Presiden dan Misteri RepresentasiDonny Gahral Adian ; Dosen Filasafat UI |
KOMPAS, 24 Maret 2014
PEMILIHAN umum sejatinya adalah perebutan suara. Tak terkecuali pemilihan presiden. Survei pun digelar secara masif untuk mendeteksi keterpilihan dan keterkenalan seorang calon presiden. Dia yang terdeteksi mewakili suara paling banyak biasanya menjadi primadona politik. Semua tokoh, tak peduli latar belakang ideologinya, berebut merapat ke sang primadona. Sebab, setiap orang ingin terciprat sihir suara sang tokoh. Padahal, representasi bukan sekadar jumlah suara. Calon presiden tak hanya mewakili sekian banyak suara yang sudah dihipnotis media. Dia mewakili sesuatu yang jauh lebih sublim dari angka. Kita dapat menyebutnya ideologi atau sesuatu yang lain. Pada mulanya suara. Representasi adalah suara. Satu orang satu suara. Ini model representasi modern. Representasi modern dijangkiti apa yang disebut filsuf Jerman, Carl Schmitt, sebagai reproduksi teknologis. Reproduksi teknologis adalah replikasi massal obyek material tanpa menyentuh esensi atau substansi obyek tersebut. Presiden hanya mewakili suara (kuantitatif) rakyat, dia abai persoalan substantif yang dialami rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, dan kesakitan. Padahal, gagasan representasi pada abad pertengahan jauh sekali berbeda. Di sini, refleksi Schmitt tentang politik representasi Gereja Katolik Roma abad pertengahan patut dicermati. Politik representasi Gereja Katolik Roma, misalnya, beralas pada logika representasi tersendiri. Tak seperti representasi modern, Gereja Katolik Roma tak menghancurkan partikularitas konkret atas nama homogenisasi dan universalisasi. Representasi Gereja Katolik Roma merawat esensi yang tak serta-merta hadir dalam representan. Gereja Katolik Roma tidak sekadar mereproduksi realitas kuantitatif dari representan sehingga menegasi orisinalitas dan partikularitasnya. Lukisan ”Monalisa”, misalnya, kehilangan orisinalitas dan partikularitasnya ketika direproduksi secara massal. Ucapan selamat lebaran menjadi banal ketika direproduksi dan disebarkan melalui layanan pesan singkat. Representasi dalam politik Gereja Katolik tidak berarti menghadirkan kembali apa yang sudah hadir secara fisik. Kehadiran aktual bukan kehadiran fisik, melainkan sesuatu yang dihadirkan secara material melalui proses representasi. Kehadiran aktual dalam politik Gereja Katolik sama artinya dengan esensi atau sesuatu yang tidak serta-merta hadir dalam bentuk material. Representasi berfungsi mematerialisasikan esensi tersebut dan bukan semata mereproduksi realitas material yang diandaikan terberi. Artinya, representasi politik tidak sama dengan sekian juta suara setelah pemilihan umum. Representasi bukan kerja setarikan napas. Representasi adalah kerja berkelanjutan dalam mematerialisasi substansi yang tidak serta-merta hadir dalam jumlah suara konstituen. Kerja politik pemimpin republik harus mampu menangkap esensi dari suara yang diwakilinya dalam bentuk kebijakan dan legislasi. Dia tidak sekadar memerintah berdasarkan pesanan pihak ketiga. Pengejawantahan Presiden adalah representasi politik yang dipilih secara langsung. Dia adalah sekian juta suara yang memilihnya, habis perkara. Seolah semua selesai begitu suara dihitung dan pemenang diumumkan. Padahal, yang jauh lebih penting, apakah presiden terpilih mewakili sesuatu yang niskala bernama ideologi? Ideologi bukan suara terbanyak. Dia adalah seperangkat keyakinan politik yang diinstitusionalisasikan dalam kepartaian dan disemai melalui program dan kebijakan. Presiden tak lain kepanjangan ideologis partai pengusungnya. Bulat lonjong kebijakan presiden sebangun dengan garis besar politik partainya. Dengan demikian, pencalonan presiden tidak sama dengan menjual barang. Pemilihan umum bukan etalase belaka. Komodifikasi calon presiden hanya membuatnya menjadi jargon berjalan yang dipandu suara kebanyakan. Saat kebanyakan orang suka yang blusukan, ramai-ramai calon lainnya ikut blusukan. Saat kebanyakan orang suka yang rendah hati, semua calon belajar menahan diri. Saat kebanyakan orang suka yang kerakyatan, semua calon berlomba-lomba makan di bawah jembatan. Persoalannya, presiden komoditas adalah produk pabrik pencitraan, bukan institusi ideologis bernama partai politik. Presiden pun jadi ”dia yang dikehendaki orang banyak”. Orang banyak di sini diwakili oleh opini publik. Sementara, opini jarang yang benar-benar publik. Opini publik biasanya kepentingan segelintir orang yang didistribusikan secara sosial sehingga menjelma publik. Publik adalah arena tempat berbagai lembaga pembangun citra menancapkan pengaruhnya. Alhasil, muasal publik adalah sesuatu yang amat privat bernama nafkah dan upah. Padahal, publik adalah sesuatu yang sakral. Kehadiran rakyatlah yang menghasilkan publik. Formula ini jadi penting ketika berbicara mengenai representasi politik. Representasi hanya dapat dilangsungkan di ruang publik. Tak ada representasi bertempat di ruang privat. Presiden mendapatkan karakter representasinya melalui aktivitasnya di ruang publik. Dia yang tak pernah turun ke lapangan menemui konstituennya kehilangan watak representasinya. Sesi-sesi rahasia, kesepakatan, dan konsultasi memang tak dapat dilepaskan dari kerja politik sehari-hari. Namun, segenap aktivitas ini tak punya karakter representasi sama sekali. Tahun politik ini tahun penentuan. Apakah kita akan memperoleh presiden yang berbasis representasi atau reproduksi. Reproduksi adalah perwakilan kuantitatif (suara, angka), sementara representasi adalah perwakilan kualitatif (nilai, prinsip). Suara dan angka digodok di lembaga-lembaga pembangun citra yang sepenuhnya swasta. Sementara, nilai dan prinsip digodok di parpol selaku lembaga publik. Calon presiden produk partai akan bertarung dengan calon dari pabrik citra. Di sini kita akan melihat apakah kalkulasi akan mengalahkan ideologi. Apakah partai akan dilindas lembaga survei. Ideologis dan aksesoris Melepaskan capres ke mekanisme pemungutan suara hanya akan membuatnya jadi bulan-bulanan rekayasa media. Padahal, terdapat calon yang memang sungguh-sungguh pengejawantahan ideologi partainya. Dia tak blusukan karena hendak memungut suara terbanyak, tetapi ingin mengemban amanat ideologis partainya. Di sini, sang calon tidak bisa diobral untuk dipasangkan dengan siapa saja. Dia yang berpihak pada kedaulatan pangan tak bisa dipasangkan dengan yang gemar impor beras. Dia yang berniat meninjau ulang kontrak karya tak bisa dipasangkan dengan antek korporasi asing. Capres adalah prajurit ideologis partai. Suara dipanen karena konsistensi dirinya menjalankan amanat ideologis partai pengusung. Suara tak dipanen karena dia yang pro waralaba asing dipoles sehingga tampil layaknya pembela kaum papa. Pemilihan presiden sudah dekat. Calon-calon mulai bermunculan. Sebagian sudah resmi sebagian masih bersembunyi. Kini saatnya kita memilih pemimpin tidak seperti mencomot sabun mandi. Kita memilih bukan karena iklan yang diulang secara murni dan konsekuen di stasiun-stasiun televisi swasta. Ini adalah pemilihan publik, bukan swasta. Kita harus memilih dia yang ”blusukan ideologis”, bukan ”blusukan aksesoris”. ● |
Post a Comment