Koperasi Sesat Masih Berkeliaran

Koperasi Sesat Masih Berkeliaran

Djabaruddin Djohan  ;   Pengamat Perkoperasian
KOMPAS,  13 Maret 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                                                                             
UU Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian sudah diundangkan lebih dari setahun lalu, tepatnya 30 Oktober 2012. UU pengganti UU Nomor 25 Tahun 1992 ini memuat 126 pasal, 15 di antaranya untuk mengatur pengelolaan koperasi simpan pinjam (KSP) dan unit simpan pinjam (USP). Hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa jumlah koperasi—yang menurut data Kementerian Koperasi dan UKM sebanyak 200.808 unit (2013)—mayoritas adalah KSP dan USP yang merupakan unit dari koperasi serba usaha (KSU). Tak heran jika pengaturannya lebih detail dibandingkan dengan koperasi jenis lainnya (produsen, konsumen, dan jasa).

Salah satu pasal yang berkaitan dengan pengaturan KSP, yang belum diatur dalam UU Koperasi sebelumnya, adalah mengenai pelayanan kepada anggota yang dalam Pasal 84 ayat (4) dinyatakan: ”koperasi simpan pinjam menjalankan usaha simpan pinjam sebagai satu-satunya usaha yang melayani anggota”. Selama ini dapat dikatakan hampir semua KSP, baik besar maupun kecil, jauh lebih banyak melayani nonanggota ketimbang anggotanya sendiri, kecuali koperasi kredit (kopdit) yang sejak awal pendiriannya (1970) hanya melayani anggotanya.

Tak jadi pelajaran

Dengan status sebagai ”calon anggota” (yang dalam praktiknya berlaku lestari), nonanggota tidak memiliki hak-hak seperti yang dimiliki oleh anggota penuh, seperti ikut menentukan dan mengawasi kebijakan dan pelaksanaan organisasi dan usaha pelayanan melalui rapat anggota, menggunakan jasa koperasi, dan menerima dividen sesuai dengan jasa/transaksi dengan koperasi. Hal ini sesuai dengan Pasal 26 yang menyatakan: ”anggota adalah pemilik dan sekaligus pengguna jasa koperasi”.

Dengan adanya kebebasan KSP melayani nonanggota, banyak KSP memanfaatkannya dengan mendaftarkan koperasinya yang hanya beranggotakan 20 orang (banyak di antaranya terdiri atas anggota keluarga) sebagai sarat minimum yang ditentukan UU untuk mendapatkan status sebagai badan hukum. Kemudian menjadikannya sebagai modal untuk menarik masyarakat untuk bergabung sebagai nasabah atau investor.

Dengan daya tarik bunga tinggi (sampai 10 persen, bahkan ada yang 17 persen per bulan), masyarakat pun berduyun-duyun jadi nasabah/investor untuk menanamkan modalnya. Jumlahnya mulai dari puluhan atau ratusan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah. Setelah dapat memenuhi kewajiban membayar bunga selama beberapa bulan, banyak di antara pengurus KSP itu menghilang dengan membawa dana yang sudah terkumpul, yang jumlahnya bisa mencapai puluhan miliar, bahkan triliunan.

Kejadian seperti ini bukan hanya sekali dua kali, melainkan sudah beberapa kali dan berlangsung beberapa tahun. Kita ingat, misalnya, kasus penipuan berkedok koperasi oleh KSU Harapan Bersama di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 2011. Dengan menawarkan bunga 50 persen dalam waktu 45 hari, masyarakat berbondong-bondong—sampai 1.918 orang—untuk menanamkan dananya. Setelah selama 3 periode dapat memenuhi kewajibannya membayar bunga kepada nasabah, pengurus raib dengan menggondol dana nasabah Rp 35 miliar.

Tragedi lebih parah dialami para nasabah/investor KSU Langit Biru di Tangerang, Banten. Dengan iming-iming bunga 17 persen per bulan, koperasi dapat memobilisasi nasabah hingga 150.000 orang. Namun, baru saja nasabah menikmati bunga selama 3-4 bulan, dana Rp 1,2 triliun dibawa lari sang ketua umum.

Sungguh menakjubkan mengapa kejadian yang sudah berulang kali ini tidak jadi pelajaran bagi masyarakat. Lebih menakjubkan lagi, kejadian yang sangat merugikan masyarakat ini sedikit saja mendapat perhatian dari otoritas koperasi ataupun otoritas perbankan. Bukankah praktik seperti ini sudah tidak berbeda dengan praktik ”bank gelap”?

Tanpa sistem pengawasan

Dengan terbitnya UU No 17/2012, yang antara lain memuat ketentuan bahwa KSP hanya boleh melayani anggotanya, apabila penerapannya dilaksanakan secara konsisten, akan dapat mengembalikan KSP-KSP yang selama ini telah jauh menyimpang dari tujuannya, yakni melayani anggotanya. Suatu KSP yang berbasis pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi. Dengan nilai dan prinsip ini, anggota dapat sepenuhnya berperan sebagai ”pemilik sekaligus  pengguna jasa koperasi” yang setia.

Melalui penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip ini pula dapat dihindari praktik-praktik manipulasi oleh pengurusnya untuk kepentingan selain melayani anggota. Sayang, ketentuan yang termuat dalam UU No 17/2012 ini—meski lebih dari setahun setelah diundangkan—belum juga dilaksanakan. Tak heran jika sebagian besar KSP dengan leluasa masih dapat memobilisasi dana masyarakat yang beberapa di antaranya dimanipulasi oleh pengurusnya, seperti yang belum lama terjadi di KSP Mitra Tiara di Larantuka, Nusa Tenggara Timur (Kompas, 25/2).

Kemungkinan para pengurus KSP untuk memanipulasi dana koperasi untuk kepentingan pribadi/kelompok pengurus/pengelolanya ini lebih terbuka dengan tiadanya pengawasan oleh otoritas koperasi. Berbeda dengan jasa keuangan perbankan yang memiliki sistem pengawasan yang jelas dan ketat, yang pelanggarannya dapat berakibat pembekuan izin operasional bank, sistem pengawasan seperti pada perbankan belum dimiliki oleh koperasi. Padahal, sebetulnya UU No 17/2012 Pasal 100 Ayat (1) telah menentukan bahwa ”pengawasan koperasi simpan pinjam dilakukan oleh lembaga pengawasan koperasi simpan pinjam”. Setahun lebih telah berlalu, tetapi lembaga pengawasan KSP yang diperintahkan oleh UU ini belum juga terwujud.

Tanpa penerapan ketentuan UU yang mengharuskan KSP hanya melayani anggotanya, disertai sistem pengawasan yang jelas dan ketat—bukan saja mengenai pelaksanaan nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya, melainkan juga mengenai kesehatan usaha pelayanannya—bisa dimengerti jika praktik KSP-KSP banyak bergantung pada kehendak pengurusnya. Ada yang memang memberikan pelayanan kepada anggotanya, tetapi ada juga untuk  mengejar keuntungan semata. Bahkan, banyak di antaranya berpraktik bagaikan ”bank gelap”, yang mengumpulkan dana masyarakat untuk kemudian dibawa kabur pengurusnya. Inilah praktik-praktik ”koperasi sesat” yang masih dibiarkan berkeliaran untuk menguras dana masyarakat tanpa kenal belas kasihan, bagaikan predator yang siap melahap mangsanya.
Indeks Prestasi

Post a Comment