Klenik dan Politik

Klenik dan Politik

Jakob Sumardjo  ;   Budayawan
KOMPAS,  13 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
SETIAP menjelang pemilihan kepala pemerintahan, bisnis klenik atau perdukunan dan ziarah kuburan keramat meningkat tajam.

Apa yang sebenarnya terjadi? Gejala ini jadi bahan tertawaan kaum terpelajar yang rasional. Zamannya sudah lama lewat untuk memercayai sejenis kesaktian-kesaktian semacam itu. Namun, kenyataannya banyak yang tak peduli. Mereka butuh dukun dan berkah kuburan untuk memperoleh kekuasaan sosial. Karena pasar permintaan tetap tinggi, maka penawaran dukun-dukun palsu juga semakin banyak.

Praktik klenik juga sudah lama tidak disukai oleh kaum pemeluk teguh agama-agama besar. Meski demikian, praktik ini tak kunjung lenyap. Tentu ada alasan lebih mendasar dari bangsa ini, sesuatu yang arketipe, yang membuat klenik tetap hidup dalam hubungannya dengan kekuasaan manusia.

Dalam kitab Negarakertagama dikisahkan bagaimana raja besar Majapahit, Hayam Wuruk, mengelilingi negaranya dengan tiap kali ziarah ke candi-candi nenek moyangnya (yang titisan dewa-dewa). Di sini kekuasaan raja besar itu dihubungkan dengan kekuatan transenden yang sedikit banyak mutlak. Kekuatan manusia yang terbatas perlu kekuatan lain yang tidak terbatas.

Kekuasaan adalah kekuatan untuk memerintah banyak orang yang jadi tanggung jawabnya. Kekuasaan semacam itu bukan berasal dari dirinya sendiri atau dari rakyat seperti dipahami manusia modern. Kekuasaan itu ada hubungannya dengan Yang Mahakuasa. Kekuasaan manusia itu bergantung pada kekuasaan lain yang berada di luar manusia. Lebih-lebih kekuasaan yang begitu besar yang akan menentukan hajat orang banyak.

Dengan demikian, dunia klenik itu memang berakar pada budaya primordial bangsa ini. Masalah-masalah berat yang dihadapinya memerlukan pertolongan alam transenden yang lebih mutlak. Itulah arketipe manusia religius kapan dan di mana pun.

Manusia religius senantiasa menempatkan dirinya dalam kesatuan daya-daya transenden yang baka. Manusia modern lebih memercayai daya-daya kekuatannya sendiri.

Ada mitos orang Baduy yang menegaskan perbedaan ini. Yang Mahakuasa menciptakan manusia pertama. Begitu tercipta, manusia ini berkata: aku pandai dan kuasa sekali sehingga dapat berwujud semacam ini! Segera manusia pertama ini dikutuk sehingga tubuh kasarnya menjadi bukit, dan tubuh halusnya ada dalam bumi. Ia dinamai Adam Kaisinan (bikin malu). Kemudian diciptakan manusia lain. Setelah tercipta ia berseru: sungguh sakti dan kuasa yang menjadikan aku ini, hingga dapat berbentuk seperti ini. Itulah manusia religius yang usianya sudah amat tua itu. Adam Kaisinan adalah manusia modern yang tidak religius.

Dekadensi religi

Dasar klenik adalah religius, hanya sudah ketinggalan zaman. Ada primordial di dalamnya, semacam dekadensi religi. Manusia modern yang religius akan berlutut di rumah-rumah ibadah, langsung berhubungan dengan Yang Mahakuasa. Daya-daya transenden mutlak itu masih dipercayai ada, dapat membantunya menjalankan kekuasaan.

Tetapi, ada juga manusia religius modern yang butuh mediasi untuk memperoleh bantuan daya-daya transenden ini. Ini juga sudah tua usianya di Indonesia. Dalam kitab Arjuna Wiwaha dikisahkan bagaimana Arjuna bertapa di tengah hutan untuk dapat mencapai kekuasaan politik atas keluarga Kurawa. Mengapa tidak latihan perang saja daripada bertapa? Mengapa harus dimulai dari alam spiritual? Politik dan spiritualitas berhubungan erat.

Mediasinya lewat guru-guru spiritual. Tetapi, guru-guru spiritual zaman kuno ini tidak minta imbalan jasa apa pun. Seorang guru spiritual itu jadi mediator ke alam transenden dengan sikap penuh kasih sayang, tulus, ikhlas, pasrah, dan senantiasa ingat bahwa Tuhan yang menentukan, bukan dirinya. Itulah sebabnya guru-guru spiritual itu tetap miskin hidupnya, tidak minat pada kehidupan duniawi.

Kini guru-guru spiritual yang melanjutkan tradisi tua itu disebut dukun atau paranormal. Justru di sini tampak dekadensinya, yakni mereka memasang tarif atau setidak-tidaknya menanti balas jasa spiritualnya. Karena pikiran zaman sekarang: segala hal dapat dibeli dengan uang.

Sebagai bangsa modern yang mendasarkan diri pada religiositas Ketuhanan Yang Maha Esa, tumpah tindih budaya religius ini sering mendatangkan masalah. Kemurnian religius primordial disalahgunakan dalam hedonisme dan materialisme modern.

Salah satu contoh ”paranormal” modern abad XX adalah RM Sosrokartono, abang RA Kartini. Ia semacam mediator spiritual. Setelah kenyang hidup sangat modern di Eropa sebagai intelektual, akhirnya ia pulang ke Indonesia sebagai ”dokter-dukun”, terkun. Ia membujang dan hidup miskin tak mau menerima bayaran apa pun atas jasa-jasa mediasi spiritualnya. Para pengagumnya adalah rakyat kampung yang juga miskin.
Indeks Prestasi

Post a Comment