GuruL   Wilardjo  ;   Fisikawan  |  
KOMPAS,  26 Februari 2014
|    DALAM   pertemuan PGRI di UIN Syarif Hidayatullah baru-baru ini, terdengar keluhan   bahwa pendidikan di Indonesia tidak sepadan dengan alokasi 20 persen dari   APBN kita. Dalam   pertemuan itu, Emil Salim menyatakan, untuk memperbaiki mutu pendidikan,   kuncinya ada pada guru. Tentu diperlukan sarana dan prasarana seperti gedung   sekolah, ruang kelas, laboratorium dengan alat dan bahan, perpustakaan dengan   buku, dan CD E-books-nya. Di atas semua itu, yang lebih penting lagi ialah   guru. Tentu   bukan sembarang pengajar, melainkan guru yang baik. Itulah yang menurut tokoh   CBSA Connie Semiawan: guru yang mampu mengajarkan hal yang kena-mengena   dengan minat siswa, memumpunkan perhatian siswa pada konsep esensial, dan   menyajikannya dalam kegiatan mengajar yang mengasyikkan. Ya,   yang relevan. Itu sebabnya dimasukkan komponen lokal ke dalam kurikulum. Ini   tak berarti bahwa pengembaraan di dunia abstrak pasti tidak relevan. Bagi   (maha)siswa yang suka berkhayal dan daya imajinasinya kuat, matematika bisa   sangat kena-mengena dengan minatnya. Bahkan, matematika dapat dinikmati   keindahannya. Demikian pula teori yang dibangun di atas fondasi yang berupa   postulat imajinatif yang oleh Wolfgang Pauli dikatakan nicht einmal falsch., ’salah saja tidak’.   Dalam   suasana serius tapi santai, dapat terjadi interaksi antara guru dan siswa   serta antarsiswa yang membuahkan transaksi intelektual. Itu, menurut ahli   pendidikan Swiss, Jean Piaget, akan memperkaya kisi-kisi pengetahuan dalam   pikiran para peserta proses belajar-mengajar, terutama pengalihan pengetahuan   dari guru yang pikirannya sudah berkembang ke para siswanya yang pikirannya   sedang mekar. Dalam   kisah pewayangan, interaksi yang menghasilkan transaksi intelektual dan   pengalihan ilmu itu terjadi pada berpuruhitanya Narayana kepada gurunya,   Begawan Padmanaba. Permadi ialah adik sepupu yang kemudian menjadi adik ipar   Narayana, tetapi di dalam berguru kepada Begawan Padmanaba ia ialah kakak   seperguruan Narayana. Di antara kedua saudara seperguruan itu si adik   seperguruanlah yang mendapat lebih banyak ilmu dari sang dwija. Narayana   berhasil menyerap ilmu yang diberikan Padmanaba.  Interaksi   serius tapi santai itu juga terjadi antara sang dwija, Bertrand Russell, dan   si siswa, Ludwig von Wittgenstein. Demikian derasnya aliran pengalihan logika   dari Russell ke Wittgenstein dan pertukaran pikiran antara keduanya sehingga   segera saja hubungan mereka bukan lagi dwija-siswa, melainkan relasi antara   dua orang mitra pengembang logika yang setara. Pemberi ilham Pengalihan   dan penerusan ilmu itu bisa pula terjadi di luar proses belajar-mengajar di   dalam kelas. Richard P Feynman, yang sejak muda menjadi pengagum Paul AM   Dirac dan mengikuti presentasi Dirac dalam konferensi ilmiah yang penting   serta menikmati alur pemikiran Dirac dalam karya ilmiahnya, merupakan contoh   hubungan guru- murid yang baik. Demikian   pula, Bill Clinton sebagai pengagum John F Kennedy sejak Clinton masih anak   muda dan Kennedy masih di Senat boleh dianggap murid dengan Kennedy sebagai   guru atau mentornya. Clinton memperoleh inspirasi dari  sikap politik JFK dan substansi serta   semangat pidato-pidato JFK. Seperti   Dirac yang mendapat Nobel Fisika untuk perintisannya dalam mekanika kuantum   relativistik, demikian pula Feynman menjadi pemenang Nobel Fisika sebagai   perintis elektrodinamika kuantum. Bill Clinton pun menjadi presiden Amerika   dari Partai Demokrat seperti ”guru”-nya, John F Kennedy. Russell   dan Feynman bukan hanya cemerlang di bidangnya, juga piawai dalam mengajarkan   kepintarannya sebagai guru. Namun, tak semua orang pintar dapat mengajarkan   kepintarannya. Emilio G SegrÉ, yang lahir di Italia dan bernaturalisasi   menjadi warga negara Amerika, ialah fisikawan ulung. Ia pemenang Nobel untuk   penemuan anti proton (1959). Namun, di Universitas California, Berkeley, ia   bukan dosen yang baik. Di awal termijn, kelas yang diampunya penuh, tapi   menjelang akhir term hanya tinggal beberapa gelintir mahasiswa yang masih   mengikuti kuliahnya. Yang lainnya sudah mretheli. SegrÉ sendiri tidak peduli.   Mereka yang putus kuliah itu di mata SegrÉ ”tidak level” dengan standar mutu   tinggi dan laju pemelajaran yang ia tuntut. Rupanya   tidak semua guru dilahirkan. Kebanyakan harus dididik, dilatih, bahkan magang   lebih dulu. Karena itu, dapat dipertanyakan apakah tiadanya lagi SGB, SGA,   SPG, dan IKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) merupakan   kebijakan yang tepat. Sekarang ini LPTK ”murni” yang masih ada tinggal UPI di   Bandung dan IKIP Veteran di Semarang. LPTK: perlukah?    Penghapusan   LPTK itu boleh-boleh saja asalkan sebagai sulihnya, ada program pendidikan   guru di perguruan tinggi. Memang tak harus seragam dan tak harus ada di semua   perguruan tinggi. Untuk mendidik dan melatih guru kejuruan teknik, misalnya,   ITB atau ITS dapat membuka program pendidikan gurunya. Hal   ini dilakukan Universitas Nottingham di Inggris dengan PGST (Post Graduate Program of Science Teaching).   Juga oleh Michigan State  University di   Amerika yang menyelenggarakan program pendidikan guru sains di Lyman-Briggs   College dan SMTC (Science and   Mathematics Teaching Center). Di   PGST selain menjalankan proses belajar-mengajar di kelas dan di laboratorium,   mahasiswa juga melakukan praktik belajar-mengajar di ”lapangan”, yakni di   sekolah-sekolah yang berada di Nottinghamshire dan Derbyshire. Mereka tak   hanya dilatih untuk menghadapi kelas, tapi juga kelas yang siswanya   pembelajar lamban dan kelas dengan siswa berbakat yang pintar-pintar. Di   kelas dengan siswa berbakat ini mahasiswa calon guru itu harus menyampaikan   materi yang ditingkatkan dengan perkayaan dan dengan laju pemelajaran yang   lebih cepat. Di   SMTC hampir tak ada ceramah. Praktis seluruh waktu dipakai untuk peragaan dan   praktikum, serta untuk mendiskusikan peristiwa yang terjadi dan bagaimana   menjelaskannya, lazimnya dengan eksplanasi deduksi nomologis. Mahasiswa   diarahkan menemukan sendiri keluncas-pahaman (miskonsepsi) yang diidapnya.   Caranya dengan menampilkan fenomena yang tidak mereka harapkan akan terjadi,   atau yang justru berlawanan dengan yang mereka kira akan terjadi, seperti   dalam Kartun Fisika yang saya buat dengan bantuan ilustrasi dari mantan   mahasiswa saya (Liek Wilardjo dan Saptadi Nugroho, Kartun Fisika: Bahang dan   Keelektrikan, Penerbit Widyasari, Salatiga, 2012). Jarwo   dhosok dalam bahasa Jawa menyatakan bahwa guru itu digugu lan ditiru, artinya   saran dan nasihatnya diindahkan dan teladannya diikuti. Itulah guru sejati,   yang tak semuanya cukup berbekal bakat (talenta), tetapi ada dan bahkan   banyak yang memerlukan wiradat (wiyata). ●  | 

Post a Comment