Estetisasi Bencana

                             Estetisasi Bencana

Agus Dermawan T  ;   Pengamat Budaya dan Seni
TEMPO.CO,  17 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Pada 2012, ketika guncangan ekonomi melanda banyak negara, dunia tiba-tiba dikejutkan oleh harga lukisan The Scream yang dilelang Sotheby's New York edisi Mei. Lukisan berukuran tinggi sedepa itu terbayar US$ 119.922.500 atau sekitar Rp 1,4 triliun.

The Scream (1893), ciptaan Edvard Munch asal Norwegia, menggambarkan orang sedang menjerit ngeri di tengah jembatan yang dikurung mendung gelap. Lukisan ini selama satu abad dinobatkan sebagai simbol utama psikologi rasa takut manusia.

Di tengah perasaan takjub, masyarakat umum lantas bertanya: mengapa harga lukisan menakutkan tersebut bisa begitu "menghibur". Sejumlah jawaban lantas bisa diberikan. Misalnya, lantaran presentasi lukisan memang memenuhi syarat-syarat teknik untuk menyampaikan nilai artistik yang mahal nilainya. Atau karena lukisan itu mampu mengusung tema menggoda sehingga tak henti menarik perhatian. Mendampingi itu, riwayat hidup Munch sebagai anak dokter tentara Perang Dunia I yang dibasuhi darah dan air mata jadi faktor ekstrinsik yang penting.

Namun jawaban paling relevan justru datang dari sang pembeli lukisan-yang sampai sekarang tetap menyembunyikan identitasnya. Ia berkata bahwa sensasi harga Scream adalah untuk mendekatkan masyarakat dunia dengan tema kemanusiaan yang terkandung di dalam lukisan itu. Nilai nominal gila itu, yang saya sebut sebagai "estetisasi harga", adalah jendela untuk mengapresiasi isi lukisan secara lebih mendalam, sehingga horor dalam Scream jadi bahan penyadaran untuk perbaikan peradaban. Dan bisa membangun spirit manusia untuk semakin anti-peperangan dan menyadari keberadaan sisi gelap alam.

Fenomena Scream bisa disetarakan dengan publikasi atas bencana alam yang terjadi pada akhir-akhir ini di televisi, koran, majalah, dan media online. Kita bisa melihat betapa banjir, puting-beliung, dan letusan gunung dikemas dalam gambar-gambar menarik.

Sebagian orang mempersepsikan publikasi gambar-gambar itu sebagai eksploitasi bencana. Apalagi ketika diketahui gambar itu disiarkan berulang-ulang, dengan selipan jajaran iklan yang mendatangkan uang. Dramatika gulungan awan Sinabung, nuansa warna monokrom abu Gunung Kelud di sekujur desa dan kota, terempasnya mobil-mobil di gelombang air bah, tatapan bayi yang belum dapat makan di pengungsian, mendadak tampil bak gambar-gambar elok kartu pos. Sehingga jadi sah belaka ketika ada keluarga yang bareng memekik, "Iiih, kereeen nian!" ketika melihat televisi dan koran menyiarkan rekaman debu vulkanik menyelimuti kompleks Candi Prambanan.

Belajar dari fenomena Scream, saya percaya bahwa penyiaran gambar-gambar indah bencana tersebut menyimpan maksud yang positif. Karena dengan sentuhan seni, penyiaran bencana akan lebih mengundang rasa empati. Gambar-gambar itu akan mengajak yang mujur untuk berbagi rasa. Mengimbau yang malang dan menderita untuk kuat bertahan dan sigap menyiapkan masa depan. Karena seni pada akhirnya memiliki fungsi yang lebih dari sekadar jadi perhiasan kehidupan. Seperti yang dikatakan Pablo Picasso, "Di sebalik fungsi sebagai penghiburan, seni adalah alat perang untuk mengubah perasaan dan jalan pikiran orang-orang."
Indeks Prestasi

Post a Comment