Emerging-Country di Tengah Gejolak EkonomiFirmanzah ; Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan |
KORAN SINDO, 24 Maret 2014
Seperti negara emerging lain, ekonomi Indonesia tengah bersiap menghadapi dua tantangan baru ekonomi dunia, yaitu menjelang berakhirnya suku bunga murah negara maju dan dampak pelemahan ekonomi Asia, terutama China, Jepang, dan India. Tulisan saya di media ini tahun lalu (25/11/13), Antisipasi Akhir Suku Bunga Ultra-Rendah, telah memperkirakan kenaikan suku bunga di Amerika Serikat setelah bank sentralnya, The Fed, mengakhiri kebijakan Quantitative Easing III. Unconventional monetary-policy berupa pembelian obligasi dan surat utang sebesar USD85 miliar akan terus diturunkan dan pada akhirnya digantikan dengan kebijakan konvensional yaitu melalui mekanisme suku bunga acuan (Federal Fund Rate). Indikasi penggunaan kebijakan moneter yang konvensional semakin diperkuat dengan keputusan Gubernur The Fed Janet Yallen setelah pertemuan FOMC, Rabu (19/3), memangkas kembali stimulus sebesar USD10 miliar, sehingga menjadi USD55 miliar tiap bulannya. Selain itu, pernyataan Janet Yallen tentang rencana The Fed menaikkan suku bunga dari 0,25% menjadi 1% pada akhir 2015 dan 2,25% pada 2016 telah menciptakan kepanikan di pasar keuangan global. Kondisi di atas telah memicu keluarnya dana asing dari pasar keuangan Asia dan kembali ke Amerika Serikat. Sebenarnya, awal Maret 2014, seiring dengan semakin membaiknya fundamental ekonomi dan stabilnya situasi politik di Asia Tenggara, kepercayaan investor global semakin tinggi. Data dari Bloomberg menyebutkan, sepanjang dua pekan awal Maret, investor asing mencatatkan pembelian saham di Indonesia, Thailand, dan Filipina sebesar USD1,6 miliar. Hal ini turut berkontribusi pada peningkatan indeks harga saham gabungan (IHSG) dan apresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Namun, pengumuman hasil rapat FOMC The Fed terakhir telah membuat pasar keuangan panik. Sejumlah mata uang seperti baht Thailand, peso Filipina, yuan China, ringgit Malaysia dan won Korea Selatan terdepresiasi cukup tajam terhadap dolar AS. Rupiah pada penutupan perdagangan Kamis (20/3) terdepresiasi 1,16% menjadi Rp11.446,3 per dolar AS. Pada penutupan perdagangan Jumat (21/3) rupiah kembali ditutup menguat 0,18% menjadi Rp11.425 per dolar AS. Efek kepanikan pasar juga tercermin pada IHSG, di mana pada penutupan Kamis (20/3) sempat turun 122,48 poin atau 2,54% dan menyentuh 4.698,97. Kemudian ditutup menguat tipis 1,24 poin pada perdagangan Jumat (21/ 3) dan berada di level 4.700,21. Dalam jangka pendek, ekonomi Indonesia 2014-2016 akan disibukkan dengan perumusan kebijakan antisipasi pengurangan dan penghentian QE III dan dinaikkannya suku bunga acuan The Fed. Pembalikan modal ke negara maju perlu kita antisipasi bersama karena berdampak kepada nilai tukar rupiah, IHSG, inflasi, cadangan devisa, neraca perdagangan dan neraca pembayaran. Di saat ekonomi Indonesia fokus untuk mengantisipasi hal ini, tantangan kedua yang perlu mendapatkan perhatian serius yakni pelemahan ekonomi negara-negara kekuatan ekonomi utama Asia seperti China, Jepang, dan India. Sepanjang 2013 hingga triwulan 1-2014, ekonomi Jepang, China dan India terus melemah serta mengalami perlambatan di luar perkiraan banyak kalangan. Antisipasi pembalikan arah pertumbuhan negara-negara besar Asia seperti Jepang, India, dan China membutuhkan perhatian khusus mengingat dampaknya berpeluang besar menekan ekonomi Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ekonomi Jepang yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia semakin tertekan akibat melebarnya defisit transaksi berjalan periode Januari 2014 yang mencapai 1,59 triliun yen. Pertumbuhan ekonomi Jepang di kuartal terakhir 2013 juga hanya mampu menyentuh angka 0,7% atau lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yakni 1,0%. China menurunkan proyeksi pertumbuhannya tahun 2014 ke level 7,5% atau lebih rendah dari target sebelumnya 7,7%. Sejumlah indikator periode Januari- Februari menunjukkan perlambatan baik pada sisi produksi, permintaan, maupun investasi. Misalnya data output manufaktur tumbuh 8,6% selama Januari-Februari 2014 atau lebih kecil dari proyeksi 9,5% dan merupakan kinerja terburuk dalam lima tahun terakhir. Data indikator pembelanjaan konsumen atau penjualan ritel hanya tumbuh 11,8%, lebih rendah dari prediksi 13,5%. Sama halnya dengan ekonomi India yang sepanjang 2012-2013 mencatatkan pertumbuhan di bawah 5% atau terendah dalam 10 tahun terakhir. Pada kuartal terakhir 2013, pertumbuhan ekonomi India tercatat 4,7% atau melambat dari kuartal sebelumnya yang mencapai 4,8%. Dengan kedua tantangan ini, potensi terganggunya pertumbuhan di emerging countries akan semakin besar. Hal ini tercermin dari kepanikan beberapa bank sentral di negara berkembang seperti Afrika Selatan, Brasil, dan Turki yang menaikkan suku bunga secara ekstrem setelah menghadapi lonjakan inflasi dan pelarian modal. Ini juga mulai dirasakan di negara-negara lainnya seperti Malaysia dan Thailand setelah melemahnya ekonomi utama Asia seperti China dan Jepang. Perlambatan negara-negara berkembang akibat kedua tekanan di atas mendorong restrukturisasi arus modal keluar dan upaya stabilisasi melalui sejumlah instrumen kebijakan. Bank Dunia memproyeksikan aliran modal masuk (capital inflow) ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pada 2014 hanya di angka USD818,1 miliar atau menurun 21,2% dibandingkan tahun lalu USD1.038,5 miliar. Arus modal cenderung tertarik ke negaranegara yang memiliki prospek pertumbuhan ekonomi tinggi. Secara umum, pelemahan ekonomi Jepang, China dan India sebagai kekuatan ekonomi yang berpengaruh di dunia dan Asia memiliki dampak bagi negara-negara berkembang Asia, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, Jepang, China dan India merupakan mitra strategis baik dalam hal perdagangan, maupun investasi. Untuk memitigasi risiko pelemahan ekonomi di ketiga negara tersebut, fundamental ekonomi nasional terus diperkuat seiring dengan sejumlah agenda percepatan pembangunan yang sedang berjalan. Sejumlah paket kebijakan juga telah dikeluarkan sejak pertengahan 2013 yang diarahkan pada penguatan fundamental ekonomi dan upaya mitigasi risiko pelemahan ekonomi global termasuk melambatnya ekonomi Asia. Dan kita patut bersyukur fundamental ekonomi nasional terus menguat dalam beberapa waktu terakhir. Pertumbuhan ekonomi di 2014 dipertahankan pada level yang cukup tinggi di atas 5,7% dengan laju inflasi sekitar 4,5%. Nilai tukar rupiah terapresiasi mencapai hampir 7% sepanjang 2014 dan IHSG menembus batas psikologis di level 4.700. Hal ini didorong oleh derasnya aliran modal masuk sepanjang Januari-Februari 2014. Aliran dana masuk di pasar obligasi domestik per Februari 2014 mencapai Rp16,3 triliun atau naik sekitar 200% dari Januari 2014 sebesar Rp5,16 triliun. Besarnya minat investor ini mengonfirmasi menariknya iklim ekonomi sebagai dampak dari semakin menguatnya fundamental ekonomi nasional. Hal ini tentunya membedakan Indonesia dengan negara berkembang lainnya yang menghadapi fenomena capital outflow. Kendati demikian, perlambatan China, Jepang, dan India tetap harus diperhatikan untuk mengantisipasi potensi tekanan yang berimbas terhadap ekonomi nasional. ● |
Post a Comment