Mahkamah SiputFeri Amsari ; Pelajar William and Mary Law School, Virginia |
TEMPO.CO, 17 Februari 2014
Mengejutkan, Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1/2013 (baca: Perpu penyelamatan MK) hanya dalam waktu 37 hari. Kecepatan memutus itu sesuai dengan asas peradilan: cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Sebab, adagium hukum menyatakan, keputusan yang lamban adalah ketidakadilan, justice delayed is justice denied. Putusan itu mengejutkan karena kecepatan yang sama tidak diterapkan dalam beberapa perkara penting lainnya. Misalnya, dalam perkara kontroversial pengujian UU Pemilu Presiden, MK malah memutus dalam tempo yang sangat lama. Perkara yang diputus lamban sesungguhnya "melimpah" di MK. Jika disimak sejumlah perkara, MK acap kali lamban dalam memutus perkara pengujian undang-undang (PUU). Keterlambatan putusan itu terasa janggal jika dibandingkan dengan beberapa putusan lain. Misalnya dalam perkara yang dimohonkan Hambit Bintih (tersangka suap MK) yang menguji UU Kehutanan, MK hanya butuh waktu kurang dari enam bulan untuk memutus perkara (10 Agustus 2011-21 Februari 2012). Kecepatan yang sama juga terjadi dalam PUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang diuji oleh anggota DPD. Perkara tersebut diputus MK hanya dalam waktu enam bulan (24 September 2012-27 Maret 2013). Perbedaan kecepatan membaca putusan perkara-perkara itu berindikasi tiga kemungkinan. Pertama, adanya protes publik yang memaksa MK mempercepat pembacaan putusan. Itu sebabnya, ketika Effendi Ghazali (pemohon PUU Pemilu Presiden) memprotes lambannya pembacaan putusan perkaranya, MK terkejut dan secepat kilat membacakan putusan. Kecepatan membacakan putusan kerap dilakukan MK untuk memenuhi aspirasi masyarakat. Dalam perkara PUU KPK (kasus pemberhentian sementara Bibit-Chandra), MK diduga mempercepat perkara karena ditonton ribuan pasang mata. Tentu saja, dalam perkara Bibit-Chandra tersebut, terdapat pula faktor agar keadilan cepat terpenuhi. Faktor itulah yang diduga memaksa MK memutus cepat perkara Bibit-Chandra dalam waktu kurang dari satu bulan (26 Oktober-25 November 2009). Contoh-contoh tersebut menunjukkan bahwa cepatnya putusan perkara ditentukan oleh siapa yang mengajukan permohonan dan mendapat perhatian publik atau tidak. Kedua, adanya pelayanan "khusus" terhadap pemohon tertentu. Dugaan pelayanan khusus itu setidaknya terbukti ketika kasus suap Ketua MK terbongkar. Sebagaimana diungkap dalam contoh perkara di atas, Hambit Bintih hanya membutuhkan waktu kurang dari enam bulan agar perkaranya diputus. Jika dibandingkan dengan pemohon AMAN yang menguji UU yang sama, aliansi masyarakat adat itu harus menunggu lebih dari setahun. Pelayanan khusus itu juga terjadi dalam perkara yang berkaitan dengan kelembagaan MK. Selain pengujian UU "Penyelamatan MK" yang diputus sangat cepat, MK memutus pengujian UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang MK dalam waktu 43 hari (5 Agustus-18 Oktober 2011, Perkara Nomor: 49/PUU-IX/2011). Kecurigaan publik bertambah, ketika memutus cepat perkara tersebut, hakim MK juga terbukti membuat amar yang menguntungkan diri mereka sendiri. Di titik itu, wajar jika publik mulai "gerah" atas hakim MK. Ada kemungkinan ketiga penyebab putusan terlambat cukup legalistik formil. Keterlambatan diduga karena UU tidak memberi pembatasan waktu yang tegas dalam proses persidangan PUU. Padahal, dalam perkara perselisihan hasil pemilu (PHPU), pembatasan persidangan ditegaskan dalam UU, yaitu selama 30 hari (14 hari untuk pemilu presiden). Sulit membantu agar siput berlari kencang disebabkan faktor alamiah yaitu: siput memang diciptakan lamban. MK tentu saja memiliki kondisi berbeda karena peradilan memang dirancang untuk "berlari" (baca: proses perkara) dengan cepat. Kecepatan MK memutus perkara PUU dapat dibantu dengan pembenahan administrasi peradilan. Sebagai nyawa profesionalitas peradilan, administrasi MK tak akan lamban jika tidak terdapat oknum hakim yang mempengaruhi jadwal persidangan. Hakim-hakim politik dan rentan disuap acap kali memainkan ranah administrasi untuk transaksi putusan. Bisa jadi sebuah perkara sudah diputus dan diketahui pemenangnya, lalu hakim-hakim memperlambat pembacaan putusan itu agar "bunyi putusan" dapat "dijualbelikan" kepada pihak-pihak tertentu. Untuk mencegah terjadinya permainan putusan yang lamban itu, pembatasan waktu persidangan memang perlu dilakukan. Pembatasan itu dapat dilakukan dengan menentukan bahwa pembacaan putusan harus dilakukan dalam waktu tiga bulan setelah permohonan diajukan. Sehingga tidak ada lagi pemohon di MK yang menunggu keadilan seperti menunggu siput berlari. Tentu saja semua upaya itu sangat bergantung pada sembilan orang hakim MK. Jika sembilan hakim bertindak bak siput, keadilan tak akan sampai tepat pada waktunya. MK harus mampu membantah tidak ada faktor khusus yang mempercepat putusan perkara selain faktor keadilan. Jangan lagi MK berlari kencang disebabkan perkara berkaitan dengan dirinya saja. Apakah "siput" sudah dapat berlari kencang jika hendak menyelamatkan diri sendiri? ● |
Post a Comment