Maraknya Poster

Maraknya Poster

Firman Noor  ;   Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar di Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  20 Februari 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                                       
Sistem pemilu proporsional terbuka yang diterapkan secara murni sejak tahun 2009 telah membuka lembaran baru bagi kehidupan politik bangsa, khususnya dalam soal menyeleksi para kandidat wakil rakyat. 

Jika pada masa-masa sebelumnya, baik dengan menggunakan sistem proporsional tertutup pada Pemilu 1999 ataupun ”setengah terbuka” sebagaimana Pemilu 2004, partai memainkan peran penting, saat ini tidak lagi demikian. Partai dapat diibaratkan kini hanya sebagai kapal induk yang berjaga di lepas pantai, sementara yang akan mendarat adalah para kandidat dengan sekoci masing-masing. Kenyataannya kini, masing-masing caleg maju atas dasar modal sendiri tanpa sokongan finansial yang berarti dari partai. Saat ini partai cenderung hanya digunakan sebagai papan nama, di mana para caleg akhirnya akan lebih mengatasnamakan dirinya sendiri. 

Tidak mengherankan jika dalam poster-poster politik para kandidat bahkan berupaya untuk menafikan keberadaan rekannya sesama kader partai. Dari sisi positifnya, kontestasi individual ini diharapkan akan dapat memotivasi caleg dan kader untuk semakin berlomba-lomba mendekatkan diri lagi ke rakyat, memahami dan memperjuangkan apa yang diinginkan oleh khalayak. Karena mereka sadar bahwa penentu kemenangan mereka bukan lagi nomor urut yang dimiliki, tapi oleh banyaknya suara rakyat berikan rakyat kepada mereka. 

Masih sebatas Poster 

Meski ditujukan agar kandidat lebih mendekatkan diri kepada masyarakat, dalam praktiknya belumlah demikian. Sistem proporsional terbuka itu cenderung direduksi menjadi sebatas ”perang poster” dan sejenisnya. Paling banter masyarakat disuguhi oleh kegiatan- kegiatan sosial sporadis atau dialog ala kadarnya. Akibatnya alih-alih melihat aktivitas politik yang marak, masyarakat lebih disuguhi oleh keberadaan poster yang semakin marak. 

Padahal seharusnya dengan kebutuhan untuk dikenal oleh masyarakat dan jumlah kandidat yang demikian banyak, sebuah daerah pemilihan (dapil) akan cukup kebanjiran oleh maraknya aktivitas caleg atau timses selama periode kampanye. Bayangkan, misalnya, pada sebuah kabupaten masingmasing partai (berjumlah 12) mencalonkan katakanlah 8 caleg untuk DPR RI, 8 caleg untuk DPRD provinsi, 48 caleg untuk DPRD kabupaten/kota, maka akan ada setidaknya 768 orang kandidat anggota legislatif. 

Jika para kandidat tersebut dibantu oleh timses yang berjumlah katakanlah 5 orang maka akan ada sekitar 3.840 orang perangkat kampanye yang eksis dalam sebuah kabupaten. Jumlah ini jelas dapat bertambah jika perangkat partai—termasuk kader pada level pengurus kabupaten hingga anak ranting turut—membantu menyemarakkan kampanye dari partai. Lepas dari itu, jika dalam sebuah dapil terdapat misalkan 300 kelurahan, yang terdiri dari 30.000 RT, setidaknya pada tiap delapan RT yang setara dengan 160 KK akan ada kurang lebihsatuorangperangkat kampanye atau timses yang beraktivitas. 

Jika efektif menjalankan fungsinya, dalam jangka waktu sekitar delapan bulan sejak DCT diumumkan maka dapat dibayangkan bahwa hampir setiap rumah telah diketuk oleh satu orang timses untuk setidaknya diajak berdiskusi mengenai program-program dan agenda politik. Jika seluruh anggota timses benar-benar efektif menjalankan roda kampanye, bisa jadi akan muncul fenomena tiada hari tanpa aktivitas kampanye yang mendalam (person to person). 

Namun yang terjadi di lapangan tidaklah demikian. Pengalaman beberapa kenalan, handai tolan dan juga pribadi menunjukkan bahwa sejak 2009 hingga sekarang tidak ada satu pun perangkat timses yang sempat hadir menemui mereka. Tidak dimungkiri beberapa rekan memang merasakan aktivitas itu, namun jumlahnya masih minim. Kehadiran mereka seolah cukup diwakilkan oleh maraknya poster-poster atau spanduk politik yang bertebaran di sudut-sudut jalan. 

Fenomena maraknya poster ini juga menunjukkan bahwa kebanyakan kandidat masih memandang rendah kecerdasan politik masyarakat. Tidak itu saja, mereka juga tampak masih belum paham akan bagaimana mengejawantahkan makna kampanye yang sesungguhnya, yang tentu saja lebih dari sekadar poster atau kegiatan dadakan miskin makna dengan sejumlah janji kosong yang marak secara sporadis itu. 

Maraknya poster, yang jauh meninggalkan maraknya aktivitas real caleg, menunjukkan sisi kelam atau bahkan kegagalan pencapaian makna dari sistem proporsional terbuka itu, yang berintikan mendekatkan diri kepada masyarakat. Situasi ini jelas secara substansi tidak berbeda jauh dengan apa yang terjadi pada masa-masa sebelumnya, saat proporsional tertutup digunakan dalam pemilu kita. 

Keterasingan antara wakil dan yang diwakili tetap ada, begitu pula dengan ketidakpahaman masyarakat atas program yang akan diperjuangkan oleh wakil rakyat tetap tidak berubah. Malah, ada yang mengatakan bahwa dalam situasi yang hampir mirip itu, sistem proporsional tertutup jauh lebih baik, karena ”rasionalitas partai” dalam menilai kualitas seorang caleg kerap lebih baik dan komprehensif dibanding ”rasionalitas massa” yang kerap masih mudah didekati dengan kepopuleran semata. 

Mengapa 

Situasi di atas menunjukkan bahwa perangkat kampanye para caleg belum siap dalam menghadapi model sistem proporsional terbuka. Ketidaksiapan ini juga memperlihatkan ketidakmodernan pengelolaan partai-partai pada umumnya dan pengelolaan kampanye pada khususnya. Situasi ini juga mencerminkan ketidaksiapan kebanyakan para caleg, terutama untuk berdialog dengan cerdas. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh ketidaksiapan mereka dalam menyusun program-program atas dasar argumentasi yang kokoh dan logis. 

Kondisi tersebut merupakan cerminan dari kualitas caleg yang memang masih biasa-biasa saja, yang pada akhirnya terkait dengan kualitas rekrutmen partai yang masih terkesan instan dan asal ada. Di sisi lain, budaya politik pragmatis yang mengedepankan ”aksi nyata” dalam mendekati masyarakat menyebabkan kebanyakan caleg menahan diri hingga momen yang dirasa tepat untuk kemudian membanjiri masyarakat dengan ”tanda mata” di masa-masa menjelang pencoblosan. 

Tujuannya agar mereka tidak mudah dilupakan oleh masyarakat pada saat mencoblos. Ke depan, pembenahan yang meliputi pemodernan partai politik, peningkatan kapabilitas caleg dan pematangan budaya politik itu jelas diperlukan. Jika tidak, kampanye akan terus sekadar menjadi sekadar ajang kontestasi politik, tanpa jawaban yang bernas atas kebutuhan rakyat yang sesungguhnya.
Indeks Prestasi

Post a Comment