MA Bukan “la Bouche de la Loi”

MA Bukan “la Bouche de la Loi”

Misranto  ;   Rektor Universitas Merdeka, Pasuruan, Jatim
KORAN JAKARTA,  18 Februari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                                       
Satu lembaga belum tentu satu suara. Bisa ada suara yang bercorak vis a vis dalam satu institusi seperti Mahkamah Agung (MA).

Institusi yudisial yang menjadi puncak tempat para pencari keadilan menggantungkan harapan ini, kenyataannya mampu memproduksi putusan yang berlainan.
Para hakim di MA, ada yang berusaha menunjukkan karakter sebagai corong peradilan progresip dan humanis, antara lain ditunjukkan dengan memihak korban. Ada pula yang memihak terdakwa dan terpidana. Sikap mereka terbaca karena belum konsisten memihak rakyat kecil yang berurusan dengan hukum. 

MA digariskan negara sebagai pusat upaya hukum bagi mereka yang kecewa atau tidak puas atas kinerja yuridis (hakim-hakim) di tingkat pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi. MA bahkan disebut Nusron (2011) sebagai "benteng terakhir" yang menentukan hitam-putihnya hak-hak pencari keadilan.

Pencari keadilan yang berkesempatan paling akhir memanfaatkan MA adalah terpidana. Ketika pengadilan tingkat kasasi di MA menjatuhkan seseorang bersalah melakukan tindak pidana (straafbarfeit), dia (terpidana) masih diberi ruang mengajukan permohonan untuk pengujian kembali (PK) terhadap putusan MA. 

Bila putusan yang dijatuhkan majelis hakim PK tidak menganulir putusan hakim MA di tingkat kasasi, jalan bagi korban atau pihak-pihak yang dirugikan oleh putusan hakim MA tingkat PK sudah buntu (final). Mereka disuruh negara melalui hakim PK MA untuk menerima kekalahan atau mengakui kenyataan bahwa hak keadilannya menurut hukum formal sudah berakhir.

Kekalahan korban dapat terbaca melalui putusan hakim-hakim PK MA yang membebaskan terpidana dr Dewa Ayu Sasiary Prawarni, dr Hendry Simanjuntak, dan dr Hendy Siagian. Sebelum mereka mengajukan PK, tiga dokter ini sudah diputus MA telah bersalah melakukan malapraktik medis.

Oleh majelis PK MA, tiga dokter itu dinyatakan tidak menyalahi standar operasional prosedur (SOP) saat melakukan operasi terhadap Siska Makelty. Majelis PK mengabulkan PK para dokter dan membatalkan putusan judex juris pengadilan sebelumnya (majelis kasasi MA).

Majelis PK menilai putusan Pengadilan Negeri (PN) Manado yang membebaskan tiga terpidana itu sudah tepat. Dasar pertimbangan yang digunakan majelis, di antaranya menyebutkan tiga dokter spesialis itu tidak menyalahi prosedur dalam penanganan operasi cieto ciseria.

Pertimbangan yang diajukan PN Manado dan hakim PK MA jelas tidak sama dengan hakim-hakim di tingkat kasasi. Pada ranah kasasi, hakim-hakimnya menilai tindakan yang dilakukan tiga dokter itu terbukti mengabaikan SOP yang mengakibatkan pasien meninggal dunia.

Kronologi singkatnya, ketika korban sudah tidur telentang di atas meja operasi, tiga dokter lantas melakukan tindakan asepsi antiseptis pada dinding perut dan sekitarnya. Korban lantas ditutup dengan kain operasi, kecuali area pembedahan. Tim dokter telah membius total. Dokter Ayu (terdakwa I) mengiris dinding perut lapis demi lapis sampai pada rahim korban untuk mengangkat bayi. 

Setelah itu, rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan untuk selanjutnya dilakukan penjahitan terhadap dinding perut. Peran dokter Hendry (terdakwa II) sebagai asisten operator I dan dokter Hendy (terdakwa III) asisten operator II membantu memperjelas area pembedahan yang dilakukan dokter Ayu sebagai pelaksana operasi.

Sebelum operasi dilakukan, para terdakwa tidak pernah menyampaikan kepada keluarga korban tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk, termasuk kematian.
Selain itu, para terdakwa juga memeriksa penunjang seperti jantung, foto rontgen dada, dan lainnya setelah pembedahan. Padahal, seharusnya, prosedur itu dilakukan sebelum proses pembedahan berlangsung karena tindakan dokter tergolong berisiko tinggi.

Keadilan Formal

Meski barangkali tindakan yang dilakukan para dokter itu memang benar sesuai SOP, akibat buruk telah diterima korban dan keluarganya.

Tiga dokter yang merasa tidak bersalah telah diberikan keadilan formal oleh hakim-hakim PK. Masalahnya kemudian, siapa yang menjembatani hak keadilan untuk korban sekarang, padahal putusan PK tidak lagi bisa diuji kembali.

Hierarki kewenangan di level MA itu dapat terbaca, putusan yang dijatuhkan hakim-hakim MA di tingkat kasasi masih belum bisa dikatakan benar-benar final dan mengikat sebab terpidana masih berkesempatan mengajukan upaya hukum PK (heerziening), sedangkan korban tidak bisa lagi melawan dengan upaya hukum lainnya. 

Kalaupun PK terpidana ditolak majelis hakim PK, terpidana atau narapidana masih memunyai jalur politik untuk melakukan "upaya hukum" seperti mengajukan grasi ke presiden, menikmati hak remisi, dan pembebasan bersyarat, sementara nasib korban cukup sampai di tangan majelis kasasi.

Paradigma hukum seperti itulah yang pernah dikritik William J Chambliss dalam On the Take; From Petty Crooks to Presidents (1978) dan Richard Quinney melalui Critique of Legal Order (1973). Dia mendeskripsikan hukum cenderung dibuat atau dipraktikkan untuk menampung dan menguntungkan keinginan elite yang menguasai negara maupun elite lain daripada kepentingan masyarakat. 

Kritik itu sebenarnya mengingatkan para legislator dan elemen yudisial supaya tidak salah dalam mendesain atau mengonstruksi prasarana penegakan hukum. Hakim-hakin di lingkungan MA sering dikritik keras karena kinerjanya belum cerdas secara akal (rasionalitas), sosial, moral, dan nurai.

Ketika kecenderungan norma yuridis atau politik legislatornya lebih memihak terpidana, idealnya elemen yudisialnya, khususnya di ranah hakim-hakim MA, menunjukkan kreativitas berorientasi memihak korban. Korban idealnya mendapat dukungan dari para hakim MA, terlebih bila dalam posisi benar. 

Pasal 5 Ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ayat ini jelas menunjukkan hakim-hakim MA bukanlah "mulut UU" (la bouche de la loi).

Mereka dituntut bukan sekadar memahami norma-norma yuridis secara tekstual, tetapi juga cakap dalam membaca dan menginterpretasikan nilai-nilai dan "rasa" keadilan di masyarakat. 

Secara umum, kondisi ketertindasan masyarakat atau pasien, selama ini, tidak lepas dari perlakuan korporasi rumah sakit atau "korporasi" profesi paramedis yang lebih dominan mencari dan mengumpulkan keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya, sementara urusan pelayanan atau perlindungan korban masih bersifat "kelas dua". 

Kondisi rasa ketidakberdayaan atau ketidakbermartabatan pasien ini idealnya menjadi objek bacaan rasionalitas dan moralitas hakim MA. Selain itu, secara umum, dari sisi kepribadian, ayat (2) mengingatkan hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, serta berpengalaman di bidang hukum. 

Integritas menjadi kata kuncinya. Hakim akan menjadi pendamping andal para 
pejuang keadilan bila mampu membahasakan peran bukan la bauche de la loi sesuai dengan kode etik atau integritas etis profesinya.
Indeks Prestasi

Post a Comment