Membangun Berbasis IdeologiIvan Hadar ; Direktur Eksekutif Indonesian Institute for Democracy Education (IDe); Ketua Dewan Pengurus Indonesia for Global Justice (IGJ) |
KORAN SINDO, 24 Maret 2014
Gegap gempita politik menjelang pemilu legislatif (pileg) 9 April 2014 dan pemilu presiden (pilpres) kian terasa. Tiap-tiap calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dielukan oleh para pendukungnya sebagai insan terbaik yang dimiliki negeri ini yang dipandang bisa membawa bangsa Indonesia lebih maju. Bahkan, ada sebagian pendukung capres yang menganggap calon yang diusungnya sebagai sosok Imam Mahdi atau Ratu Adil yang ”datang” untuk membenahi karut-marutnya negeri ini. Berbagai janji disampaikan untuk meyakinkan para calon pemilih. Bahkan, janji-janji yang disampaikan sering kali terdengar sama dengan para kompetitornya. Lalu bagaimana menilainya? Apalagi program-program yang dibuat pun sering kali sebangun. Untuk menghindari hal tersebut, sebenarnya harus ada kesepakatan bersama terkait ideologi—tidak sekadar program—dalam strategi pembangunan bangsa ini. Para pendiri bangsa sebenarnya telah sepakat bahwa Pancasila adalah ideologi terbaik bagi bangsa Indonesia yang memiliki beragam suku dan agama serta sumber daya berlimpah dalam upaya menuju sebuah masyarakat yang adil dan makmur. Sayangnya, setelah menapaki hampir tujuh dekade kemerdekaan, Pancasila sering kali sekedar menjadi bahan hafalan ujian para murid atau calon pejabat yang mengikuti fit and proper test, untuk kemudian dilupakan. Pragmatisme sebagai sebuah kecenderungan global, telah ikut memengaruhi negeri ini. Berbarengan dengan berakhirnya konflik antara Barat dan Timur, dua orientasi utama pembangunan yang berangkat dari teori modernisasi dan dependensia, seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Krisis Ideologi Pembangunan Paling tidak, terdapat empat penyebab krisis ideologi pembangunan. Pertama, sebagaiteori, baik modernisasi maupun dependensia, tidak merasa perlu menganalisis diferensiasi dalam istilah ”Negara Berkembang”. Kedua, meskipun beberapa kali sempat dilanda krisis, tetapi menanjaknya Korea Selatan empat dekade terakhir menjadi sebuah negara yang mampu bersaing dengan negara-negara industri maju, misalnya, tidak dapat diterangkan dengan berbagai teori yang ada. Menurut teori dependensia, pengintegrasian sebuah negara ke dalam pasar dunia, hanya akan ”memicu keterbelakangan”. Ternyata, meski ditandai oleh berbagai hal negatif seperti relatif rendahnya gaji buruh dan berbagai perusakan lingkungan hidup pada awal perkembangannya, Korea Selatan telah menghasilkan berbagai kemajuan signifikan. Sebuah fenomena yang juga tidak bisa diterangkan oleh teori modernisasi, yang pada awalnya menyebut ”Etika Konfusius” sebagai penyebab keterbelakangan, lalu setelah mengamati keberhasilannya beberapa negara Asia Timur, berbalik menyebut etika tersebut sebagai prasyarat keberhasilan. Hal yang sama juga terjadi pada asumsi ekonomi pembangunan klasik, yang awalnya, mempropagandakan bahwa reduksi peran negara berdampak positif bagi pembangunan, untuk kemudian menyebut intervensi negara sebagai prasyarat percepatan pertumbuhan ekonomi. Target pertumbuhan ekonomi inilah penyebab ketiga dari krisis teori pembangunan. Sangat lama, semua sepakat tentang tujuan mengejar ketertinggalan dalam proses industrialisasi. Perdebatan hanya tentang ”jalan yang tepat” menuju tujuan tersebut, yaitu antara paham sosialisme dalam tradisi Marx dengan paham neoklasik menurut Adam Smith. Berbagai tampilan krisis ekologi menunjukkan dengan jelas tentang keterbatasan model pembangunan industrial dan upaya mencontohnya oleh semua negara di muka bumi. Penyebab keempat, kegagalan teori adalah kandasnya segala bentuk utopia dan model berbagai teori pembangunan tersebut di atas. Pada sisi teori, berbagai perkembangan tersebut telah menyebabkan melemahnya aspek dogmatik yang tadinya mewarnai perdebatan sepanjang tahun ‘70-an. Saat ini, selain para ekonom neoklasik dengan kepercayaan buta kepada pasar yang diyakini mampu mengatur segala-galanya, nyaris tiada seorang pun yang mengaku memegang kebenaran mutlak. Kompleksitas (under) development hanya bisa digambarkan secara utuh setelah menelusuri sejarah kolonial sebuah negara, menganalisis dampak pasar global dan pengaruh berbagai faktor lokal. Studi dengan pendekatan pluralisme teori yang kini mulai banyak dipraktekkan, menghasilkan asumsi yang lebih mendekati kenyataan riil tentang sebuah situasi atau tentang sebuah kelompok masyarakat. Selain itu, setelah cukup lama terjebak dalam pemikiran murni-ekonomi, muncul perdebatan tentang ekologi dan kesetaraan gender dalam teori pembangunan. Setelah KTT Lingkungan pertama di Rio de Janeiro, tuntutan yang mengemuka adalah restrukturisasi radikal masyarakat industrial. Tuntutan yang kini, semakin melunak dengan lebih banyak berupa pertanyaan tentang cara menjinakkan kapitalisme agar tidak terlalu merusak pembangunan ”berkelanjutan”. Pembangunan Mandiri Emoh teori dan pluralisme teori saat ini, mengandung bahaya bahwa semua yang berbau ideologi ditinggalkan, sehingga tidak memiliki acuan dan terombang-ambing dalam pusaran wind of change usai Perang Dingin, ketika angin yang berhembus berasal dari arah neoliberal. Padahal, meski harus diakui bahwa terdapat banyak elemen yang mubazir dan salah dalam berbagai teori selain teori neoliberal, banyak pula hal-hal yang berguna menjadi terlupakan. Ambil contoh teori terkait Heterogenitas Struktural. Hal ini, dalam era globalisasi, sebenarnya masih tetap penting dan diperlukan untuk memahami fenomena keterbelakangan. Konsep ini misalnya bisa menerangkan, mengapa Bangkok atau bahkan Jakarta, sebagai metropol sebuah negara berkembang lebih terkait dengan pasar dunia ketimbang dengan hinterland-nya sendiri. Begitu pula dengan konsep landreform sebagai persyaratan pembangunan, mempunyai nilai pencerahan yang tinggi. Pertanyaan tentang penyebab vakumnya teori berbarengan dengan ambruknya model sosialisme negara, juga di kalangan kiri non-ortodoks, belum memberikan jawaban memuaskan. Padahal, sosialisme demokrasi, anarkisme utopis, dan renungan Gandhi tentang ekonomi autarki, belum diwacanakan secara mendalam. Sama halnya dengan, konsep ”berdikari” yang diajukan Bung Karno berupa proteksi terhadap ekonomi global, paling tidak membuka kesempatan bagi perdebatan terkait pembangunan yang mandiri, agar terbebas dari ”pemaksaan” persyaratan neoliberalistik perekonomian global. Pancasila sebagai ideologi dan orientasi pembangunan yang cukup lama terbengkalai, sebenarnya memberikan ruang yang luas dalam mengupayakan pembangunan berkeadilan, baik bagi bangsa Indonesia maupun masyarakat global. ● |
Post a Comment