Demokrasi Setengah HatiAchmad Soetjipto ; Mantan KSAL; Ketua Persatuan Purnawirawan AL |
KOMPAS, 18 Februari 2014
Tahun politik, demikian tahun ini kerap disebut terkait penyelenggaraan Pemilu 2014. Ini pemilu keempat pasca-Reformasi setelah 1999, 2004, dan 2009. Dalam tiap penyelenggaraan tentu selalu diharapkan ada perbaikan kualitas pemilu. Meski selalu muncul kecurigaan adanya kecurangan terhadap penyelenggaraan, banyak kalangan bersepakat hal itu tak cukup signifikan untuk menyebut pemilu kita itu tidak demokratis. Demikian pula pada pemilu kali ini, masalah karut-marut daftar pemilih tetap (DPT) kembali dipersoalkan. Namun, sesungguhnya ada masalah yang tidak kalah hebat menyangkut DPT di luar soal yang diperdebatkan saat ini, yang bahkan dilegalkan oleh undang-undang, yaitu tidak tercantumnya anggota TNI dan Polri dalam DPT. Bagaimanapun TNI dan Polri adalah warga negara yang mempunyai hak politik sama dalam konsep demokrasi. Beberapa waktu lalu kita mendengar putusan MA yang memperberat vonis seorang terpidana kasus korupsi sekaligus mencabut hak dipilih dan hak memilih. Bayangkan, seorang warga negara dicabut hak politiknya melalui putusan MA, sedangkan di sisi lain ada ratusan ribu warga negara dicabut hak politiknya semata-mata karena pertimbangan politik. Demokrasi sehat adalah terciptanya tertib hukum. Supremasi hukum harus berkuasa atas kebijakan politik, bukan sebaliknya kepentingan politik mendikte aturan hukum. Prinsip persamaan hak Demokrasi mengajarkan kita adanya persamaan hak atas partisipasi politik sebagai pengakuan terhadap hak asasi manusia (HAM). HAM adalah sesuatu yang melekat pada tiap orang sehingga atas alasan apa pun tidak boleh mencabut bagian darinya. Penghormatan HAM adalah prasyarat terselenggaranya demokrasi dan demokrasi adalah konsep perjuangan HAM untuk menjamin terlindunginya harkat kemanusiaan. Dengan demikian, HAM adalah nilai inti dari demokrasi. Pelaksanaan demokrasi berikut seluruh prosesnya termasuk pemilu tanpa mengindahkan prinsip HAM bukanlah demokrasi sesungguhnya. Hak memilih dan dipilih dalam pemilu merupakan hak dasar warga negara termasuk anggota TNI dan Polri. Mengamputasi hak pilih TNI dan Polri sama dengan pelanggaran HAM dan pengingkaran demokrasi itu sendiri. Pencabutan hak politik TNI seperti menjatuhkan vonis bersalah sekaligus memosisikan TNI sebagai warga negara kelas dua. Hal ini sudah berlangsung sangat lama sejak terakhir anggota TNI menggunakan hak pilih pada Pemilu 1955. Sejak Orde Baru berkuasa, hak pilih TNI dicabut, tetapi diberikan kompensasi keterwakilan di lembaga legislatif. Pasca-Orde Baru, hak politik TNI diberangus sama sekali tanpa ada hak pilih memilih dan tanpa keterwakilan. Kekhawatiran apabila TNI diberi hak pilih akan mengembalikan TNI pada politik praktis adalah sesuatu yang tak beralasan. Ketakutan akan kembalinya Dwifungsi ABRI adalah bentuk paranoid politik berlebihan. TNI punya sejarah panjang perjuangan sejak Indonesia berdiri dan selalu disiplin menempatkan diri sebagai alat negara dalam sistem yang berlaku di zamannya meski posisi ini merugikan TNI. Pada masa Orde Lama TNI digunakan sebagai penyeimbang dan penopang Demokrasi Terpimpin, dan TNI taat melaksanakannya karena sistem itulah yang berjalan ketika itu. Demikian pula ketika Orde Baru berkuasa, TNI tetap loyal menjalankan perintah meski sekadar diperalat untuk menjaga status quo rezim berkuasa. Dengan konsep Dwifungsi ABRI, militer semata ditempatkan sebagai penjaga kekuasaan rezim dalam salah satu kamar yang disebut ABG (ABRI, Birokrat, Golkar). Tetapi, itulah sistem yang berjalan masa itu dan TNI/ABRI sebagai alat negara tidak ada kata lain selain harus patuh. Juga pada masa Reformasi, TNI tak luput dari arus perubahan yang disebut gerakan reformasi. TNI mendukung kehendak rakyat untuk adanya perbaikan sistem ketatanegaraan yang lebih demokratis. Menyikapi perubahan tersebut, TNI/ABRI juga segera mereformasi diri dengan melaksanakan pemisahan TNI dan Polri, mengembalikan nama TNI dari ABRI, menarik diri dari politik, dan membangun visi baru TNI untuk jadi militer profesional. Alasan profesionalitas ini juga dikemukakan untuk menolak hak memilih dan dipilih bagi anggota TNI dan Polri. Semangat reformasi menghendaki TNI fokus pada tugas pokok menjaga pertahanan dan Polri di bidang keamanan. Muncul ketakutan jika hak pilih bagi anggota TNI dan Polri dipulihkan akan menimbulkan perpecahan di institusi TNI dan Polri. Ini tentu alasan tak mendasar dan kekanak-kanakan karena bagi TNI Sumpah Prajurit dan Sapta Marga sudah cukup jadi fondasi loyalitas dan soliditas organisasi. Pengebirian demokrasi Tak ada hubungan simetris antara profesionalisme TNI dan pemberian hak pilih. Faktor dominan yang mendasari kebijakan pengamputasian hak politik TNI adalah masalah kepercayaan, elite politik nasional tak percaya dengan TNI. Mereka tak merasa memiliki TNI dan menempatkannya sebagai pihak lain yang selalu dicurigai. Eksistensi kekuatan militer selalu dipandang sebagai bahaya dan ancaman sehingga segala kebijakan menyangkut nasib TNI selalu diusahakan diperlemah dalam rangka mengurangi tingkat ancaman terhadap mereka. TNI sengaja didesain sebagai pesakitan; diberi gaji kecil, tetapi diberi tanggung jawab besar; diberi alutsista seadanya, tetapi selalu dituntut profesionalitasnya; sedikit pun melakukan kesalahan selalu dituding melanggar HAM, tetapi ketika hak dasar TNI dilanggar tak ada yang peduli; dicabut hak politiknya tapi tak pernah diakomodasi kebutuhan dasarnya. Ini sikap dan pemikiran yang membahayakan. Sebuah cara pandang yang mencabut akar sejarah TNI sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat. Dapat saja mereka berkilah bahwa kebijakan ini ada dasar legalitasnya, misalnya Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 yang mengatur peran TNI dan Polri, juga UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang sudah menggariskan larangan bagi prajurit jadi anggota parpol dan kegiatan politik praktis. Tetapi, apa susahnya mengubah perundangan ini jika keberadaannya tak sesuai dengan UUD 1945 dan melanggar prinsip-prinsip kehidupan berdemokrasi. Kalaupun ada tuntutan tertentu yang dipertimbangkan dapat mendistorsi keberlangsungan kehidupan demokrasi dan mengganggu profesionalitas TNI, keluarkanlah aturan yang dapat mengeliminasi. Zaman sudah berubah dan dalam sejarahnya TNI selalu patuh pada sistem yang berlaku. Tidak mudah bahkan tak mungkin lagi mengembalikan TNI pada posisi sebagaimana masa Orde Baru. Hal itu tak saja akan melawan kehendak rakyat, tetapi juga berbenturan dengan visi baru TNI yang sudah bertekad berlaku profesional. Era keterbukaan sudah sangat jauh dan tak mungkin dapat ditarik lagi ke belakang. Indonesia juga sudah meratifikasi beberapa protokol internasional sehingga kembalinya TNI akan memancing reaksi dunia internasional. Dengan demikian, tak relevan mendasarkan alasan pemberian hak politik anggota TNI akan membawa lagi institusi TNI ke panggung politik. Pengalaman tiga pemilu pasca-Reformasi semestinya telah mematangkan dan mendewasakan kehidupan demokrasi. Kehidupan yang demokratis adalah kehidupan yang melibatkan partisipasi rakyat tanpa kecuali. Pengecualian terhadap TNI dan Polri untuk menggunakan hak politiknya bentuk pengebirian demokrasi. ● |
Post a Comment