Tom and JerryIdrus F Shahab ; Wartawan Tempo |
TEMPO, 05 Maret 2014
Wak Lihun tak ingin diganggu. Tetangga yang menyapa, istri yang menawarkan kudapan, tak ia gubris. Matanya berbinar-binar, terpusat pada kotak televisi di hadapannya. Inilah Tom dan Jerry dalam The Cat Concerto, salah satu film kartun produksi Warner Bros. Panggung temaram yang berukuran sekitar 10 x 15 meter itu jadi terang-benderang manakala sang maestro mengayunkan kakinya ke sebuah grand piano, persis di tengah-tengah pentas. Tom, sang maestro, tafakur sejenak di hadapan barisan tuts, di bawah tatapan ribuan pasang mata penonton. Suatu mukadimah yang mayestis dari Hungarian Rhapsody no 2 in C # minor karya Franz Liszt (1811-1886) meluncur dalam tangga nada minor. Nadanya bulat dan tegas, seakan-akan hendak menyampaikan sebuah manifesto politik. Segalanya berlangsung sesuai dengan rencana, sampai akhirnya bagian itu kemudian diisi rangkaian nada-nada ringan lagi bergemerincing lincah: sebuah potongan lagu rakyat Hungaria. Tiada yang tahu si tikus Jerry tengah lelap di dalam bak piano, meringkuk dengan selimutnya yang mungil dan tipis, ketika Tom semakin larut dalam musik. Pada Hungarian Rhapsody no 2 bagian ini, dentingan tuts tidak hanya membangunkan tidurnya, tapi juga membuat Jerry terpelanting beberapa kali. Kita pun lalu menyaksikan musik piano zaman Romantik yang diciptakan Franz Liszt dengan sepenuh hati itu ternyata begitu tepat untuk mengiringi adegan selanjutnya: adu-licik, adu-siasat, kejar-kejaran di antara dua makhluk yang bermusuhan itu. Wak Lihun tergelak, seperti ia tergelak menyaksikan permusuhan yang tak kunjung padam itu pada layar hitam-putih 50 tahun silam. Jakarta 1964 ibarat sebuah kampung besar yang terpesona menyambut kotak menakjubkan itu, dan kegiatan menonton televisi pun cepat menjadi peristiwa komunal yang paling ditunggu. Ketika hari mulai gelap, di sebuah rumah gedong (rumah batu yang kokoh) Wak Lihun bersama para tetangga berkumpul, menyaksikan deretan gambar-gambar Tom and Jerry yang menawan: serba hiperbolis dan penuh adegan slap stick di sepanjang film. Dunia tak banyak berubah. Sementara dulu Tom muncul sebagai kucing berbulu hitam dengan semburat putih pada dada dan perutnya, sekarang ia seekor kucing dengan punggung biru dan perut putih. Televisi hitam-putih telah digantikan televisi berwarna, tapi pertarungan kucing melawan tikus, negara kaya melawan negara miskin, kulit putih melawan kulit berwarna, Timur melawan Barat (bisa digantikan dengan terminologi yang lebih kontemporer: Islam versus Barat), moderat versus garis keras, dan liberal versus radikal, dalam segala manifestasinya belum juga berakhir. Hegel menyebutnya standing contradiction, sesuatu yang membuat dialektika mandek, terpaku pada satu titik seiring perjalanan waktu. Tak ada yang salah dalam pemikiran di atas, kecuali sebuah obsesi yang besar untuk membaca buku dari sampulnya, memandang dunia dari "merek dagang"-nya. Hitam-putih dan monolitik. Dunia tentu saja tak semonolitik itu. Namun, jauh di dalam benak Wak Lihun, bersembunyi memori yang menyenangkan tentang dua makhluk yang sibuk kejar-kejaran, saling tipu dan saling memperdaya. Andaikan dunia sesederhana ini, seperti dunia dalam film kartun. Di depan televisi berwarna sekarang Wak Lihun tergelak, seperti ia tergelak lima puluh tahun silam. ● |
Post a Comment