Mengubah Kecemasan Implementasi Kurikulum 2013 Sismono La Ode ; Pemerhati Pendidikan |
KORAN SINDO, 13 Maret 2014
Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2014 telah usai, Jumat (7/3). Ada dua hal pokok yang menjadi perhatian RNPK dalam pembangunan pendidikan dan kebudayaan, yakni akses dan kualitas. Dalam jumpa persnya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menjelaskan bahwa akses terkait dengan ketersediaan dan keterjangkauan pendidikan, sedangkan kualitas terkait guru, kurikulum, dan sarana. Dari dua isu tersebut, isu implementasi Kurikulum 2013 tetap menjadi perhatian publik. Bagaimana tidak, sejak awal kemunculannya, ide ini sudah kontroversial. Bukan pada substansi kurikulumnya, melainkan pada persoalan implementasinya. Disadari atau tidak, implementasi Kurikulum 2013 merupakan kerja besar. Betapa tidak, pada tahun ajaran baru, pertengahan Juli 2014 implementasi Kurikulum 2013 melibatkan seluruh sekolah di Tanah Air dengan jumlah sasaran 206.799 sekolah, terdiri atas SD/SDLB 148.171 sekolah; SMP/SMPLB 35.597; SMA/SMLB12.403; dan SMK 10.628 sekolah. Dari sekolah sasaran tersebut akan melibatkan 31.244.844 siswa. Jumlah siswa itu terdiri dari siswa SD/SDLB (kelas 1,2,4,5) sebanyak 17.640.917; Siswa SMP/ SMPLB (kelas 7 dan 8) sejumlah 7.107.950; siswa SMA/SMLB (kelas 10 dan 11) berjumlah 3.468.510; dan siswa SMK (kelas 10 dan 11) sebanyak 3.027. 467. Selain dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, implementasi Kurikulum 2013 juga melibatkan guru dalam jumlah yang begitu besar. Ada 1.425.001 guru (SD 783.935; SMP 415.980; SMA 139.398; dan SMK 85.688) yang akan berpartisipasi dalam melaksanakan Kurikulum 2013. Karena melibatkan secara masif guru dan siswa serta kepala sekolah dan pengawas, konsekuensi berikutnya adalah pengadaan buku secara besar-besaran baik untuk guru, siswa, ataupun pengadaan buku-buku doku-men kurikulum buat kepala sekolah dan pengawas. Untuk kerja besar ini, pemerintah mengalokasikan anggaran yang cukup besar pula sebesar Rp7,56 triliun, dengan rincian sumber dana: dari APBN Rp3,53 triliun; BOS Rp1,79 triliun; dan DAK Rp.2,24 triliun. Tidak mengherankan kerja besar ini melahirkan keraguan banyak kalangan terhadap suksesnya implementasi Kurikulum 2013. Di sisi lain, beberapa guru, instruktur, kepala sekolah, siswa, orang tua juga cemas. Sebagai subjek yang terlibat dan turut dilibatkan dalam proses implementasi, sebagian dari mereka merasa masih bingung mengenai apa yang harus dilakukan dalam proses pembelajaran, meskipun di sisi lain mereka telah mengikuti sosialisasi Kurikulum 2013 yang gencar dilakukan Kemendikbud. Saat penulis melakukan kunjungan di beberapa sekolah dasar terbaik di Yogyakarta yang menjadi percontohan implementasi Kurikulum 2013, ternyata kecemasan tersebut juga terjadi. Sebagai sesuatu yang baru dalam proses pembelajaran, guru harus mampu mengubah mindset-nya dari teacher-centered menjadi student- centered. Perubahan mindset ini diakui para guru bukanlah pekerjaan mudah, terlebih sudah bertahun-tahun para guru telah terbiasa menjadi ”dewa” pengetahuan bagi siswa. Guru-guru sudah telanjur terbiasa menjadi subjek yang aktif sedang para siswa dikondisikan sebagai objek yang pasif, sehingga apapun yang disampaikan oleh guru adalah sesuatu kebenaran, sedangkan siswa ”patuh” menerima kebenaran yang belum tentu benar. Untungnya kecemasan ini tidak berlanjut dan hanya terjadi di awal-awal pelaksanaan implementasi Kurikulum 2013. Sebagai contoh, bermodalkan pelatihan yang pernah diikuti, baik Sri Sulastri maupun Ratiyem (guru kelas 1 dan 4 SDN Babarsari, Sleman, DIY) merasa bahwa mereka mampu mengimplementasikan kurikulum 2013. Setiap hari mereka harus banyak membaca buku-buku yang berhubungan dengan pembelajaran kreatif, buku-buku/novel inspiratif. Tidak sampai di situ saja, mereka pun terus melakukan diskusi dengan beberapa guru sekolah lainnya, terutama guru-guru dari sekolah yang telah mengimplementasikan Kurikulum 2013. Dan yang tak kalah pentingnya, mereka harus lebih jeli mengamati perkembangan belajar peserta didiknya. Meskipun berat, mereka menyadari bahwa langkah ini merupakan langkah yang terbaik dan harus dilewati. Alhasil, perjuangan keras tersebut membuahkan hasil. Satu minggu mengajar, perubahan pun telah terasa. Tidak heran saat penulis berkunjung di sekolah tersebut, kedua guru ini terlihat percaya diri. Mereka terlihat telah mampu menempatkan diri sebagai seorang fasilitator dan evaluator pembelajaran. Para siswa pun tidak lagi dicekoki pelbagai pengetahuan dari satu sumber. Yang tampak saat itu, mereka terus mengamati diskusi tematik para siswa dalam kelompok-kelompok kecil yang heterogen. Kelompok heterogen tersebut terdiri dari empat orang siswa yang berbeda baik dari jenis kelamin, kemampuan akademik, ataupun kemampuan emosional. Mereka terlihat asyik berdiskusi, bahkan beberapa siswa berani menyatakan pendapat yang berbeda dalam kelompoknya. Sementara itu, guru hanya mengamati proses belajar tersebut sembari sesekali menghampiri salah satu kelompok belajar ataupun meluangkan waktunya untuk mengisi dokumen evaluasi pembelajaran secara kualitatif di meja kerjanya. Ketika penulis menghampiri salah satu kelompok dan bertanya kepada mereka tentang maksud dari lukisan mereka setelah mempelajari buku ”Tema 5: Pengalamanku”, mereka menjawab dengan percaya diri, apa adanya, dan terkadang di luar dugaan. ”Dek’ Ini gambar apa? ”Ini gambar saya di bingkai foto. Waktu saya masih kecil”, ”Kok rambutnya berwarna kuning?” ”Biar saya cerah selalu,” jawab Kilah, siswi kelas I A. Untuk mengabadikan karya tersebut, foto-foto tersebut selanjutnya ditempel di dinding kelas tersebut bersama foto-foto lainnya. Demikian halnya, ketika penulis mengamati kelas IV, yang saat itu sedang mempelajari buku Tema IPS (muatan sejarah), penulis terkesan dengan rasa percaya diri seorang siswa ketika menjelaskan asalmuasal kerajaan Sriwijaya. Meskipun pengalaman di atas tidak untuk merepresentasikan keseluruhan sekolah percobaan implementasi Kurikulum 2013 di Indonesia, pengalaman tersebut menunjukkan bahwa kecemasan tidak selamanya membuahkan kegagalan. Kecemasan justru diubah menjadi motivasi besar untuk melakukan perubahan yang besar. Bagaimanapun, manusia adalah sosok yang memiliki kecemasan, seseorang yang tidak cemas, justru telah mengingkari sifat kemanusiaannya, dan manusia yang hebat adalah manusia yang mampu membalikkan kecemasan (ketakutan) menjadi prestasi. Kini implementasi Kurikulum 2013 telah di depan mata, kecemasan-kecemasan yang ada haruslah dijadikan tantangan untuk meraih predikat guru yang profesional. Guru yang profesional adalah guru yang mampu melaksanakan tugasnya, baik sebagai pendidik, pengajar, fasilitator, evaluator, motivator, maupun inspirator, dengan baik dalam keadaan dan tantangan apapun; tak peduli kurikulum apa yang dilaksanakan. Para guru, pengawas, dan kepala sekolah, saya kira masih memiliki waktu kurang lebih empat bulan untuk belajar menerapkan Kurikulum 2013. Waktu tersebut memang singkat, namun bukan berarti waktu yang singkat, bagi guru-guru dan kepala sekolah yang hebat, tidak bisa menghasilkan prestasi yang baik. Bukan begitu? Untuk itu, ada baiknya, menelaah ungkapan Aristoteles yang disampaikan Wakil Presiden Boediono saat membuka secara resmi RNPK 2014. ”Ungkapan sejarah menunjukkan bahwa suatu bangsa atau suatu negara nasibnya ditentukan oleh berhasil tidaknya bangsa itu mendidik generasi mudanya.” ● |
Post a Comment