Membangun Kota Tanggap BencanaNirwono Joga ; Koordinator Gerakan Indonesia Menghijau |
TEMPO, 05 Maret 2014
"John Kerry: Indonesia Rentan Perubahan Iklim" (Koran Tempo, 17 Februari). Ia menyebutkan, ancaman global akibat perubahan iklim telah menjadikannya seolah senjata pemusnah massal terbesar dan paling menakutkan di dunia. Fenomena pemanasan global, perubahan iklim ekstrem, dan degradasi kualitas lingkungan juga telah mengakibatkan berbagai bencana di Indonesia. Nusantara-nama lain Indonesia-yang menggambarkan sebagai negara kepulauan, sangat rentan terkena dampak bencana akibat perubahan iklim. Untuk memutus mata rantai bencana beruntun itu, kota harus dibangun untuk mampu melakukan antisipasi, adaptasi, dan mitigasi terhadap perubahan iklim. Salah satunya, membangun Kota Tanggap Bencana (KTB). Hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Pertama, kota harus memiliki pemerintah kota dan kepemimpinan yang baik. Peraturan pro-lingkungan berskala nasional memberi dampak besar dan arah strategi pembangunan KTB secara keseluruhan. Tingkat kepemimpinan kota/kabupaten yang mumpuni dan peka lingkungan juga sangat penting. Pemerintah memberikan insentif kepada pemerintah kota/kabupaten untuk membangun inisiatif KTB. Peraturan nasional memberikan ruang otonom kepada daerah untuk fokus pada isu-isu bencana lokal dan membuat kebijakan sesuai dengan kearifan lokal. Kedua, pemerintah harus melakukan pendekatan yang menyeluruh agar memberi dampak berantai terhadap keberhasilan setiap pihak. Setiap dinas menangani aspek pembangunan kota berbeda-beda dengan tetap konsisten mematuhi strategi pembangunan KTB. Penyatuan program lingkungan ke dalam strategi pembangunan KTB yang secara simultan membangkitkan perekonomian kota dan menghadirkan kawasan perkotaan yang layak huni. Ketiga, pengembangan kebijakan pro-lingkungan yang tepat sasaran akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki kualitas lingkungan, dan tanggap bencana. Kampanye edukasi publik akan mengubah gaya hidup masyarakat menjadi tanggap bencana. Masyarakat dibekali pengetahuan yang memadai sehingga, saat bencana tiba, warga tahu apa yang harus dilakukan, ke mana tempat evakuasi, dan bagaimana bertahan hidup. Pemerintah menyiapkan suplai air bersih dan listrik, transportasi yang aman dan nyaman, ruang terbuka hijau untuk tempat evakuasi, dan penggunaan energi terbarukan. Keempat, pemerintah daerah berkewajiban melakukan penguatan masyarakat tangguh bencana. KTB tidak mungkin terwujud tanpa dukungan kuat dari masyarakat. Semakin kuat para sukarelawan kota dalam berbagai komunitas dan organisasi yang peduli terhadap lingkungan kota, semakin tangguh pula kota dalam menghadapi bencana. Masyarakat dilibatkan sejak pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, hingga evaluasi, sehingga langkah penanggulangan bencana yang dibuat lebih cocok dan siap menghadapi bencana. Mereka memilih bersama prioritas pembangunan yang akan dilaksanakan setiap tahun, seperti tempat dan jalur evakuasi bencana, sanitasi, lingkungan, logistik, dan transportasi. Kelima, pemilihan teknologi yang tepat guna berperan penting dalam mengurangi dampak lingkungan, serta biaya pembuangan energi, air, sampah, dan limbah, terutama saat bencana tiba. Pengembangan energi alternatif yang mandiri di tempat evakuasi, seperti energi biogas, bayu, atau surya, sangat dibutuhkan saat pemadaman listrik akibat bencana. Ketika normal, pengembangan infrastruktur berkelanjutan, seperti energi gas metan dari sampah dan energi surya, dapat menyediakan energi untuk kebutuhan rumah tangga. Keenam, penataan permukiman keseluruhan yang tanggap bencana merupakan kunci agenda perbaikan lingkungan kota. Setiap pemerintah kota memiliki pendekatan berbeda dalam menata permukiman tanggap bencana sesuai dengan kondisi lingkungan setempat. Masyarakat adat dan pemuka agama merupakan modal sosial yang kuat untuk dilibatkan melakukan adaptasi perubahan iklim dan bencana. Mereka dibekali peta kerentanan bencana, proyeksi kerentanan perubahan iklim, dan potensi bencana di masa depan. Mereka disertai pilihan adaptasi yang bisa dilakukan daerah, mulai dari yang berbiaya murah hingga yang mahal. Ketujuh, pembangunan KTB harus seimbang di antara penguatan kesejahteraan masyarakat, kesehatan manusia dan pengurangan kemiskinan, serta pelestarian keberlanjutan ekosistem. KTB membatasi peluberan kota dengan mengajak warga kembali memperbaiki pusat KTB berupa kawasan terpadu yang berisikan hunian vertikal dengan pendapatan campuran, kemudahan aksesibilitas ke fasilitas umum dan memperluas jaringan transportasi publik. Pemerintah perlu membangun peningkatan kapasitas dan sinergi antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pembangunan kapasitas akan menyadarkan partai politik di lembaga legislatif untuk berkomitmen penyelesaian perundangan terkait penanggulangan bencana. Di bidang yudikatif, upaya ini akan membentuk paradigma penegakan hukum yang tegas bagi perusak lingkungan yang dapat mengakibatkan bencana, terutama akibat perbuatan manusia. ● |
Post a Comment