Mental Elite Makin Parah

Mental Elite Makin Parah

M Bashori Muchsin  ;   Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
KORAN JAKARTA,  05 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
Filosof F Nietzsche pernah menyebut Tuhan sudah mati (God is dead). Menurut dia, masyarakat tidak bertuhan, meski memeluk agama tertentu. Manusia sudah kehilangan religiositas atau komitmen spiritualitasnya.

Nietzsche memotret realitas sosial politik tanpa Tuhan. Dia sebenarnya tidak menginginkan masyarakat dan negara dibangun tanpa kawalan wahyu (agama).

Di matanya, kerusakan masyarakat yang sangat parah mulai dari dunia pendidikan, budaya, politik, dan hukum menuntut reorientasi beragama. Kaum elite harus mengembalikan kedaulatan agama dalam kehidupannya.

Bila dibaca, sekarang ini memang banyak kaum elite yang jauh dari penghayatan keagamaan. Hal itu tampak makin menyeruak di antara mereka yang diangkap Komisi Pemberantasan Korupsi. Memang sulit membuktikan kebenaran bahwa kaum elite jauh dari penghayatan keagamaan karena itu relasi dengan yang di atas.

 Ini mengindikasikan tidak mudah menciptakan tata negara beradab. Bila diterapkan di sini, elite-elite yang menjadi pilar negara seolah sedang kehilangan kesadaran akan Tuhan.

Tak heran, segala perilaku lebih sering melahirkan berbagai tragedi yang melukai hati rakyat. Masyarakat mesti menjadi subjek bukan dinegasikan eksistensinya.

Kaum elite sengaja menciptakan kesempatan yang lebih bersifat memburu keuntungan pribadi dan koleganya daripada memikirkan kepentingan rakyat.

Manusia yang hanya sibuk memenuhi kepentingan sendiri, tanpa peduli pada rakyat oleh Herbet Marcuse disebut modular man atau sosok manusia berdimensi tunggal. Orang seperti ini hanya menjalani kehidupannya secara monologis. Pola berelasi sosial, politik, dan keagamaan didesain tanpa memikirkan penderitaan atau kesulitan orang lain.

Hidup manusia semakin tidak acuh pada sesama. Mereka hanya berorientasi pada diri. Manusia makin jauh dari sifat altruis, yang mengarahkan hidup demi orang lain. Orientasi pada diri sering diistilahkan sebagai berpusat pada ego. Orang lain dinegasikan.

Di negeri ini, sudah banyak ditemukan model manusia-manusia macam itu. Mereka hanya sibuk memburu kepentingan duniawi dan mengejar ambisi. Langkah-langkahnya selalu dihitung berdasarkan uang. Perilaku mereka jauh dari mementingkan rakyat.

Jalan kriminal pun terkadang ditempuh demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Anggaran negara mereka keruk sebanyak-banyaknya untuk memenuhi pundi-pundi. Praktik seperti itu muncul atau tergambar dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, beberapa waktu lalu.

Sidang dengan terdakwa mantan Kepala Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas, Rudi Rubiandini, itu menghadirkan mantan Kepala Biro Keuangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mine¬ral, Didi Dwi Sutrisno Hadi, sebagai saksi.

Pernyataan Didi di ruang sidang yang terhormat dan berada di bawah sumpah tersebut mengonfirmasikan cara uang negara begitu mudah dijadikan bancakan.

Didi menyebut empat pemimpin Komisi VII DPR menerima tunjangan hari raya. Tiap pimpinan menerima 7.500 dollar AS, sedangkan 43 anggota Komisi VII menerima 2.500 dollar AS per orang. Petugas sekretariat memperoleh 2.500 dollar AS.

Praktik timbal balik antara mitra kerja dan DPR ini sudah lama terjadi dan terus dipupuk. Padahal, praktik seperti itu jelas merugikan kepentingan rakyat. Hubungannya menjadi demi kepentingan mitra dan anggota DPR.

Deskripsi

Kasus itu mendeskripsikan betapa parahnya mental elite politik Indonesia. Mereka tidak ubahnya modular man, sosok elitis negara yang bukan hanya mengidap krisis komitmen pada rakyat. Mereka juga mengidap penyakit menjauhi Tuhan. Para anggota dewan yang semestinya rajin membantu rakyat, justru berperilaku buruk bagi masyarakat.

Mereka tidak pernah memikirkan pemilihnya karena orientasi kerja hanya selalu demi keuntungan diri, keluarga, dan kelompoknya. Kepentingan rakyat tidak pernah menjadi hitungan. Mereka yang seharusnya mengabdikan diri secara total untuk kepentingan rakyat, justru menjadi pengkhianat.

"Tak disebut beriman di antara kalian, sehingga mencintai saudaranya (rakyatnya) sebagaimana mencintai diri sendiri," demikian penegasan Nabi Muhammad SAW. Dia mengajak para pemanggul amanat rakyat agar selalu membantu kesulitan rakyat. Jadi, tindakan para wakil rakyat seharusnya meringankan beban masyarakat, bukan sebaliknya justru memperberat.

Mencintai tak dibatasi sekat sosial, kultural, agama, struktural, primordial, partai, dan sebagainya. Jika saja semua elite mencintai rakyat, maka tak banyak korupsi. Bancakan anggaran menggambarkan kaum elite hanya memikirkan diri sendiri. Mereka tidak bekerja untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Manusia yang terikat dalam doktrin universalitas itu dibebani kewajiban untuk mengalahkan mental modular man untuk menjadi sosok pengabdi kepada rakyat. Kaum elite harus melepaskan penderitaan rakyat. Para pemimpin harus bekerja sekuat tenaga untuk memberdayakan masyarakat bawah.

Tangan-tangan mereka harus digunakan untuk mengubah kehidupan rakyat jelata ke taraf yang lebih baik atau lebih sejahtera. Mereka yang hanya mementingkan diri sulit diharapkan untuk membebaskan penderitaan rakyat. Jiwa mereka harus bersih agar peka dan mampu menyejahterakan rakyat.

Kondisi masyarakat yang karut-marut karena tidak berdaya merupakan buah tindak kriminal para elite politisi. Kemiskinan harus menjadi situasi darurat yang membutuhkan kesigapan segenap elemen bangsa untuk mengeliminasi. Jumlah orang miskin harus terus diupayakan menurun.
Indeks Prestasi

Post a Comment