Transparansi Dana Kampanye

Transparansi Dana Kampanye

Titi Anggraini  ;   Direktur Eksekutif
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
KORAN SINDO,  04 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Sudah jadi konsensus bersama bahwa kehadiran pemilihan umum (pemilu) yang kompetitif merupakan ukuran yang paling mudah untuk mengidentifikasi apakah suatu negara kontemporer menerapkan sistem politik demokratik atau tidak (G Bingham Powell, 2000).

Pemilu yang kompetitif tercipta jika peserta pemilu bisa bersaing dengan bebas dan setara. Termasuk dalam berkampanye dan pendanaannya, sebagai elemen krusial pemenangan pemilu. Kampanye dilakukan agar peserta pemilu dikenal dan mendapatkan dukungan pemilih. Kampanye memerlukan dan tidak mungkin dilakukan tanpa dana. Semakin masif, semakin besar dana dikeluarkan.

Demikian sebaliknya, semakin besar dana dimiliki, semakin bervariasi dan besar cakupan kampanye juga penjangkauan pemilih bisa dilakukan. Tak heran kalau di AS dikenal jargon yang dipopulerkan Thomas Nast, money is speech, uang adalah pidato. Uang adalah sarana untuk menyampaikan ide, gagasan, dan pikiran. Keberadaan uang dalam pemilu bukan tanpa risiko.

Setidaknya ada empat risiko terkait uang dalam politik sehingga memerlukan upaya untuk mengontrolnya (Gene Ward, 2003). Pertama, level kompetisi yang tidak setara (uneven playing field). Kedua, ketidaksamaan akses untuk maju atau mendapatkan jabatan publik (unequal access to office). Ketiga, co-opted politicians. Politisi terkooptasi dan dikendalikan oleh kepentingan penyumbang. Keempat, melahirkan sistem politik yang kotor (tainted politics).

Uang haram yang berasal dari sumber dilarang pasti akan mengorup sistem dan merongrong negara hukum. Ingrid van Biezen (2003) menyebut agar pemilu kompetitif, pengaturan dana kampanye harus dilakukan dengan sejumlah syarat. Pertama, dibuat jelas dan dalam bahasa yang tidak ambigu. Kedua, menghindari pengaturan yang tidak sinkron antara aktivitas sebagai peserta pemilu dengan aktivitas finansial yang dilakukan.

Ketiga, menghindari pengaturan yang berbeda antara peserta pemilu di tingkat nasional dan yang di daerah. Keempat, mencakup pengaturan sumber dana, sumbangan dari badan hukum privat, pengumuman sumbangan kepada publik, pelaporan, pengawasan, dan penegakan hukum. Kelima, peraturan dana kampanye yang dibuat harus diumumkan, bisa diakses, dan dipahami baik oleh para target pengguna, yaitu parpol, kandidat, penyelenggara pemilu, pemantau, media, juga masyarakat umum.

Bagaimana dengan pengaturan dana kampanye Pemilu Legislatif 2014? Apakah kerangka hukum yang ada sudah jelas dan sinkron satu sama lain? Mampukah menjamin transparansi akuntabilitas, serta melibatkan partisipasi dan pengawasan dari masyarakat?

Pengaturan Dana Kampanye

Dari sisi aturan, tidak banyak berbeda antara pengaturan dana kampanye Pemilu Legislatif 2009 dan 2014. Perubahan mencolok justru pada kenaikan batas penerimaan sumbangan parpol dari badan usaha nonpemerintah, semula Rp5 miliar sekarang Rp7,5 miliar. Perubahan berikutnya adalah kewajiban bagi setiap penyumbang (terlepas berapa pun sumbangan yang diberikan) untuk menyerahkan nomor pokok wajib pajak.

Ketentuan ini tentu sangat positif bagi dunia perpajakan Indonesia. Dana kampanye parpol bisa bersumber dari parpol, kandidat parpol yang bersangkutan, dan sumbangan yang sah menurut hukum dari pihak lain. Ketentuan pelaporan dana kampanye nyaris sama, yang membedakan hanya batas waktu penyampaian laporan awal dana kampanye yang lebih panjang dibanding pemilu sebelumnya.

Dan, soal laporan dana kampanye inilah yang seminggu terakhir membuat semua peserta pemilu sibuk. Pasal 134 UU No 8/2012 menyebut parpol sesuai dengan tingkatannya wajib memberikan laporan awal dana kampanye dan rekening khusus dana kampanye kepada KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota; serta calon anggota DPD kepada KPU melalui KPU provinsi. Laporan awal disampaikan paling lambat 14 hari sebelum hari pertama jadwal kampanye rapat umum.

Kampanye rapat umum dilaksanakan 16 Maret–5 April 2014, sehingga KPU memberi tenggat 2 Maret 2014 pukul 18.00 waktu setempat bagi peserta pemilu untuk menyampaikan laporan awal dana kampanye. Laporan awal ini merupakan laporan dana kampanye tahap kedua yang diserahkan peserta pemilu. Sebelumnya peserta pemilu sudah menyerahkan laporan penerimaan sumbangan periodik tiga bulanan, atau dikenal dengan laporan periodik dana kampanye.

Laporan periodik disampaikan kepada KPU sesuai tingkatan pada 27–30 Desember 2013. Apa yang membedakan? Laporan periodik hanya memuat informasi penerimaan sumbangan, sedangkan laporan awal dana kampanye memuat informasi lebih rinci.

Meliputi informasi daftar penyumbang; jumlah penerimaan dan pengeluaran dana kampanye berupa uang, barang dan/atau jasa sejak hari pertama kampanye nonrapat umum hingga paling lambat 14 hari sebelum hari pertama kampanye rapat umum; dan jumlah penerimaan dan pengeluaran sebagaimana tercatat dalam Rekening Khusus Dana Kampanye dari bank sejak dibuka sampai dengan paling lambat 14 hari sebelum hari pertama kampanye rapat umum.

Laporan awal yang berisi laporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye parpol wajib dilampiri laporan pencatatan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye caleg. Parpol harus memastikan dan mengonsolidasi semua laporan caleg tanpa kecuali. Tidak boleh ada pengeluaran caleg yang tidak tercatat oleh parpol. Kalau ada yang tidak dicatat, berarti parpol sudah memberikan keterangan yang tidak benar dalam laporannya.

Penyerahan laporan awal dan rekening khusus dana kampanye merupakan kewajiban bagi peserta pemilu. Apabila ada parpol yang tidak menyampaikan laporan awal kepada KPU sesuai tingkatan sampai batas waktu yang ditentukan, maka dikenai sanksi pembatalan sebagai peserta pemilu pada wilayah yang bersangkutan. Demikian juga dengan calon anggota DPD. Dan itu bukan sanksi main-main bagi peserta pemilu, sungguh mimpi teramat buruk.

Dari penerimaan sumbangan yang dilaporkan berdasarkan laporan periodik, dari 12 parpol tingkat nasional, total sumbangan diterima mencapai Rp973,7 miliar (per 30/12/ 2013). Sementara itu, total penerimaan sumbangan yang disampaikan pada laporan tahap kedua (laporan awal) mencapai setidaknya Rp878,8 miliar (per 2/3/2014). Jumlah yang fantastis.

Transparansi dan Akuntabilitas

Bagaimana dengan transparansinya? Ternyata UU No 8/ 2012 mengatur sedikit soal ini. Sebatas bahwa KPU sesuai tingkatan mengumumkan hasil pemeriksaan dana kampanye kepada publik paling lambat 10 hari setelah diterimanya laporan hasil pemeriksaan dari akuntan publik. Justru semangat transparansi lebih muncul melalui pengaturan KPU.

Jika Pemilu 2009 lalu sulit mendapat akses laporan dana kampanye, saat ini PKPU 17/2013 memerintahkan KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota mengumumkan laporan penerimaan sumbangan peserta pemilu kepada masyarakat umum. Pengumuman dilakukan melalui papan pengumuman dan/atau website.

Tujuan membuka daftar penyumbang dan laporan dana kampanye adalah untuk menguji prinsip akuntabilitas, yaitu memastikan partai politik dan calon, bahwa mendapatkan dan membelanjakan dana kampanye itu berlangsung rasional, sesuai etika, dan tidak melanggar peraturan (Perludem, 2013). Ketentuan ini juga akan memicu partisipasi masyarakat untuk mengawasi pengelolaan dana kampanye.

Temuan dan hasil pengawasan masyarakat bisa disampaikan kepada KPU dan Bawaslu, serta dapat digunakan oleh kantor akuntan publik sebagai bahan audit dana kampanye. Sebaik-baiknya pengawasan adalah pengawasan oleh masyarakat itu sendiri. Selain transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat, agar tak sekadar formalitas, meski ada prosedur audit oleh akuntan publik, KPU perlu melibatkan keberadaan lembaga lain yang memiliki kompetensi khusus untuk penelusuran kebenaran dan legalitas sumber dana kampanye.

Maka yang dilihat bukan sekadar ketaatan waktu penyampaian laporan tapi juga kebenaran (akuntabilitas) dari apa yang dilaporkan. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pihak yang paling relevan untuk dilibatkan. Dua lembaga ini memiliki instrumen yang lebih memadai untuk melacak transaksi mencurigakan atau yang berasal dari tindak pidana (pencucian uang, narkoba, korupsi, dll). Bawaslu harus proaktif lakukan pengawasan.

Memang mengawasi dana kampanye pekerjaan rumit dan melelahkan. Namun, di sanalah kinerja Bawaslu diuji. Bawaslu harus jadi bagian kerja besar bersama KPU, PPATK, dan KPK. Bawaslu mesti tegas dan bergerak cepat, zero tolerance pada penyimpangan. Pengawasan investigatif harus jadi pendekatan karena selalu ada kemungkinan untuk masuknya sumbangan tidak sah, sumbangan dari pihak yang dilarang, sumbangan yang melebihi batas, atau laporan berisi keterangan tidak benar di mana laporan lebih kecil dari yang diterima dan dibelanjakan di lapangan.

Dana kampanye jika salah atur membawa risiko besar bagi pemilu. Pengaturan dan pengelolaannya tidak boleh sekadar formalitas, basa-basi apalagi asal jadi. Pada situasi saat ini, gagasan transparansi dan akuntabilitas menjadi prasyarat minimal jika kita ingin mewujudkan pemilu yang kompetitif, bersih, jujur, dan adil di Indonesia.

Parpol, kandidat, penyelenggara, penegak hukum, media, pemantau pemilu, dan masyarakat jadi bagian bersama mengawalnya. Kalau memang bersih, mengapa risih?
Indeks Prestasi

Post a Comment