Paradoks Pemimpin PerempuanAni Soetjipto ; Pengajar di FISIP UI |
KOMPAS, 04 Maret 2014
DI tengah jumlah wali kota perempuan yang bisa dihitung dengan jari di Indonesia, Tri Rismaharini adalah sosok wali kota berprestasi gemilang. Ia mengurus Surabaya yang penuh keruwetan dan kesemrawutan dengan rasa kepedulian dan kasih sayang; merawat, menghidupi, dan melindungi warga seperti seorang ibu memperlakukan anggota keluarganya. Hasilnya, Surabaya berubah sangat signifikan menjadi kota yang hijau, bersih, dan teduh dengan banyak ruang publik yang nyaman. Risma mungkin bukan seorang feminis yang memahami konsep jender tentang ethics of care yang sering disuarakan banyak aktivis perempuan. Ethics of care adalah aspek femininitas yang sering dilekatkan kepada sosok perempuan yang bersifat merawat, memberi kenyamanan, menyejahterakan, menyayangi, dan mendidik. Karakter dan sifat-sifat itu memang selayaknya dibawa ketika perempuan berpolitik dan memegang jabatan publik. Ciri yang membedakan dengan politik mainstream yang banyak dipraktikkan saat ini. Risma sangat peduli perempuan miskin, anak yang dilacurkan, korban trafficking, para pedagang kaki lima yang sering digusur, dan lansia yang telantar. Sesungguhnya Risma menjalankan politik perempuan sekaligus etika kepentingan publik dalam mengelola kota Surabaya. Tanpa ia sadari, ia telah memperjuangkan apa yang sering didengungkan para aktivis perempuan tentang kepentingan jender praktis dan strategis. Masalahnya menjadi rumit ketika Risma dengan air mata berlinang mengungkapkan ketidakberdayaannya sehingga ia ingin mundur dari jabatan wali kota. Ia mengungkapkan kegalauan hatinya tidak saja kepada media massa, tetapi juga berbagai kalangan termasuk politisi di luar PDI-P. Padahal, PDI-P adalah partai yang menominasikannya sebagai wali kota. Peristiwa ini menimbulkan beragam reaksi sekaligus kemarahan dan kekesalan di internal PDI-P yang menganggap Risma naif, mau diperalat partai lawan untuk melemahkan PDI-P. Mediasi telah dilakukan PDI-P dan tampaknya berhasil. Namun, pada waktu bersamaan, kepentingan di luar partai ikut bermain menjelang kontes elektoral pemilu. Pembelajaran penting Kasus Risma memberikan banyak pembelajaran penting untuk aktivis perempuan sekaligus perempuan yang ingin berkiprah dan bergulat secara intens di arena politik formal. Pembelajaran pertama, menjadi politisi perempuan tak cukup hanya mengedepankan ideologi dan konsep politik perempuan, tetapi juga etika publik di tengah politik arus utama yang saat ini lebih banyak mengedepankan pertarungan hidup-mati untuk memperebutkan kursi dan kekuasaan tanpa etika. Politik yang marak saat ini adalah memperebutkan kekuasaan dan jabatan dengan mengumpulkan modal politik, melakukan korupsi, tanpa agenda isu substantif, dan hanya mengumbar kalimat kosong tanpa makna. Politisi perempuan dan perempuan yang memegang jabatan publik juga dituntut memiliki intuisi politik, kemampuan membaca power politics yang terpapar di hadapannya, mampu mengelola perbedaan, dan punya keberanian ”bertarung” dalam medan politik riil yang memang sangat tidak ideal pada saat ini. Politisi perempuan selain diharapkan mengedepankan aspek feminin, pada saat yang sama dituntut juga memiliki sisi maskulin dan etika publik ketika mereka memegang jabatan publik dengan tetap tidak terjebak ikut dalam arus politik mainstream yang radikal. Sebagai birokrat dan teknokrat, Risma tak punya sisi maskulin ini. Ia naif dan ”buta politik”, berprasangka baik terhadap partai, hanya berpikir jika ia bekerja baik dengan hasil nyata pasti akan didukung dan dibela. Risma bukanlah aktivis partai yang intens bergulat di internal politik PDI-P sehari-hari dalam waktu panjang sehingga bisa memahami bagaimana logika politik partai bekerja, bagaimana beragam kepentingan bertempur dan diperjuangkan di dalam partai, bagaimana melakukan kompromi dan negosiasi memperjuangkan kepentingan publik yang jadi prioritas politik dalam agenda perjuangan lewat partai. Sebagai birokrat yang tak terlatih bergulat dalam internal partai, ia frustrasi menghadapi tekanan politik bertubi-tubi yang menimpanya. Ia tak punya kepekaan politik terhadap kepentingan partai lain yang saat ini bersaing dengan PDI-P memperebutkan kemenangan dalam kontes elektoral. Kenaifannya dipertunjukkan dengan bertemu pemimpin partai lain untuk mengadukan kasusnya. Sisi ini sekaligus mengungkapkan persoalan yang dihadapi parpol di Indonesia dalam merawat kader-kader terbaiknya yang telah meningkatkan popularitas partai dan positioning partai di hadapan lawan politiknya. Kasus Risma bukanlah kasus pertama yang dihadapi PDI-P. Pengalaman sebelumnya juga memperlihatkan kader terbaik yang telah menunjukkan kinerja gemilang tidak ”dirawat” atau ”dipelihara”, tetapi terus diganggu dengan urusan pertarungan perebutan kepentingan/jabatan serta urusan penugasan untuk mencari kapital bagi pembiayaan partai. Pembelajaran kedua adalah situasi paradoks politisi perempuan yang ada saat ini. Amat sedikit kita memiliki politisi perempuan yang menjalankan ethics of care dan etika publik sekaligus mengerti politik. Yang banyak tampil adalah tipe politisi perempuan yang paham berpolitik, tetapi mempraktikkan politik mainstream yang maskulin dan tidak paham politik perempuan, apalagi ethics of care. Tipologi kedua adalah politisi perempuan dan pejabat publik perempuan paham politik perempuan, tetapi naif membaca riil politik yang terjadi sehingga sangat mudah tergusur dalam pertarungan yang terjadi. Pembelajaran ketiga, apa pun yang terjadi, publik menginginkan pemimpin yang tangguh. Pemimpin yang mampu terus fight dan tidak meratap saat dirinya dikepung masalah. Dalam benak warga Surabaya, Risma adalah pemimpin yang gigih dan teguh hati bekerja untuk rakyat. Berhentilah menangis, Risma. ● |
Post a Comment