Negara dan Hukuman Mati SatinahMoh Jumhur Hidayat ; Aktivis Serikat Buruh; Mantan Kepala BNP2TKI |
KOMPAS, 26 Maret 2014
ANCAMAN hukuman mati bagi TKI kembali menjadi isu hangat menyusul adanya rencana eksekusi hukuman mati terhadap Satinah binti Jumadi, warga Kabupaten Semarang, pada 3 April 2014. Hukuman mati ini bisa terhindar apabila Satinah mampu membayarkan diyat atau uang darah pengganti hukuman mati akibat membunuh. Sesungguhnya pemerintah telah melakukan pendekatan khusus atas kasus hukuman mati terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri di antaranya dengan membentuk Satgas Hukuman Mati bagi TKI/WNI (biasa disingkat Satgas TKI). Kala itu Satgas TKI dipimpin mantan Menteri Agama Maftuh Basyuni yang berjalan selama satu setengah tahun dan berakhir pada Agustus 2013. Sejauh ini satgas telah bekerja dengan baik, terutama menginventarisasi para terdakwa berikut status hukumnya dan melakukan berbagai diplomasi sehingga beberapa dari mereka dapat dibebaskan dari hukuman mati. Di antara yang dilakukan satgas adalah meminta Presiden RI untuk melakukan pendekatan langsung dengan bersurat kepada Raja Arab Saudi. Intinya meminta kebijakan Raja untuk menghindarkan hukuman mati kepada TKI yang dalam kasus terakhir ini adalah Satinah. Surat Presiden kepada Raja Arab Saudi memang berhasil menunda hukuman mati tersebut, tetapi bukan membatalkannya. Hal ini terjadi karena dalam sistem hukum di Arab Saudi, hukum qishas berlaku sangat kaku dan yang bisa membebaskan dari hukuman itu hanya kata ”dimaafkan” dari ahli waris, bukan raja. Pemaafan itu pun selalu terkait dengan uang darah yang telah disepakati sebelumnya. Uang darah yang diminta pertama kali oleh keluarga korban pembunuhan oleh Satinah sebesar 10 juta riyal atau senilai Rp 30 miliar. Atas usaha Satgas TKI, dana itu bisa diturunkan menjadi 7 juta riyal atau Rp 21 miliar. Adapun yang telah disiapkan hingga kini baru 4 juta riyal, yaitu dari APBN sejumlah 3 juta riyal dan 1 juta riyal dari berbagai sumbangan. Dengan kata lain, masih kurang 3 juta riyal atau sekitar Rp 9 miliar. Kalkulasi ekonomi Jumlah Rp 30 miliar adalah besar jika harus ditanggung oleh orang yang berpendapatan rata-rata, apalagi keluarga Satinah. Namun, jika dilihat dari pandangan makroekonomi yang telah dihasilkan oleh keberadaan para TKI yang mengais devisa di luar negeri, jumlah Rp 30 miliar itu tidak ada artinya. Jumlah TKI di lebih dari 178 negara sekitar 6 juta orang. Sekitar 4,3 juta TKI berdokumen resmi, sisanya tidak berdokumen resmi. Upah TKI memang sangat beragam. Saat ini, upah terendah setara Rp 3 juta per bulan. Namun, tidak sedikit TKI yang mendapat upah puluhan juta bahkan ratusan juta rupiah per bulan. Apabila rata-rata gaji TKI Rp 4 juta per bulan, terdapat Rp 24 triliun per bulan atau sekitar Rp 244 triliun per tahun. Sekarang anggaplah 50 persen dari dana itu dikirim ke Tanah Air, akan terjadi remitansi uang tunai sekitar Rp 144 triliun. Belum lagi jika dilihat dari jumlah penganggur, upaya pengentasan rakyat miskin, dan efek berganda ekonomi kiriman uang tersebut. Jumlah penganggur yang terserap 6 juta orang dan bisa memberi nafkah atau mengurangi kemiskinan bagi 30 juta orang jika rata-rata TKI memberi nafkah kepada lima orang keluarganya di Tanah Air. Sementara itu, uang kiriman ke Tanah Air lebih dari Rp 100 triliun per bulan telah menggairahkan perekonomian nasional, khususnya di pedesaan, yang tentunya juga membuka lapangan kerja baru. Apabila kita membandingkan dana diyat sebanyak Rp 30 miliar dibandingkan dengan Rp 144 triliun, itu hanya sekitar 0,02 persen. Jika dana remitansi itu dihitung 5 tahun berturut-turut dengan rata-rata Rp 100 triliun per tahun selama 5 tahun terakhir, persentase itu hanya sekitar 0,006 persen. Katakanlah ada 10 Satinah dengan tuntutan sejenis karena memang sudah sulit dibela dan begitu fatal, jumlah itu hanya Rp 300 miliar atau 0,06 persen dari remitansi 5 tahun terakhir. Justifikasi sistem Tidak sedikit kaum cerdik pandai yang mengkritik jika negara harus membayarkan uang darah kepada setiap TKI yang diancam hukuman mati karena dianggap bisa membenarkan tindakan kriminal yang dilakukan para TKI. Terkait pandangan ini, penulis berargumentasi bahwa bagi kasus-kasus TKI seperti Satinah sangat mungkin mereka mendapat pengguna jasa yang intimidatif. Alhasil, bisa saja TKI tersebut dalam keadaan tertekan atau tidak sanggup menanggung tekanan. Belum lagi jika kita melihat amanat UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri yang mewajibkan TKI diperiksa secara psikologis (psikotes) dan hingga sekarang masih belum dilakukan karena belum diatur lebih lanjut peraturan pelaksanaannya. Akibatnya, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tidak bisa melaksanakannya. Padahal, jika pemeriksaan psikologi ini dilakukan, niscaya bisa menyaring ratusan ribu TKI per tahun yang beberapa di antaranya berpotensi sebagai pembunuh akibat tidak mampu mengendalikan emosi. Selain justifikasi sistem penyelenggaraan TKI yang masih jauh dari sempurna, membebaskan TKI dari hukuman mati juga sangat terkait upaya menjaga martabat bangsa. Sebab, seolah-olah negara melakukan pembiaran terhadap rakyatnya yang mencari nafkah di luar negeri yang menghadapi ancaman hukuman mati. Padahal, mereka pergi ke luar negeri karena tekanan ekonomi yang tinggi lantaran tak ada lapangan pekerjaan di Tanah Air. Di samping itu, jika kita menyaksikan bagaimana TKI berangkat ke luar negeri, tak satu rupiah pun negara memberi subsidi dalam keberangkatan mereka tersebut. Melihat keadaan seperti ini, menurut hemat penulis, jika ada TKI terancam hukuman mati, lakukanlah pembelaan hukum dan diplomasi setinggi-tingginya untuk membebaskan yang bersangkutan. Jika akhirnya baru bisa bebas dari hukuman mati dengan membayar uang darah setelah negosiasi paling maksimum, lakukan pembayaran uang darah itu. Penulis yakin, pembayaran itu sama sekali tidak akan mengguncang perekonomian nasional. ● |
Post a Comment