Ironi REDD+ di Indonesia : Cerita dari KaltengEmilianus Yakob Sese Tolo ; Peneliti di Magister Administrasi Publik UGM, Yogyakarta |
INDOPROGRESS, 12 Februari 2014
DEWASA ini, pembicaraan seputar permasalahan perubahan iklim di Indonesia semakin hangat. Bersama dengan itu, hadir sebuah strategi global yang ditawarkan oleh negeri-negeri kapitalis internasional yang disebut Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus(REDD+). Strategi ini muncul untuk merespon penyebab perubahan iklim yang ditimbulkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan akibat deforestasi dan degradasi hutan yang umumnya terjadi di negara-negara sedang berkembang, seperti Indonesia, Brazil dan Republik Kongo. Menurut Sticler et.al (2009), deforestasi dan degradasi hutan di dunia menyumbang 1/5 dari total emisi GRK di dunia. Indonesia sendiri merupakan penyumbang emisi terbesar dari sektor kehutanan setelah China dan Amerika serikat. Menurut, Kusumaatmadja (2010), sektor kehutanan di Indonesia menyumbang 60-80 persen dari total emisi GRK yang disebabkan oleh kebakaran hutan, konversi fungsi hutan ke fungsi lain, dan illegal logging (Brockhaus et al. 2012, Noordwijk et al. 2008, Verchot et al. 2010). Karena itu, menurut Eliash Review (2008), penginklusian sektor kehutanan dalam strategi penurunan emisi GRK dapat menurukan 50 persen dari total emisi pada tahun 1990 (Scheyvens 2010). Pertanyaannya, apakah REDD+ merupakan solusi atau sumber masalah baru bagi Indonesia? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan tersebut dengan merujuk pada evaluasi atas pelaksanaan program percontohan REDD+ di propinsi Kalimantan Tengah. Saya akan menjelaskan tentang REDD+ di Indonesia,kondisi hutan di Kalimantan Tengah, pelaksanaan REDD+ beserta prospek dan tantangannya di sana. Tulisan ini akan diakhiri dengan kesimpulan dan rekomendasi singkat. REDD+ dalam Wacana Perubahan Iklim di Indonesia Tujuan utama REDD+ adalah menurunkan emisi GRK yang bersumber dari sektor kehutanan di negara-negara sedang berkembang. Proyek ini berlangsung dengan gelontoran dana yang cukup besar dari negara-negara kapitalis maju (Angelsen 2009, Ricketts 2010). Selain itu, REDD+ juga mempromosikan tawaran strategi adaptasi terhadap perubahan iklim (Holloway & Giandomenico 2009). Adaptasi di sini berarti ‘prakarsa dan kebijakan untuk mengurangi tingkat kerentanan sistem-sistem alam dan manusia ketika berhadapan dengan efek-efek perubahan iklim sebagaimana yang tengah berlangsung maupun yang diperkirakan’ (Long 2009: 317). REDD+ yakin bahwa strategi yang mereka tawarkan akan menghasilkan manfaat tambahan (co-benefit) seperti: (1) perlindungan terhadap biodiversitas, (2) penurunan kemiskinan, (3) memfasilitasi good governance, (4) meningkatkan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim (Angelsen 2009, Long 2009, Venter et.al 2009), dan (5) meningkatkan kualitas air dan tanah (Stickler 2009). Sepertinya, semua yang dijanjikan oleh negara kapitalis maju melalui REDD+ baik adanya. Walaupun demikian, beberapa pihak cenderung menyikapinya secara skeptis. Masih banyak, misalnya, pihak yang memandang REDD+ sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa yang bisa saja ‘dirampok’ oleh negara kapitalis. Sementara itu, beberapa negara berkembang melihat strategi yang ditawarkan oleh REDD+ sekadar upaya ‘cuci tangan’ dari tanggung jawab menurunkan tingkat emisi GRK dari sektor Industri mereka sendiri. Dengan kekuatan finansialnya, negara-negara kapitalis ini ingin membebankan tanggung jawab ini hanya kepada negara-negara yang memiliki hutan tropis. Beberapa pihak, termasuk LSM internasional, menolak REDD+ karena harga kompensasi yang ditawarkan REDD+ terlalu murah (Long 2009: 318, Kartini 2009). Tabel 1: Luas Tutupan Hutan Indonesia (2009) No Jenis Hutan Luas Hutan (Juta ha) 1 Hutan Konservasi 15,2 2 Hutan Lindung 23,0 3 Hutan Produksi Terbatas 18,8 4 Hutan Produksi 22,1 5 Hutan Konversi 11,0 Total 90,1 Sumber: Brockhaus et.al 2012: 32 Table 2: Tingkat Deforestasi di Indonesia 1997-2011 Tahun Tingkat Deforestasi per Tahun (Juta ha) Catatan 1997-2000 3.5 Sebelum REDD+ 2001-2003 1.08 Sebelum REDD+ 2003-2004 3.8 Sebelum REDD+ 2004-2006 1,7 Sebelum REDD+ 2007-2009 0,83 Setelah REDD+ 2009-2011 0,5 Setelah REDD+ Sumber: Siahaan 2007, Antara 2012, Kompas 2012 Walaupun REDD+ mendapat resistensi dari beberapa kalangan di atas, Indonesia bersikap positif terhadap REDD+. Sebab, REDD+ dianggap sebagai solusi untuk mengatasi tingkat deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia. Selain itu, dengan memiliki hutan yang luas (lihat tabel 1), Indonesia berpeluang memperoleh keuntungan ekonomis dalam skema REDD+ sekitar $5,6 miliar AS per tahun (Clements et.al 2010). Sejak Indonesia berniat mengimplementasi program REDD+, tingkat deforestasi dan degradasi hutan menurun. Misalnya, di tahun 2004-2006 tingkat deforestasi di Indonesia adalah 1,7 juta hetar. Namun, angka ini menurun dratis menjadi 0,5 pada tahun 2009-20011 (lihat tabel 2). Melihat tren positif penurunan tingkat deforestasi dan degradasi hutan, presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pada pertemuan G-20 (2009), berjanji kepada dunia internasional untuk menurunkan emiski GRK Indonesia 26 persen pada tahun 2020 dan 41 persen dengan bantuan pendanaan dan pengetahuan dari negara-negara kapitalis maju. Pada tahun 2010, SBY menandatangani pakta perjanjian dengan Norwegia guna menurunkan emisi. Selepas pakta perjanjian ini, SBY mengeluarkan Inpres No. 10 2011 untuk moratorium ijin pada hutan dan lahan gambut selama dua tahun (Antara 2012, Clements et al. 2010). SBY juga bergerak cepat membentuk UKPA yang berwenang menjalankan dan mengontrol pelaksanaan pakta perjanjian, serta mengembangkan sistem Monitoring Reporting and Verification (MRV) (Scheyvens & Setyarso 2010). Kebijakan SBY ini bertujuan ‘memuluskan’ pengimplementasian REDD+ di Indonesia. Karena itu, pada tahun 2012, di tingkat propinsi dan kabupaten di Indonesia, terdapat sekitar 27 proyek percontohan REDD+ (Brockhaus et al. 2012, Scheyvens & Setyarso 2010). Kalimantan Tengah: Hutan dan Persoalannya Propinsi Kalimantan Tengah (KT) merupakan salah satu propinsi dari 9 propinsi yang ditentukan oleh SBY untuk menjadi daerah implementasi proyek percontohan REDD+. Menerima penentuan ini, KT berkomitmen untuk menurunkan emisi, meningkatkan konservasi hutan dan mengembangkan tata kelola hutan yang berkelanjutan (Hidayah 2013). Berdasarkan surat keputusan menteri kehutanan No.759/KPTS/Um/10/1982, total luas wilaya hutan KT adalah 15.3 juta hektar. Namun, kawasan hutan ini sedang terancam oleh deforestasi dan degradasi hutan yang disebabkan oleh kebakaran hutan, legal logging, dan illegal logging (Keon 2013). Pada tahun 2011, KT, oleh Forest Indonesia Watch dikategorikan sebagai propinsi dengan tingkat deforestasi dan degradasi hutan paling tinggi (Baroroh 2013). Pada tahun 1997, kebakaran hutan terbesar terjadi di KT. Kebakaran hutan yang sama terjadi lagi pada tahun 2002, 2006, dan 2009 (Keon 2013). Tetapi, kebakaran dalam skala kecil akibat pengolaan pertanian secara secara tradisional terjadi hampir setiap hari sepanjang musim kemarau (Wibowo 2013). Karena kaya akan sumber daya mineral, KT menjadi tempat paling diburu oleh para pengusaha tambang. Akibatnya, kawasan hutan ‘dirusak’ demi aktivitas pertambangan. Di tahun 2012 terdapat 632 unit konsesi tambang yang meporak-porandakan 3,8 juta hektar kawasan hutan. Program transmigrasi juga berkontribusi terhadap kerusakan hutan di KT. Dengan 124 unit transmigrasi, KT telah mengalami kehilangan hutan seluas 82.820 hektar (Joke 2013). Selain itu, akibat kebijakan yang kontra-produktif, deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi di KT, kendati pun sudah ada moratorium dari impres No. 10/2011. Pada tahun 2011 saja pemerintah mengkonversikan 5,6 juta hektar dari sektor kehutanan dan perkebunan dan ,.6 juta hektar dari areal pertambangan (Keon 2013). Selain itu, perhelatan politik lokal juga berimplikasi negatif bagi kelestarian hutan. Para kandidat pemilu kepala daerah dan legislatif melakukan illegal logginguntuk mendapat biaya politik. Masyarakat juga, dalam himpitan ekonomi, cenderung tidak bisa menolak para pemodal yang ingin membeli tanah dan hutan untuk perkebunan kelapa sawit (Hidayah 2013, Baroroh 2013). Kerusakan hutan di KT juga diperparah oleh pegawai dan polisi kehutanan. Idealnya, untuk menjaga hutan seluas 15,3 juta hektar, KT membutuhkan sekurang-kurangnya 3.000 polisi kehutanan. Tetapi, KT hanya memiliki 390 polisi kehutanan. Terlebih lagi, polisi dan militer di KT mudah disogok oleh para pengusaha kayu. REDD+ di Kalimantan Tengah: Berkat atau kutuk? Menurut teori kutukan sumber daya alam (resource curse theory), negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) justru mengalami kemiskinan. Kutukan SDA sering terjadi di negara-negara Asia Selatan, Sub-Sahara, Afrika Utara dan Timur Tengah sebagaimana digambarkan juga dalam tulisan Humphreys et.al (2007) yang berjudul Escaping The Resource Curse. Sementara itu, dutch disease memiliki arti yang sama dengan resource curse. Dalam literatur ekonomi, istilah dutch disease diangkat dari dari kenyataan yang dialami Belanda yang pada tahun 1960an, di mana negeri tersebut sejahtera karena kekayaan SDA yang dimilikinya. Namun pada tahun 1970an, kinerja ekonomi Belanda anjlok akibat inflasi, penurunan ekspor manufaktur, pertumbuhan ekonomi yang negatif, dan meningkatnya angka pengangguran (Yustika 2009: 201) Kutukan SDA juga terjadi di Indonesia, khususnya di KT. Dengan kekayaan SDA, masyarakat KT justru hidup dalam kemiskinan. Kehidupan suku Dayak di sepanjang kali Kapuas dan Kahayan sangat memprihatinkan. Mereka tidak memiliki akses air bersih, sarana kesehatan, pendidikan dan transportasi yang memadai. Alih-alih menjanjikan kesejahteraan, kehadiran REDD+ justru melahirkan masalah baru. KT yang kaya akan SDA, singkatnya, menjadi ‘kelinci percobaan’ REDD+. Menurut penelitian Anggraeni (2013) di desa Henda, program REDD+ yang diorganisir oleh UNDP dan didanai oleh pemerintah Norwegia telah menimbulkan konflik horisontal dalam masyarakat. Konflik horisontal itu disebabkan oleh pengelolaan dana REDD+ di tingkat desa yang tidak transparan dan cenderung diskriminatif. Tidak semua penduduk desa terlibat dalam program pemberdayaan itu, sehingga muncul kecemburuan di antara penduduk desa yang akhirnya merusak hubungan-hubungan sosial yang telah terajut. Sementra itu, Firnaherera (2013) menemukan kenyataan bahwa di desa Mantangai Hulu REDD+ tidak saja menimbulkan konflik horisontal, tetapi juga konflik vertikal dengan donor dan pemerintah. Proyek REDD+ di desa Mantangai Hulu diorganisir oleh KFCP yang didanai oleh pemerintah Australia. Masyarakat desa Mantangai Hulu, yang sudah menyerahkan 120.000 hektar hutannya kepada KFCP untuk proyek percontohan REDD+, bersikap resisten terhadap donor dan proyeknya. Pasalnya, proyek tersebut lebih menguntungkan fasilitator lokal, pemerintah dan donor. Distribusi dana REDD+ juga tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat (Hidayah 2013). Selain konflik horisontal dan vertikal, proyek percontohan REDD+ telah menyebabkan elite capture. Dutta (2009:3) mendefinisikan elite capture sebagai ‘fenomena dimana pendistribusian sumber daya untuk kepentingan publik dicuri segelintir orang, khususnya elit politik atau sekelompok elit politik tertentu yang merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun politik’. Elite capture dalam proyek REDD+ di desa Kalupang nampak dalam pogram pemberdayaan yang lebih menguntungkan kaum laki-laki daripada perempuan. Perempuan hanya dilibatkan dalam kegiatan perawatan bibit dengan upah yang murah, sementara laki-laki dilibatkan dalam kegiatan lain yang lebih menjanjikan secara ekonomis, misalnya program penanaman bibit dan pemadaman kebakaran (Scorviana 2013). Selain itu, elit capture itu dilakukan oleh para elit lokal yang menggelapkan uang pemberdayaan demi kepentingan pribadi dan keluarga. Utama (2013), yang melakukan penelitian di desa Bahaur, menemukan bahwa program REDD+ berpotensi menimbulkan kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Elit desa yang mendapat informasi pemberdayaan dari REDD+ cenderung tidak melakukan sosialisasi kepada publik, alih-alih kepada angkota keluarga dan kenalan dekat. Utama menulis: Di tahun 2012, ada dua program REDD+ di bawah UNDP, yakni program pemadaman kebakaran berbasis masyarakat dan Green Village. Tetapi, tidak semua anggota masyarakat yang mengetahui kedua program ini karena ketiadaan sosialisasi dari elit desa. Informasi tentang program pemberdayaan hanya beredar di atara elit, keluarga dan kenalan dekat. Karena itu, program REDD+ yang seharusnya untuk kepentingan semua masyarakat hanya menguntungkan orang-orang tertentu dalam masyarakat. Tak hanya pemerintah, juga elit kampung seperti para tuan tanah pun menangguk keuntungan besar dari program REDD+. Hidayah (2013) menemukan bahwa para tuan tanah yang memberikan tanahnya untuk program REDD+ mendapatkan keuntungan finansial yang besar, yang juga menimbulkan kecemburuan sosial sesama warga. Dengan melihat persoalan yang ditimbulkan oleh proyek percontohan REDD+ di KT, Hidayah (2013) menilai proyek percontohan ini telah menimbulkan ekses-ekses berupa permasalahan yang disebutkan di atas, yang kemudian berujung pada pemiskinan. Selain itu, dengan kehadiran REDD+ di masa mendatang, tidak menutup kemungkinan bahwa akses masyarakat lokal terhadap hutan makin dipersulit. Padahal, kehidupan masyarakat dayak sangat bergantung pada hasil hutan. Jika tidak diantisipasi dari sekarang, program REDD+ akan terus menebar kutuk bagi masyarakat di KT. Penutup REDD+ merupakan strategi penurunan emisi GRK yang sedang akan dalam tahap persiapan dan direncanakan terlaksana mulai tahun 2018. Namun, berdasarkan penelitian di KT (Anggraeni 2013, Firnaherera 2013, Hidayah 2013, Keon 2013, Scorviana 2013, Wibowo 2013, Baroroh 2013), REDD+ lebih banyak membawakan masalah baru dari pada solusi bagi masyarakat. Oleh karena itu, saya ingin merekomendasikan beberapa hal berikut. Pertama, pemerintah dan masyarakat harus bersikap kritis terhadap REDD+. Jangan terlalu cepat tergiur dengan janji-janji dari negara kapitalis maju. Sebab, di balik semua janji dan niat baik terkadang tersembunyi agenda ekonomi politik yang merugikan bangsa Indonesia. Janji indah REDD+ di Kalimantan Tengah terbukti tidak direalisasikan dengan mudah di lapangan. Bisa jadi REDD+ di Indonesia akan mengarah kepada green grabbing (perampasan lahan hijau) sebagaimana yang diingatkan oleh Borras et.al (2012). Green grabbing ini sudah berlangsung di Indonesia. Di Papua, misalnya, hampir 5 juta hektar tanah masyarakat dirampas pemerintah untuk kepentingan penjualan karbon dalam kerangka mitigasi perubahan iklim (Tolo 2012). Kedua, jika pemerintah dan donor tidak bersedia memperbaiki kinerja implementasi REDD+ di Indonesia, maka sebaiknya REDD+ diberhentikan. Jika tidak, maka REDD+ akan menimbulkan masalah baru dalam masyarakat. Dana yang digelontorkan ke masyarakat di pedesaan menimbulkan korupsi, elite capture dan konflik sosial. Kenyataan yang terjadi di Kalimantan Tengah membuktikan bahwa pelaksanaan proyek percontohan REDD+ telah menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan sosial. Ketiga, REDD+ sejatinya bisa ditolak dengan melihat aspek legalitasnya. Menurut Wicaksono (2013), keberdaan REDD+ di Indonesia ilegal berdasarkan pada UU No. 24/2000 tentang Perjanjian Internasional. Sebab, implementasi REDD+ sebagai strategi nasional hanya didasarkan pada Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dan Norwegia yang belum diratifikasi. Aspek legalitas ini bisa menjadi salah satu celah yang bisa digunakan oleh kelompok-kelompok masyarakat yang merasa dirugikan dan ingin menolak implementasi REDD+ di Indonesia. ● |
Post a Comment