Indonesia Bukan Tempat Pembuangan Limbah BeracunHarry Surjadi ; Salah Satu pendiri Amrta Institute for Water Literacy |
KOMPAS, 12 Maret 2014
SEJAK tahun 1980-an, Indonesia sudah menjadi tujuan negara maju sebagai tempat pembuangan limbah beracun, baik legal maupun ilegal. Pulau Ayu (Papua) mengajukan izin untuk menjadi tempat pembuangan limbah. Tanjung Ucang, Batam, berencana menjadi tempat pengolahan limbah sisa hidrokarbon kapal tanker. Sejumlah pengusaha meminta izin mengimpor limbah B3 hasil cucian tanker dari Singapura untuk bahan bakar pembuatan kapur. Taiwan sudah lama berupaya membuang limbah radioaktifnya ke wilayah Indonesia. Taiwan pernah mengajukan permohonan menyewa satu pulau untuk tempat buangan limbah radioaktif, tetapi waktu itu ditolak oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal). Maka, Taiwan pun berupaya menyelundupkan limbah radioaktif− dicampur dengan barang bekas− ke pelabuhan tanpa pemantauan ketat di Indonesia timur. Pada tahun 2000, Kota Sangata, Kabupaten Kutai, Kaltim, setuju menerima abu vulkanis dari Gunung Ohyama, Pulau Myake, Jepang. Limbah piroklastik itu akan digunakan untuk membuat jalan, jembatan, dan fasilitas lainnya, termasuk sebagai bahan bangunan. Pemda Sangata tergiur karena gratis ongkos kirim dan ada kompensasi uang sesuai jumlah abu. PT Indosolor Sakti mengajukan izin mengimpor limbah non-B3 untuk diolah di Solor Timur, Pulau Flores bagian timur, dengan alasan antara lain kegiatan itu akan memberikan lapangan pekerjaan untuk 600 orang. Bahkan, PT Indosolor Sakti sudah membangun sarana penampungan sepanjang 120 meter dan sudah mendapatkan izin dari Ditjen Perdagangan Luar Negeri untuk mengimpor logam bekas (scrap metal) dari Taiwan. PT Dunia Abad Baru Prima mengajukan izin mengimpor ”urban organic waste” alias sampah lagi-lagi dari Taiwan untuk membuat kompos di Pulau Sangiang, NTT. Jumlahnya 100.000-200.000 ton sampah per bulan, seolah-olah itu sampah organik semua. Kenyataannya, Taiwan menjadikan Indonesia tempat pembuangan akhir. PT MG bermitra dengan Malaysia, Singapura, dan negara maju lainnya terang-terangan mengajukan izin mengolah limbah industri di Berau, Kaltim. Limbah berupa karet dan kulit sisa produksi, plastik, limbah medis (seperti jarum suntik), logam bekas, limbah kemasan, limbah dari industri pangan fermentasi, dan berbagai bahan kimia beracun. Jika proyek ini disetujui, PT MG akan membayar 500.000 dollar AS ke pemda setiap tahun untuk proyek 10 tahun, plus pajak 2 juta dollar AS per tahun. Semua itu adalah limbah B3 yang coba dimasukkan ke wilayah Indonesia. Industri di dalam negeri sebenarnya sudah menumpuk banyak sekali limbah B3 karena hanya ada satu tempat resmi pengolahan limbah B3, yaitu di Cileungsi, Jawa Barat. Bapedal Semua upaya memasukkan limbah B3 ke wilayah Indonesia baik secara legal maupun ilegal bisa digagalkan karena dua hal. Pertama, ketika itu masih ada Bapedal dan Bapedal Wilayah. Bapedal—seperti Environmental Protection Agency di AS—berwenang mengendalikan pencemaran limbah di seluruh wilayah Indonesia. Bapedal bisa menutup pabrik yang melanggar peraturan. Sayangnya, Bapedal dilebur ke dalam Kementerian Lingkungan Hidup oleh Presiden Megawati Soekarnoputri sehingga pengawasan limbah B3 dan pencemaran oleh industri kurang diperhatikan. Kedua, karena UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup No 32 Tahun 2009 (revisi UU Lingkungan Tahun 1982) yang melarang siapa pun membuang limbah (bukan hanya limbah B3) ke wilayah Indonesia dan Peraturan Pemerintah No 85 Tahun 1999 mengenai Pengelolaan Limbah B3. Emil Salim merencanakan akan membangun empat fasilitas pengolah limbah B3, yaitu di: 1) Cileungsi (untuk menampung limbah B3 wilayah Jabodetabek); 2) Jawa Timur; 3) Kalimantan Timur; 4) Lhokseumawe. Namun, yang sudah beroperasi hanya Cileungsi. Konsekuensinya, semua limbah B3 di Indonesia harus dikirim ke Cileungsi. Rancangan PP Limbah B3 Saat ini sedang dibahas rancangan peraturan pemerintah mengenai pengelolaan limbah B3 dan dumping. Rancangan peraturan pemerintah dengan rekor 283 pasal itu sangat teknis, dengan semangat yang kental memberikan izin sebagian ke pemda tingkat I dan II dan izin dumping ke laut. Ketika pemda tingkat I dan II—tergantung wilayah kerja yang mengajukan izin—bisa memberikan izin untuk pengumpulan dan penyimpanan limbah B3, apakah ada yang bisa menjamin tidak akan menyimpang? Apakah cukup kapasitas pemda memberikan izin? Pasal 213 sangat jelas membolehkan setiap orang membuang (dumping) limbah B3 ke lingkungan dengan legal karena ada proses pengajuan izin. Apakah pesisir di seluruh Indonesia siap menerima limbah B3? Di AS, EPA memang tidak melarang dumping tailing ke laut, tetapi persyaratannya sangat tidak memungkinkan dipenuhi. Pertanyaan mendasar sebenarnya, apakah perlu merevisi PP Limbah B3 yang ada? Apakah dorongan revisi ini datang dari para pengusaha tambang dan industri penghasil limbah B3? Bagaimana harusnya sikap pemerintah? Sebelum tanah-air-laut dan manusia Indonesia terlanjur tercemari limbah beracun, batalkan revisi PP limbah B3 karena peraturan yang sudah ada sudah cukup. Kepada siapa pun yang menjadi presiden RI mendatang, bentuk lagi Badan Pengendalian Dampak Lingkungan dengan kewenangan penuh (seperti Environmental Protection Agency di Amerika Serikat) mengeluarkan izin, mencabut izin, dan mengendalikan semua persoalan pencemaran di Indonesia. Terakhir, lanjutkan rencana pembangunan tempat pengolahan limbah di sentra industri yang pernah direncanakan Bapedal zaman lalu. Semua limbah B3—termasuk tailing dari kegiatan pertambangan—harus diolah di tempat itu dengan pengawasan ketat dari Bapedal. ● |
Post a Comment