Format Baru Industri KampanyeEffnu Subiyanto ; Pendiri Forkep, Kandidat Doktor Ekonomi Unair |
JAWA POS, 26 Maret 2014
KAMPANYE politik 2014 berlangsung sejak 16 Maret sampai 5 April, seluruh rakyat Indonesia diklaim sebagian pihak sedang memasuki sesi pesta demokrasi yang sangat krusial. Penting karena menyangkut bagaimana rakyat akan menyeleksi wakilnya, melihat programnya, gesturnya saat memperjuangkan aspirasi, dan pada akhirnya penting karena menentukan siapa presiden untuk periode 2014-2019. Namun, sebenarnya bukan masa kampanye 20 hari itu yang menentukan. Rakyat sebenarnya sudah memiliki prevalensi sendiri yang lama dibangun, bahkan sebelum masa kampanye dibuka oleh KPU. Di tengah arus globalisasi ketika industri media sudah sangat maju, kampanye tradisional pengerahan massa sebetulnya sudah sangat tidak relevan lagi sebagai pilihan. Jauh-jauh hari penelitian Wilhelmsen dan Bret (1973) malah sudah mengonfirmasikan bahwa media memegang peran mencari simpati, bukan lagi model kampanye hura-hura. Industri Pada pemilu AS 2012, besarnya nilai belanja kampanye sudah seperti biaya operasional industri besar. Nilainya USD 6 miliar menurut BBC dan Partai Demokrat yang mengantarkan Obama di Gedung Putih dua kali itu membelanjakannya sampai 54,3 persen hanya untuk berkampanye di media elektronik, media cetak, dan media sosial lain. Kampanye tradisional seperti pengerahan massa di lapangan dengan jurkam-jurkam yang berorasi tidak jelas itu hanya menghabiskan anggaran 4,2 persen. Di Indonesia, dari laporan resmi 12 partai politik kepada KPU soal dana kampanye, nilainya Rp 1,938 triliun. Dana paling besar berasal dari Partai Gerindra, sementara yang terkecil adalah dana PKPI. Secara berturut-turut, Partai Gerindra Rp 306,58 miliar, PD Rp 268 miliar, PAN Rp 256 miliar, Hanura Rp 241 miliar, PDIP Rp 220 miliar, dan Golkar Rp 174 miliar. Berikutnya Partai Nasdem Rp 138 miliar, PPP Rp 96,771 miliar, PKS Rp 82 miliar, PKB Rp 69 miliar, PBB Rp 47 miliar, dan PKPI Rp 36,38 miliar. Itu yang resmi dilaporkan, padahal faktanya masih banyak lagi yang harus dikeluarkan dan tidak bisa dikuantifikasi. Nilai itu hampir setara, bahkan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan dana kampanye di AS pada 2012 bila dilihat dari PDB AS USD 15,68 triliun, sementara nilai PDB Indonesia USD 878,04 miliar. Untuk diketahui, ongkos kemahalan hidup di AS nyaris tiga kali lipat biaya hidup di Indonesia. Namun sayang, alokasi biaya besar itu tidak efektif dan sejalan dengan tujuan kampanye. Caleg malah aman sama sekali tidak berjanji dalam bentuk program-program politik karena tertelan ingar-bingar musik dangdut yang tidak tentu arah. Massa berjoget mengikuti irama dangdut, tidak mengerti benar kenapa datang ke lapangan dan untuk apa. Malah massa yang sama juga datang di beberapa tempat lain karena undangan partai lain dan tetap tidak mengerti untuk apa acara itu didatangi. Sekelompok massa tersebut hanya mengetahui bahwa ada amplop dari koordinatornya yang berisi beberapa lembar puluhan ribu rupiah. Butuh Format Baru Kalau melihat fenomena itu, arah demokrasi Indonesia sebetulnya sangat tragis. Negeri ini disebut negara penyelenggara pemilu langsung terbesar di dunia, namun faktanya sudah terdistorsi jauh dari format dasarnya. Itu yang tidak pernah diberitahukan dengan sebenar-benarnya. KPU seharusnya membuat desain baru format kampanye yang lebih sejuk jika dibandingkan dengan kampanye uji nyali konvoi di jalanan atau pengerahan massa yang rentan aksi anarkistis itu. Kampanye-kampanye itu harus diubah dalam bentuk media, tulisan, diskusi dialogis indoor, dan diakhiri dengan kontrak sosial mengikat. Rakyat perlu diedukasi bahwa kerja legislator di gedung dewan adalah menyerap aspirasi yang elegan, berargumentasi dalam ruang-ruang sidang yang melelahkan, dan akhirnya mampu mengelaborasi ke dalam kalimat konstitusi sehingga mengikat seluruh kepentingan secara jangka panjang. Edukasi itu sama sekali tidak pernah disosialisasikan. Akhirnya yang terjadi, rakyat tidak paham dan tidak pernah tahu bahwa kampanye tradisional selama ini salah arah. Tidak ada korelasinya sama sekali antara kepiawaian berjoget dangdut dan bernyanyi di panggung atau orasi parau yang tidak jelas karena pengeras suara yang buruk dengan bidang kerja para legislator sehari-hari. Tidak akan pernah terhubung sama sekali, caleg yang bernyanyi merdu dan cantik maka akan banyak membela rakyat sepenuhnya dalam lima tahun ke depan. Sudah tiga periode pemilu langsung yang dilakukan negara ini, namun penyempurnaan proses pemilu tidak secara substansial dirasakan. Menurut disertasi Idrus Marham (2009), hanya 40 persen dari seluruh legislator yang diklaim terpilih secara demokratis sejak Pemilu 1999, 2004, dan 2009 memenuhi kualitasnya serta porsi yang lebih besar 60 persen adalah sampah. Suka atau tidak suka harus diakui ada yang salah dengan proses demokrasi itu dan salah satunya adalah periode kampanye sekarang ini. Harus diredefinisi bahwa momentum pemilu bukan "pesta" rakyat yang berarti rakyat menuntaskan dendam mengeruk uang kampanye dari para calon legislatornya. Ini adalah bentuk penghinaan karena bayaran rakyat di lapangan yang panas terik itu Rp 20 ribu dan sehelai kaus partai berkualitas saringan kedelai yang langsung robek sekali pakai. Pemilu ini bukan momentum seperti ospek mahasiswa baru yang banyak terjadi, mahasiswa baru dieksploitasi mahasiswa lama karena dulu juga menjadi bulan-bulanan seniornya. Mata rantai "dendam" itu harus diputus agar caleg yang terpilih sebentar lagi tidak membawa beban harus melunasi utang-utang kampanyenya. Namun sebagai konsekuensinya, jika caleg terpilih terlibat isu korupsi saja, tidak perlu menunggu pembuktian apa pun harus mundur atau dimundurkan induk partainya. ● |
Post a Comment