Tambang   Pulau Bangka Jelang PemiluUsman   Hamid  ;   Pendiri change.org Indonesia dan Public   Virtue Institute; Saat Ini Menempuh Studi Pascasarjana di Australian National   University  |  
KOMPAS,  26 Februari 2014
HARI-hari   ini warga desa-desa di Pulau Bangka, Minahasa Utara, Sulawesi Utara, sangat   tegang. Mulai Senin, 17 Februari 2014, warga diminta tak mendekati pantai.   Murid-murid sekolah pun dilarang. Menurut petugas desa dan aparat keamanan   setempat, akan ada kapal besar menurunkan alat berat penambang bumi ke pulau   mereka. Apa masalahnya? Bupati Minahasa Utara Sompie Singal menerbitkan izin   tambang untuk PT Mikgro Metal Perdana (MMP) atas Pulau Bangka dengan nilai   investasi ratusan triliun rupiah. Izin ini dinilai menabrak UU No 27/2007   yang melarang tambang di pulau kecil di bawah 200.000 hektar. Tetapi, tahun   lalu, aturan ini diubah oleh pemerintah dengan persetujuan DPR. Meski begitu,   banyak warga tetap menolak rencana tersebut. Pada   Agustus 2012 dan September 2013, kapal TNI AL menurunkan alat-alat bor   tambang (heavy drilling equipment) milik perusahaan asing asal China ini.   Ratusan warga Desa Kinabahutan, Talisei, dan Likupang yang kebanyakan   dimotori ibu-ibu protes keras dan sampai ada oknum yang sampai membakar   ekskavator. ”Leluhur kami ada di pulau ini sejak turun-temurun, dan kami   harus pertahankan itu. Mereka seenaknya datang merebut pulau yang kami   diami,” kata seorang warga yang pertama kali tahu rencana tambang ini saat sosialisasi   di Desa Kahuku, 4 Oktober 2011. Warga dan para pegiat usaha pariwisata tak   rela kehadiran PT MMP mengeruk isi perut Pulau Bangka. Selama   berbulan-bulan, mereka berusaha membatalkan tambang lewat segala cara. Warga   bersama-sama pegiat lingkungan berdialog berkali-kali, menggelar spanduk   berisi tanda tangan, menggugat ke pengadilan, hingga menggalang tokoh-tokoh,   seperti Sarwono Kusumaatmadja hingga Kaka, vokalis grup rock Slank. Kaka   sering menyelam di Pulau Bangka. Karena khawatir, ia membuat petisi atas   inisiatifnya sendiri di www.change.org/saveBangkaIsland dan didukung 18.100   orang yang berasal dari berbagai lapisan sosial, termasuk asal daerah. Petisi   ini ditanggapi Bupati Singal. ”Dorang mau tahu apa soal torang pe daerah,   dorang kan orang luar,” ujarnya. ”Siapa yang bilang ini merusak lingkungan?   Kita tetap sesuai aturan, semua ada aturan. Kalo merusak lingkungan, saya   siap tutup. Tapi, kalau tidak, kita jalankan. Ini untuk masyarakat juga.” Korupsi sistemik Komentar   bahwa Kaka Slank bukan orang Bangka, jadi tidak berhak campur urusan Minahasa   Utara, adalah pandangan picik yang jauh dari rasa kebangsaan dan filosofi   Pancasila, sekaligus lebih merefleksikan egosentrisme daerah dalam tarikan   konflik pusat vs daerah. Benarkah tambang pulau kecil itu tak akan merusak   alam dan lingkungan? Mungkinkah kejahatan HAM dan korupsi bisa dihindari?   Pablo de Greiff dalam Transitional Justice and Development: Making   Connections memaparkan beragam kejahatan HAM dan kejahatan korupsi politik   sektor tambang di sejumlah negara, dan betapa sulit upaya mengatasinya selama   peralihan kekuasaan. Dari   manipulasi kebijakan, korupsi, skandal pajak, kekerasan komunal, sampai   kejahatan kemanusiaan. Dalih yang dipakai adalah ”demi pembangunan”. Penguasa   lalu memaksakan dalih itu sebatas pertumbuhan ekonomi makro, tanpa   perlindungan dan pembangunan manusia. Juga tanpa penghormatan pilihan dan   peluang sosial politik warga. Akibatnya kekuasaan politik dan bisnis jadi tak   terkontrol, alam pun rusak, habitat punah, sementara warga sekitar area   tambang hidup miskin, dilanda bencana, perang/konflik bersaudara. Ini yang   terjadi di Amerika Latin sampai Afrika. Ini juga yang dialami warga sekitar   tambang emas di Papua atau gas alam di Aceh. Kita   tentu tak ingin terjadi di Pulau Bangka. Banyak pihak sudah menyadari hal   ini. Itulah mengapa pada 2013, Pengadilan Tinggi Makassar dan Mahkamah Agung   telah meminta pembatalan izin PT MMP. Komnas HAM juga sudah menyurati   pemerintah agar mematuhi putusan, mengimbau kepolisian untuk tak mengkriminalisasi   warga yang menolak tambang, mencegah konflik horizontal dan pelanggaran HAM.   Tetapi, pemerintah tampaknya tetap memaksakan. Dan, kondisi lapangan   hari-hari ini semakin mengharuskan kita bertindak cepat: mencegahnya. Proyek   tambang pulau ini juga menyangkut investasi triliunan rupiah. Sebab, selain   bijih besi, juga potensi uranium. Di tingkat internasional, potensi ini   diincar banyak perusahaan multinasional. Di tingkat lokal, pejabat atau   parpol yang dekat dengan kartel bisnis tentu tergiur. Memang   dana itu mendatangkan pendapatan yang besar ataupun dipakai untuk mendirikan   fasilitas umum, menciptakan lapangan kerja. Tetapi, sebaliknya, dalam situasi   politik hukum yang karut-marut, bayangkan jika dana besar itu dikorupsi.   Bukan mustahil dipakai mendanai kampanye yang sebentar lagi tiba. Kecenderungan   parpol mencari dana dari sumber-sumber bermasalah seperti ini sering terjadi.   Komisi Pemberantasan Korupsi telah mengusut kasus- kasus korupsi politik   terkait izin eksploitasi kekayaan alam di Sulawesi, Kalimantan, Maluku,   hingga Papua. Modusnya, pelaku pejabat tertentu menukar izin tambang dengan   imbalan besar. Selain memperkaya diri, uang dipakai mendanai kampanye   partainya. Jadi, tak heran jika izin eksploitasi alam terbit menjelang pilkada.   Situasi inilah yang oleh Marcus Mietzner (2012) disebut situasi korupsi   sistemik. Kejahatan ini tak lagi dinilai sebatas urusan moral sehingga   melibatkan pimpinan/pengurus partai. Akar utama masalahnya bisa diteropong   dari penghapusan 95 persen subsidi negara untuk pendanaan parpol (2005).   Sementara iuran anggota tak efektif. Karena   kesulitan dana, kehidupan mesin partai lalu bergantung pada figur satu-dua   orang pemodal besar, yang mengontrol partai sepenuhnya. Partai tak lagi   menarik secara ideologi atau paradigma berpikir. Mekanisme demokratis,   termasuk aspirasi kader terbaik, sosok berintegritas, bukanlah penentu. Money   talks. Karena uang segalanya, kekuasaan menjadi korup. Kekuasaan yang korup   menggunakan kekerasan sebagai bahasa politiknya. Kuncinya pada ”Tiga S” Dengan   uraian di atas, rencana tambang Pulau Bangka sangat jelas bermasalah.   Seharusnya proyek ini tak bisa jalan terus. Sebab, itu semua hanya akan   membuat bangsa kita menghitung waktu kapan lagi terjadi kerusakan alam,   kepunahan habitat, bencana, kemiskinan, atau konflik bersaudara. Potensi   inilah yang ada pada proyek tambang Pulau Bangka. Kuncinya terletak pada tiga   pejabat eksekutif berinisial huruf S: Bupati Minahasa Utara Sompie Singal   (SS), Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Sarundajang (SHS), dan Presiden Susilo   Bambang Yudhoyono (SBY). ●  |  

Post a Comment