Kisah tentang Pohon

Kisah tentang Pohon

Purnawan Andra  ;   Penulis
TEMPO,  05 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Pemilu semakin dekat. Hampir semua ruang kota sesak dengan gambar wajah-wajah calon legislator dan partai politik, mulai dari billboard di jalan protokol, tiang-tiang listrik dan tembok di gang, sampai pohon-pohon jalanan kota.

Maka, jika sebuah foto dipasang di pohon dengan menggunakan empat paku dan sebuah pohon dipasangi 10 foto caleg, berarti ada 40 paku menancap di tubuh pohon. Jika di jalan protokol kota terdapat 100 pohon, dapat diasumsikan ada 4.000 paku yang melubangi pepohonan di (hanya) sebuah jalan protokol. Kalkulasikan saja dengan jumlah semua pohon yang ada di kota, dan bisa kita bayangkan kerusakan hidup pepohonan karena hasrat narsisisme politik para calon politikus kita.

Sebagai makhluk hidup yang bernyawa, tusukan paku sebanyak itu pasti melukai sebatang pohon. Terlebih jika, misalnya, paku itu telah menancap lama, bahkan jauh sebelum waktu resmi kampanye. Bisa jadi paku telah menghitam dan berkarat. Dan jika sebatang pohon adalah sosok manusia, tubuhnya pasti telah berlubang penuh luka dan berdarah, urat nadinya putus, napasnya sesak dan tercekik karena belitan tali-temali bendera parpol.

Sebuah pohon berperan penting di alam. Ia adalah penyerap polusi dan penyedia udara segar lewat kerindangan daunnya, penjaga siklus air dan pencegah bahaya kilat saat hujan badai. Pohon juga menjadi bagian integral dalam tata kota yang memanusiakan penduduknya (humanopolis) dan kota yang bersahabat dengan lingkungan (ekopolis).

Pohon memang bagian integral dari peradaban manusia. Mawardi (2010) menyebutkan, kisah pohon terkait dengan mitologi-kultural, religiositas, sampai kosmos. Kisah Adam-Hawa terwakili lewat pohon, dan Sidharta memuncak di bawah pohon. Pohon juga bersimbiosis dengan kekuasaan lewat kehadiran sepasang pohon beringin di alun-alun kerajaan.

Lebih lanjut dikatakan, kosmologi pohon dalam peradaban Jawa bisa ditemukan dalam relief candi, teks sastra Jawa kuno, folklore, tradisi pengobatan, atau ritus siklus kehidupan. Pohon dalam pertunjukan wayang tampil dalam kekayon atau gunungan. Pohon dalam teks sastra Jawa kuno termaktub dalam kitab Udyogaparwa, Brahmandapura, Ramayana, dan Arjunawiwaha. Kesadaran kosmologis tampak dalam pemaknaan pohon kalpataru, yang menyebar dalam ranah politik, ekonomi, gender, agama, seni, ekologi, dan kultural.

Kini, semua kisah pohon dalam peradaban tersebut mengalami semacam tragedi, berawal dari degradasi pemahaman makna dan nilai-nilainya, pengalihan fungsi yang semena-mena, tidak visioner, dan hanya pada kepentingan sepihak, sampai pemusnahan fisik pepohonan dalam ekosistem yang berujung bencana. Kerusakan lingkungan hidup, baik sosial maupun alam, semakin nyata.

Karena itu, visi antropokosmik (manusia sebagai bagian dari alam) harus dikedepankan untuk menggeser visi antroposentrisme. Manusia tidak dapat bertindak dan menggunakan segala yang ada di alam dengan seenaknya untuk kepentingan pribadi. Pepohonan telah memberikan dirinya tanpa pamrih sebagai jasa-jasa yang mesti dibalas parpol dan para caleg. Mereka perlu membuktikannya dengan menepati janji, bekerja berkualitas sesuai dengan porsinya, dalam koridor kebenaran, serta demi tujuan utama, bangsa dan negaranya, bukan untuk diri sendiri dan partainya.
Indeks Prestasi

Post a Comment