Kampanye Kehilangan Makna

Kampanye Kehilangan Makna

Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINAR HARAPAN,  03 Maret 2014

                                                                                                                       
                                                                                         
                                                      
Tiga kali pemilihan umum (pemilu) di negeri ini, di era Reformasi, belum menjadi referensi yang baik. Mendekati pemilihan legislatif (pileg) pada 9 April 2014, belum ada perubahan dalam memperkenalkan calon anggota legislatif (caleg) kepada pemilih. Kampanye cerdas yang semula diharapkan sebagai arena pendidikan politik belum terlaksana. Jadi, pendewasaan pendidikan politik sebagai salah satu tugas partai politik (parpol) masih jauh dari harapan.

Kecenderungan lama masih terus berlangsung, seperti memasang foto, baliho, dan spanduk secara serampangan. Pesan-pesan yang hendak disampaikan ke publik bahkan menjadi “kehilangan makna”. Bukan hanya karena dipasang di tempat yang dilarang, melainkan juga materi pesan tidak menimbulkan antusias publik untuk memilihnya. Hampir semua sudut kota disesaki alat peraga parpol dan caleg dengan pesan yang berisi janji-janji, yang tidak bisa diukur akurasinya.

Fenomena lain yang juga masih memendam bom waktu adalah rekrutmen caleg. Di sejumlah parpol, ini belum maksimal dan terkesan sekadar mengikuti prosedur yang ditetapkan undang-undang (UU). Itu dapat dilihat pada pemenuhan kuota perempuan yang cenderung dipaksakan, sehingga harus memasang nama-nama dari keluarga pemimpin atau kader parpol, bukan karena dia aktivis parpol. Namun, tidak bisa sepenuhnya menyalahkan parpol sebab banyak perempuan yang tidak peduli dan tidak mau menjadi caleg dengan berbagai alasan.

Lalu dari mana kita bisa menetapkan pilihan yang betul-betul dipercaya memperjuangkan kepentingan rakyat? Caleg dengan mental keropos, visi-misi yang tidak jelas, dan hanya mengandalkan kekuatan uang atau kedekatan emosional. Setidaknya, sudah bisa dibayangkan wajah parlemen kita ke depan. Apalagi, pemilih tidak mendengar langsung pemikiran dan program yang ditawarkan parpol untuk memperbaiki kondisi negara. Padahal, itu adalah alat ukur menentukan pilihan.

Penunggu Pohon

Narsisisme lewat foto diri dengan senyum yang cukup menawan tidak menjadi jaminan akan dipilih. Beragam sindiran ditimpakan kepada para caleg, serta calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang bermunculan di ruang publik. Salah satunya adalah “caleg penunggu pohon” yang dipasang pada pohon di pinggir jalan. Dalam konotasi masyarakat sehari-hari, “penunggu pohon” dimaknai sebagai sesuatu yang menakutkan.

Fenomena itu menunjukkan, banyak caleg yang lucu-lucu tingkahnya akibat tekanan memperebutkan simpati pemilih. Ada yang berani tatap muka langsung dengan konstituennya, tetapi yang paling banyak adalah memasang foto pada hampir semua pohon yang ada di pinggir jalan. Ada juga foto yang dipasang di tiang listik, pagar tembok rumah penduduk, atau spanduk yang dibentangkan di sembarang tempat. Itu semua membuat banyak orang geram dan tergelitik, lantaran menganggu hak publik menikmati keindahan lingkungan.

Saya kadang menghentikan sejenak sepeda motor saya untuk menatap dan mencoba memahami makna foto-foto itu, terutama yang dipasang di pohon. Namun, bukan untuk menyimak pesan-pesan agar tertarik memilihnya, melainkan sekadar merasakan bahwa sebenarnya pohon itu merintih karena diperlakukan tidak sewajarnya. Tubuhnya (baca: batangnya) dianiaya dengan “tusukan paku”, tentu saja amat menyakitkan jika diukur dengan tubuh manusia.

Memasuki masa kampanye resmi pada 16 Maret-5 April 2014, dipastikan semakin ramai alat peraga kampanye yang dipasang di pohon. Belum memasuki masa kampanye saja sudah membuat ruang publik sumpek, apalagi saat masa kampanye.

Fenomena itu menimbulkan beragam tafsiran. Ada yang menilai ini sesuatu yang biasa saja dan tidak ingin mempersoalkan. Apalagi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak menyiapkan tempat khusus memasang foto yang bisa memudahkan pemilih melihatnya. Tidak sedikit pula warga yang prihatin. Mereka menganggap, memasang foto dan baliho di pohon dengan paku adalah penindasan ruang publik.

Caleg Instan

Pelesetan yang menyebut “caleg penunggu pohon” sebetulnya hanya sindiran. Apakah caleg-caleg itu tergelitik dan sadar, kemudian mencabut fotonya yang dipasang dengan paku di pepohonan? Itu sangat bergantung sensitivitas sang caleg terhadap lingkungan hidup.

Apalagi, “penunggu pohon” dalam keseharian masyarakat dianggap sesuatu yang menakutkan dan harus dihindari. Padahal, Pasal 3 Peraturan KPU Nomor 1/2003 yang diubah dengan Peraturan KPU Nomor 15/2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Legislatif, menyebutkan salah satu prinsip kampanye adalah “ramah lingkungan”. Begitu pula dalam Pasal 17 Ayat (1) Huruf a Peraturan KPU Nomor 15/2013 yang menegaskan, alat peraga kampanye tidak boleh ditempatkan pada pepohonan. Tetapi, itu tetap saja dilanggar dan tidak ada tindakan tegas.

Tampaknya, caleg-caleg itu sudah berhitung, memasang foto di pohon adalah sosialisasi atau kampanye yang mudah dan murah. Tetapi, haruskah tega melukai pohon dengan paku hanya dengan alasan biaya murah? Boleh jadi, ini karena caleg itu sering dikritik bahwa terlalu banyak mengeluarkan uang kampanye akhirnya akan korupsi saat terpilih, untuk mengembalikan uang yang dikeluarkan.

Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Pohon saja dipaku untuk mencapai tujuan, bagaimana mungkin diharapkan memikirkan nasib rakyat. Lantas, apa yang bisa diharapkan dari caleg yang seperti itu jika kelak terpilih? Caleg itu tidak ramah lingkungan dan mengabaikan ekologi visual. Mereka tidak layak menjadi wakil rakyat. Belum terpilih saja sudah sadis, apalagi setelah duduk di kursi empuk.

Caleg “penunggu pohon”, pengawal tiang listrik, dan perusak pagar orang belum memahami makna kampanye yang elegan dan bermartabat untuk menarik simpati pemilih. Caleg itu hanya menebar sampah politik ketimbang memberikan pencerahan dan pendidikan politik. Itu bukan sosok wakil rakyat yang ideal.

Mereka panik lantaran merasa dikejar tenggat sehingga kampanye yang dilakukan kehilangan makna. Seharusnya, ada eleganitas untuk mendekati konstituen, sebagaimana diatur dalam peraturan KPU, seperti pertemuan terbatas, tatap muka, iklan media cetak atau elektronik, atau rapat umum.
Indeks Prestasi

Post a Comment