Pentingnya Masalah KependudukanJoko Riyanto ; Koordinator Riset Pusat Kajian dan Penelitian Kebangsaan |
KORAN JAKARTA, 21 Februari 2014
Hasil proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035, yang diluncurkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 29 Januari 2014, menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia akan bertambah sekitar 15,9 juta jiwa, dari 252,2 juta jiwa pada 2014 menjadi 268,1 juta jiwa pada 2019 dengan pertumbuhan penduduk 1,23 persen per tahun. Laju pertumbuhan penduduk negeri ini telah sampai pada titik amat mengkhawatirkan. Jika laju pertambahan penduduk yang rata-rata 3,5 juta–4 juta per tahun tidak segera ditekan, diprediksi pada 2045 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 450 juta jiwa. Dengan asumsi populasi Bumi 9 miliar jiwa pada saat itu, berarti 1 dari 20 penduduk dunia adalah orang Indonesia. Upaya menekan laju pertumbuhan penduduk dari 1,49 persen, saat ini, menuju angka ideal, 0,5 persen, masih jauh panggang dari api. Lebih-lebih lagi, hasil survei Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan umumnya pasangan usia subur menginginkan anak lebih dari tiga. Jumlah penduduk 450 juta jiwa merupakan titik kritis menuju ke eksplosif atau ledakan penduduk. Tidak bisa dibayangkan apabila negeri tercinta akan mengalami peristiwa dahsyat, baby boom (ledakan penduduk) jilid ke-2. Indonesia bukan tidak mungkin akan menjadi negara dengan jumlah penduduk terbesar peringkat ke-3 di dunia, namun bila bicara kualitas, tentu sepakat kita akan geleng kepala. Kalau ledakan penduduk kedua terjadi, yang menanti di depan sudah jelas, kemunduran total bagi pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kondisi sekarang, pertumbuhan penduduk yang besar sungguh tidak menguntungkan. Secara nyata, jumlah penduduk miskin makin bertambah. Pertambahan itu bisa terjadi karena lapangan kerja sudah tidak ada akibat belum pulihnya kehidupan ekonomi. Banyak orang tidak mendapatkan penghasilan lagi. Keluarga miskin itu akan melahirkan anak miskin pula. Menurut Thomas Robert Malthus (1798), laju pertumbuhan penduduk jauh lebih tinggi daripada pertumbuhan ketersediaan pangan. Apabila penduduk tumbuh menurut rumus deret ukur, yaitu 1, 2, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya, laju pertumbuhan ketersediaan pangan hanya berkembang menurut rumus deret hitung, yaitu 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan seterusnya. Karenanya, pertumbuhan penduduk yang tidak terbatas dan tidak terkendali akan berujung pada kesengsaraan, kemiskinan, dan kelaparan. Menurut beberapa pengamat, walaupun belum ada data yang definitif, laju pertumbuhan penduduk sejak era reformasi berkembang menjadi tidak terkendali, ditandai dengan mandeknya program keluarga berencana (KB) yang dicanangkan pada zaman Orde Baru. Menarik sekali hasil studi Pusat Kajian Ekonomi dan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada 2000 mengenai pelaksanaan program KB di Jakarta. Kajian itu membuktikan bahwa jika pemda melaksanakan program KB akan banyak biaya yang dihemat dibandingkan tanpa program KB. Karena itu, diperlukan adanya komitmen yang kuat dari pemda untuk ikut membantu mengendalikan pertumbuhan penduduk ini. China, yang perekonomiannya tumbuh sangat pesat, tetap khawatir dengan pertumbuhan penduduknya dan menjanjikan hadiah kepada keluarga yang hanya memiliki satu anak. Kita pun mestinya khawatir dengan pertumbuhan penduduk yang pesat. Cara mengatasinya, menggalakkan kembali program KB. Dengan program KB, egoisme ekonomi dan egoisme manusia yang lebih beradab dapat diwujudkan dan dikendalikan secara nyata. Egoisme manusia, yang merasa mampu dan kaya sehingga “besaran keluarga” relatif dikesampingkan, merupakan bentuk-bentuk egoisme baru di zaman modern. Konsep seperti ini harus dihilangkan karena distribusi dari potensi bumi lebih layak dinikmati secara relatif merata. Mari kita bagi rata sinar Matahari. Gaya hidup “merampas” hak orang lain dengan pola keluarga besar hendaknya mulai dihindari. Kearifan hidup di Bumi melalui pola kebersamaan adalah pola hidup manusia yang beradab dan mempertahankan eksistensi lingkungan serta bumi (Soeroso Dasar, 2009). Tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi di negara-negara miskin juga telah menciptakan–meminjam istilah Geertz (1960)–the agricultural involution, yakni penyempitan lahan pertanian karena jumlah penduduk yang terus bertambah sehingga mereka harus berbagai lahan. Proses demikian itu melahirkan the shared poverty, kemiskinan yang terbagi di antara keluarga-keluarga miskin tersebut. Jumlah penduduk terus melonjak secara tak terkendali, sementara lahan-lahan produktif terus menyusut, bukan saja karena pertambahan populasi, tapi juga kerusakan lingkungan. Ledakan jumlah penduduk akan berdampak luas terhadap penyediaan anggaran dan fasilitas kesehatan, pendidikan, serta ketersediaan pangan. Ledakan jumlah penduduk ini pun akan berdampak terhadap pemenuhan gizi bayi serta meningkatnya angka pengangguran. Dalam 20 tahun ke depan, 1,1 miliar orang lagi akan tinggal di kota-kota Asia dibandingkan saat ini. Banyak kota Asia yang tumbuh secara alami, meski tanpa migrasi. Namun, bersamaan dengan pertumbuhan alami dan migrasi itu, urbanisasi meledak. Kota-kota di Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam akan hampir berlipat dua besarnya dalam waktu 20 tahun mendatang (Michael Backman, Asia Future Shock, 2008). Masalah kependudukan sudah tidak bisa lagi dianggap remeh. Persoalan kependudukan memang bukan persoalan mudah. Bila salah dalam mengantisipasi, akan menimbulkan akibat simultan, baik aspek politik maupun sosial-ekonomi. Untuk itu, pemerintahan SBY dituntut untuk melakukan pembangunan dengan wawasan aspek kependudukan sebagai sub dari inti konsep pembangunan berkelanjutan. Dengan hasil proyeksi penduduk Indonesia 2010-2035 ini, tentunya dapat diambil tindakan, solusi, dan program terkait dengan masalah laju pertumbuhan penduduk. Pemerintahan SBY juga tidak perlu ragu dan malu untuk belajar dan mengulang kisah sukses pemerintahan Orde Baru dalam program KB. Bila perlu, lakukan saja dengan cara yang sama dengan program yang sesuai dengan situasi yang ada saat ini. Sosialisasi program KB perlu ditingkatkan kembali sehingga masyarakat memahami pentingnya program ini. Program KB tak akan bisa berjalan jika tidak ada dukungan dari pemerintah daerah. Karena itu, selain membentuk tim pelaksana program KB di masing-masing kabupaten/kota, pemerintah daerah diharapkan bisa memberi dukungan dana bagi pelaksanaan program KB. Pemerintah harus tanggap terhadap masalah ini. Masalah kependudukan jangan diremehkan! Pertumbuhan penduduk tetap penting, tapi dibatasi. Kita perlu sadar bahwa daya dukung sumber daya alam kian terbatas sehingga jika jumlah penduduk tak terkendali akan menjadi problem besar di masa depan. Penanganan masalah kependudukan yang benar dan tepat akan berdampak pada terwujudnya cita-cita nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Pemimpin Indonesia 2014-2019 mendatang diharapkan juga memiliki konsep dan program pembangunan berwawasan kependudukan. ● |
Post a Comment