warganya untuk dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mungkin akan memiliki konsekuensi keras di dalam negerinya sendiri. 

Dengan kita mencoba memahami hal tersebut, kita mungkin bisa mengatur seberapa besar volume tekanan kita dalam diplomasi dan politik. Terkadang ada masalah yang perlu menuntut sikap tegas dan keras seperti kasus pencari suaka, tetapi kadang-kadang kita perlu bersikap santai untuk masalah lain. Intinya, apa pun yang dilakukan oleh para pemimpin politik dari kedua negara tersebut, jangan sampai mengurangi keyakinan akan fakta bahwa secara geopolitik, hubungan baik kedua negara, mau tidak mau harus diupayakan. 

Apabila tidak, tidak akan ada yang diuntungkan dari pecahnya hubungan yang telah dibangun dengan hati-hati di masa lalu. Artinya daripada politisi berkoar-koar dan melontarkan ucapan mengancam yang sekadar mempertajam ketegangan, lebih baik membangun politik yang makin santun, tidak korup, terpuji, dan beretika. Hanya dengan itu Indonesia terbantu menjadi negara yang terhormat dan disegani.
Indeks Prestasi

Post a Comment